Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budaya Feodal di Peringatan 108 Harkitnas

20 Mei 2016   21:50 Diperbarui: 20 Mei 2016   22:00 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kemarahan Seorang Gadis karena Stiker Militer, Lion Air Menggertak Pemerintah

Beberapa saat lalu, jagad dunia maya dihebohkan ada anak sekolah menengah atas menggertak polwan, dan usai begitu saja. Pelanggaran dibiarkan melenggang. Kemarin hal yang mirip juga terjadi, seorang gadis muda marah karena stiker militer di mobilnya dilepas oleh petugas saat ada operasi penegakan hukum. Akhirnya sama saja, melenggang dengan pelindung berpangkat melati tiga. Wah makin keren saja dinamika anak muda kekinian. Eh hari-hari ini, perusahaan yang sering kali menjadi bahan karena banyaknya persoalan, kali ini pemerintah menerapkan hukuman tegas, langsung melayang laporan ke kepolisian.

Gaya feodalisme Masih Begitu Kuat

Bagaimana pejabat itu memiliki “kelas atau kedudukan” tersendiri sehingga sering bisa berbuat aneh-aneh dan aman. Melanggar hukum karena berseragam bisa melenggang, dulu militer naik angkutan umum tidak bayar, eh sekarang malah anak, kerabat, pembantu, dan siapa saja yang menempel stiker di plat nomornya bisa “menggertak” polisi untuk meloloskan diri. 

Budaya ini harusnya bukan menjadikan bangga malah malu untuk melindungi pelanggar. Hal ini budaya yang sangat memalukan bukan malah bangga dengan itu. Bangga melanggar dengan pelindung pangkat. Senada dengan hal ini adalah arak-arakan motor besar. MEMALUKAN, mereka mengambil jalur lawan arah malah memajukan kaki, lha memangnya kakinya dari baja? Harusnya orang mampu beli motor ratusan juga, itu bukan orang sembarangan, kaya, tentu berpendidikan, atau berpengalaman, malah minta prioritas, kalau tidak dikawal polisi, ngamuk kalau ada yang dilewati tidak mau mengalah, apa bedanya dengan penjajahan dulu? Ini negara sendiri semua setara kog, masih ada yang petentang-petenteng,minta fasilitas.

Pihak-pihak yang harusnya memberi contoh malah memberikan yang buruk, dan kadang orang sederhana yang memberikan inspirasi positif. Pejabat yang lewat harus disambut dengan meriah, lha ini kan negara sendiri, apa beda dengan negara jajahan? Bolehlah menyambut dengan upacara, namun bukan berlebihan apalagi dengan militer siap tembak secara berlebihan. Ini negar sendiri lho.

Preman Berdasi dan Kuasa Bisa Apa Saja.

Dulu federasi penthung bisa membubarkan acara keagamaan yang berbeda dengan mereka. Banyak pejabat masuk ke lembaga lain untuk minta upeti dan sebagainya. Jangan heran kalau semua level hal demikian biasa. Sekarang sedikit beradab dengan apa-apa tuntut ke polisi dan pengadilan dengan kata sakti pra duga tak bersalah. 

Hari-hari ini Lion Air, sebuah maskapai penerbangan yang bisa melakukan pergantian jam terbang sesuka hati dan bisa melenggang sekian lama. Kemenhub kali ini tegas memberikan hukuman karena telah melakukan pelanggaran yang cukup berbahaya, hukuman sebagai pembinaan bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran hukum dan dibawa ke polisi. Bagaimana negara bisa kalah oleh kelompok, termasuk preman? Karena negara selama ini memang takut dan selalu diam menghadapi kelompok dan rekannya asal lancar upeti.

Atas Nama Kebebasan Berekspresi, Menghujat dan Merusak 

Ini sangat memalukan apalagi dilakukan oleh orang-orang berpendidikan. Mahasiswa kog ngamuk, lha mana intelektualitasnya? Kalau hanya mengandalkan otot apa beda dengan preman yang gontok-gontokan mencari lahan dan makan? Memalukan sebagai negara demokrasi, negara besar, dan negara maju. Apa yang mau diharapkan dari mahasiswa model demikian? Peringatan hari nasional yang fenomenalpun diwarnai dengan merusak fasilitas negara, mengapa tidak pernah mengutuk maling berdasi? Sikap kritis yang sama sekali tidak pada tempatnya. Jangan heran kalau jadi pejabat maling, menekan pihak lemah, dan mencari keuntungan sendiri.

Kita ini Bangsa Indonesia, satu, Bhineka Tunggal Ika, didirikan dengan berlumuran keringat dan darah, eh malah kala mengisi malah dicemari dengan kepentingan diri sendiri dan kelompok yang sangat katrok. Hal yang paling diperangi masa pergerakan dan masa kemerdekaan. Bagaimana malah mundur lagi jauh ke belakang. Pejabat itu pelayan bukan juragan. Jika masih minta fasilitas, mau cepat padahal jalanan macet, dan duduk di kendaraan berpendingin udara, sedang rakyatnya berpeluh penuh debu dan oli, mental juragan yang lebih kuat, bukan pelayanan. Mau lewat berkilo-kilo dibersihkan agar bisa melaju dengan mulus. Jalanan menjadi bagus kalau mau dikunjungi atasan dan kawasan kumuh menjadi bersih dalam sekejab.

Pendidikan elitis, dalam arti ekonomi sulit susah mendapat pendidikan berkualitas, jangan heran akan menciptakan juragan-juragan berseragam. Pendidikan mahal menyingkirkan orang pintar untuk memberikan kursinya kepada anak-anak manja namun memiliki bapak beruang tak berseri. Jangan heran ada anak kemarin sore bisa menjadi bupati, dan tidak bisa bekerja, eh malah nyabu. Ada anak tidak mau ditertibkan karena merasa memiliki bapak, paman, kakek, atau nenek moyang pejabat. Ke mana anak-anak cerdas tersingkir?

Apakah keadaan demikian akan terus dihidupi oleh bangsa ini? Saatnya berubah, aparat tidak boleh kalah oleh pelanggar, dan negara tidak boleh diintervensi oleh kepentingan sesaatdan pribadi.  

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun