Membaca jawaban sang waka dewan ini menjadi terhenyak, bagaimana mau memimpin ibukota negara namun sudah takut dulu. Kalimat yang menunjukkan tidak punya daya, kuasa, power untuk diri sendiri. Apa yang mau diharapkan jika pernyataannya saja sudah tidak memiliki greget dan spirit berlomba, berkompetisi, dan berani melawan dengan sportiv rival yang ada.
Kalah sebelum bertanding. Pak Lulung ini politikus ulung, lama di dewan, sudah tahu dengan persis kalkulasi dengan menyeluruh kekuatan diri, ataupun rivalnya, termasuk calon yang telah hampir pasti maju karena lewat independen dan dua parpol. Â Tahu persis soal keterpilihan dan kalkulasi lain susah untuk bersaing saja, apalagi menang.
Tidak Meyakinkan, Malah Loyo, jadi pemimpin  itu bisa meyakinkan, apa yang visi misinya, yakinkan kepada parpol yang diharapkan untuk mendukung, dan terutama kepada pemilih sehingga bisa yakin, oh iya, layak dia memimpin daerah ini menuju kesejahteraan bersama.
Menyerahkan ke Parpol, pasrah bongkokan, banyak implikasi yang bisa tejadi di sana. Bagaimana tidak akan menjadi boneka partai, dia sendiri tidak tahu mau apa, disetir penuh oleh parpol. Langkahnya bukan kehendaknya, bukan gagasannya, hanya kata parpol, ingat dia utang budi. Akibat yang sepaket, main anggaran, tidak bisa tegas pada parpol yang mengusung.Â
Berhadapan dengan birokrasi yang pengalaman dan lebih cerdas akan dipermainkan. Sangat susah lepas dari bayang-bayang permainan dewan. Ingat cara takut-takut begini, akan dikeroyok oleh dewan, sikap beliau sendiri pas di dewan bisa berbalik, apalagi parpolnya sendiri saja tidak dengan tegas mau mengusung. Lewat partai lain berarti juga menciptakan barisan sakit hati.
Tidak Tahu Perjuangannya apa, mau apa ke depannya, daerah yang hendak ia kelola itu, mau dibawa ke mana, seperti apa, sama sekali tidak ada gambaran. Hanya ikut arus, wah kalau demikian, apa tidak jauh lebih mundur? Apa yang mau dibuat saja tergambar dengan jelas tidak punya.
Kritis selama ini kosong,seolah cerdas, tangkas, dan kritis, ternyata sama sekali tidak ada isinya. Apa yang dikatakan hanya reaksi saja, bukan ide dan aksi, sebatas memberikan reaksi atas karya orang lain (eksekutif). Bagaimana ketika berganti peran kalau demikian? Sangat tidak meyakinkan.
Kesiapan bersyarat, bukan diri sendiri, kalau dicalonkan ya siap, lho piye iki, mau jadi gubernur kog tergantung ada yang mau nyambar di jalan. Seperti bonek yang mau nggluruk ke luar kota, ada temannya yang nggandhul truk dan nyaut tangannya, akhirnya sampai ke sana. Lha ini mau jadi gubernur, pimpinan daerah khusus lagi. Harusnya dari diri sendiri dengan kemantaban yang mutlak, iya saya siap, parpol tidak ada, pakai jalur independen.
Sama sekali tidak ada keseriusan, selain main-main.Ini sih tidak beda main gundu, kalau ada lawan ya main kalau tidak ada yang main bekelan. Lha mau apa kalau model pejabat kog tidak jelas maunya. Tergantung angin membawa.
Mengapa demikian? Pertama,spekulasi saja, toh di dewan juga masih ada kog, untung-untungan. Kedua,cari kerja, ketegasan hukum bahwa apapun yang mau maju pilkada mundur dan tidak boleh lagi menjabat. Dengan demikian, tidak seenaknya sendiri. Ketiga,hukuman sosial orang-orang cari kuasa dan kerja model begini belum ada. Coba kalau mundur dan tidak bisa balik akan takut. Budaya permisif ini juga menyuburkan suap dan membeli suara.
Akibatnya,jangan harapkan akan ada gebrakan yang luar biasa, padahal keadaan susah demikian parah, cara ekstrem untuk menata Jakarta mengejar ketinggalan dari negara lain. Berbagai hal, tidak bisa dihadapi oleh orang yang tidak punya daya seperti ini.
Perubahan akan susah terjadi, apakah ini pesimis dan negative thingking? Bukan justru realistis karena selama ini jauh dari harapan apa yang sudah dilakukan. Sangat sulit melihat peluang perubahan ditambah sikapnya yang tidak berdaya untuk mengusahakan pencalonannya sendiri.
Siapa yang rugi? Jelas semua rugi, karena calon pemimpinnya saja tidak memiliki kehendak kuat untuk maju. Jika menang, bagaimana rakyat mau dianimasi untuk bergerak, sedang dia sendiri tidak tahu mau apa. Negara jelas rugi dengan salah satu organ vitalnya, pimpinan ibukota namun sama sekali tidak memperlihatkan gairah.
Jauh lebih realistis, tidak banyak harap dan cakap, mengikuti jejak Ahmad Dhani mundur. Dengan berbagai hitung-hitungan juga tidak banyak harapan. Apa pemilih mau memiliki pimpinan yang seperti ini?
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H