Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pilkada DKI dan Rupa Kejujuran Tak Sadar

26 April 2016   06:11 Diperbarui: 26 April 2016   06:46 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pilkada DKI dan Rupa Kejujuran Tak Sadar

Hiruk pikuk pilkada DKI masih akan lama dan panjang. Kalau tidak ada keadaan yang menghentak lebih besar, di K tetap akan diwarnai hal ini. satu hal yang berkat di balik peristiwa ialah, adanya kejujuran yang diungkapkan secara tidak sadar oleh parpol, pelaku-pelaku di sana, juga para pelaku baik langsung atau tidak langsung.

Pertama, parpol haus kursi dan kuasa,

Hal ini bukan barang baru, namun lagu lama, namun dipertegas oleh pilkada DKI. Bagaimana mereka begitu takut menyatakan mendukung A atau B, maka lahirlah istilah deparpolisasi, dan konsentrasi parpol itu bukan pendidikan politik, namun kursi dan kursi saja. Ditunjukkan  dengan pimpinan atau kader partai lain pun disokong dengan suka cita karena memang tidak punya kemauan untuk mendukung kader sendiri karena memang akan kalah.

Parpol tidak menghargai kader sendiri

Kader sendiri malah ditepikan karena memang tidak berpotensi menang, dua kader yang setia namun dikatakan sangat rendah elektabitasnya, seperti Pak Lulung dan Pak Idrus yang belum mendapat lampu hijau dari PKS. Idealnya parpol seperti ibu yang bangga anaknya ikut lomba mewarnai, meskipun warna yang dipilih anaknya tidak karuan, wajah diberi warna hijau, baju merah, celana pelangi pun akan dipuji baik. Parpol tidak bersikap seperti ibu itu.

Rasis dan sektarian

Soal agama dan asal bukan dasar memilih pemimpin. Boleh agama satu meminta umatnya memilih yang sama, namun tidak harus mengatakan kalau dipimpin agama lain akan begini-begini. Atau kalau dari asalnya X akan menindas atau apa. ini jelas rasis dan sektarian.  (bagi yang sensi jagan asal komentar baca dulu baik-baik ya!)

Miskin Ide dan gagasan, cuma mencela rival  yang ada

Selama ini siapa yang mau jadi bacagub DKI belum ada yang menyatakan ide keren dan barunya. Apa yang disampaikan malah celaan calon rivalnya. Suka atau tidak, apa yang ada di benaknya adalah fokus mencermati kekurangan rival, bukan jalan keluar dari apa yang ia lihat perlu diperbaiki. Jelas bukan demi DKI, namun demi jabatan dan kursi dengan mengalahkan yang ada. Bahkan hingga antarbalon saja juga melakukan hal yang demikian.

Buka banyak kasus yang selama ini sepertinya wajar-wajar saja

Reklamasi terungkap  dengan berbagai boroknya, adanya korupsi, dan menabrak macam-macam, mungkin jika tidak ada pilkada ini hal itu masih tenang-tenang saja. Lumayan buat pembersihan negara dengan berbagai akibat dan konsekuensinya. Hal besar yang tidak sembarangan lho.

RSWS, lha ini, bisa banyak penemuan demi penemuan yang dikemukakan. Demi negara yang bersih baguslah, sama juga dengan reklamasi, dengan segala risikonya. Bagus demi negara yang lebih baik. Asal serius. Jika serius, bisa Ahok atau BPK (tentu pejabatnya, yang masuk penjara, termasuk yang memutarbalikkan fakta). Sebagai efek jera sehingga tidak seenaknya sendiri sebagai pejabat, misalnya Fadli Zon, jika ia benar, Ahok masuk penjara)

BPK, apapun yang terjadi, baik pendukung balon satu ataupun tidak, obyektif memberikan bukti BPK ada sesuatu. Selama ini bagaimana BPK memberikan pemeriksaan, namun maling tetap saja berjalan melenggang di depan mata. (Identik dengan RSSW, jika Ahok yang benar ada pejabat BPK yang salah, dan jika Ahok salah, berarti BPK sudah bekerja sebenarnya). Apakah akan diselesaikan atau dikompromikan seperti selama ini?

Rupa-rupa kejujuran telah dikuak. Bagaimana mau menyelesaikan itu menjadi perihal penting. Apakah kedok, topeng, wajah senyum namun pnuh tipu muslihat itu mau tetap diselesaikan dengan LUPA atau mau maju dan menyelesaikan dengan segala konsekuensinya?  Kemauan bebenah dan menyelesaikan seluruh masalah hingga akarnya masih perlu kehendak yang kuat.

Apakah yang sudah terbuka itu juga mau ditutup dengan begitu saja? Jika iya, harapan untuk berubah itu belum beranjak, hanya ada di dalam wacana dan dunia ide.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun