Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Panama Papers dan Sikap Tanggung Jawab Bangsa Indonesia

14 April 2016   07:24 Diperbarui: 14 April 2016   07:39 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Panama papers sedang menjadi pembicaraan panas di dunia. Goggle hanya dalam 0.46 detik menampilkan 132.000.000 hal ihwal yang berkaitan dengan hal ini. betapa banyaknya pembicaraan hal ini. saya tidak paham hal ekonomi, pajak, dan ekonomi, kalau uang jelas saja tahu dan mau.

Berkaitan dengan hal ini adalah, bagaimana pihak-pihak yang terkait itu menyikapi, merespons, dan bertanggung jawab. Beberapa tidak peduli, ada yang langsung mundur, dan paling canggih adalah bangsa Indonesia, secara umum, ngeles dan akhirnya tidak peduli.

Pertama, bertanggung jawab dengan mundur. Ada dua pihak yang cukup besar, yaitu perdana menteri Islandia dan pejabat senior FIFA. Contoh sikap dewasa dan bertanggung jawab dengan mundur dari jabatan publiknya, sehingga bisa konsentrasi dengan keadaan yang tersangkut dengan catatan itu.

 Mengadakan Investigasi, pemerintah Thailand dan menteri keuangan Indonesia. Sikap cepat dan responsif untuk mampu mendapatkan gambaran yang baik. Jika ada pelanggaran atau tidak jelas akan diperoleh hasil terbaik bagi bangsa dan negara tentunya.

Membantah atau tidak peduli, merasa biasa saja, bukan persoalan besar. Ini ciri khas bantahan dari pribadi-pribadi di Indonesia, setelah membantah memiliki ketika terdesak mengakui bahwa memang miliknya dan kemudian berpanjang lebar yang intinya tidak merasa bersalah.

Secara khusus tanggapan kelompok, lembaga, dan pribadi di sini.

Menkeu. Menyatakan 79% data di sana sama dengan daftar nama pemilik rekening di luar negeri. Soal benar dan salahnya belum tentu demikian semuanya salah, perlu tindak lanjut. Masih normatif lah.

Apindo. Belum tentu memiliki niat jahat, apalagi era global yang bisa saja dipakai untuk bisnis di luar negeri. Jawaban yang sangat wajar tanpa menyentuh akar masalah.

Kadin. Tidak ambil pusing, hal yang wajar. Wajar dalam konsep apa?

Jusuf Kala. Berkaitan dengan keluarga, pajak keluarga jelas, tidak ada masalah. Tidak semua menggelapkan pajak, bukan hal yang luar biasa dengan daftar itu.

Ketua BPK. Bukan lagi pemilik perusahaan itu, setelah sebelumnya menyangkal dan kemudian menyatakan itu milik anaknya dan tidak merugikan negara.

Menyimak apa yang menjadi respons oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam tersebut, secara umum ternyata yang berkelit hanya di Indonesia. Sama sekali tidak mengakui, sebagai langkah awal, kemudian mengakui dengan samar-samar sebagai hal yang wajar, tidak masalah, tidak merugikan negara, dan sebagainya.

Menarik adalah, jika memang tidak masalah, mengapa pertama kali sudah menyangkal dulu? Jika memang tidak masalah di dalam pernyataan pertamanya akan mengatakan iya memang itu rekening saya dengan alasan apa, dan sudah masuk dalam laporan harta milik (bagi pejabat negara).

Membantah, berarti sudah tahu bahwa sudah merasa ada yang  tidak benar namun dilakukan. Ironis ketika pejabat menyatakan mau merevolusi mental namun masih juga gaya ama, selalu membantah, bahkan bersumpah, namun ketika terpepet malah juga masih menyalahkan pihak lain, merasa tidak salah, dan apalagi minta maaf.

Jika memang bukan masalah, mengapa pejabat di luar negeri banyak yang malu dan mundur? Apakah batasannya yang berbeda? Menarik adalah, bangsa Indonesia yang bangga dengan budaya luhurnya ternyata bersikap demikian. ini jelas menjadi sangat jelas bagaimana bersikap, ketika seluruh dunia juga mengalami. Selama ini, tidak ada cermin yang sama, seolah tidak ada pembanding yang sama persis.

Apa yang harus dilakukan

Pembuktian terbalik. Hal ini sudah sangat mendesak, sehingga semua orang berani jujur bukan hebat namun jujur itu memang kebiasaan sangat biasa. Gaji berapa, usaha berapa, bagaimana bisa memiliki mobil mewah, perusahaan berasal dari mana, bukan seperti sekarang, gaji 30 juta, hidup mewah bisa memiliki semua kemewahan, padahal birokrat sejati, setiap hari ngantor, kapan mencari sampingan, bisa dilihat sebagai sangkaan ada unsur kolutif di sana.

Praduga tak bersalah, sebagai perlindungan hukum yang adil dipakai untuk berlindung atas kejahatan. Jika demikian dalam kasus khusus, korupsi, narkoba, dan terorisme, biar saja asas praduga bersalah. Soal HAM bisa diatur lagi, perilaku mereka merugikan HAM jauh lebih berat. Jangans edikit-sedikit HAM namun abai akan korban.

Pemiskinan pelaku korup. Jangan malah masih kaya raya, banyak pembela, dan maling lagi dan lagi. Hal ini ribuan contohnya di depan mata. Sangat memalukan. Negara krisis mikir uang dari mana, eh dibuat bancaan beberapa oihak tamak.

Cabut hak politiknya. Jangan heran maling itu bisa maling lagi dan maling teriak maling karena selalu saja bisa menjabat lagi dan lagi. Siapa saja? Banyak yang bisa disebutkan dengan gampang dan gamblang.

Bersihkan lembaga pendidikan dari suap dan kolutif. Khabar terbaru, mendagri mendengar sendiri untuk masuk IPDN perlu 150 juta, jelas saja mereka akan mencari kembalian alias balik modal. Masuk nyuap, kerja maling biar impas, padahal APBN selalu mengalir ke sana, namun suap juga masih marak. Tamak dan rakus tidak akan prnah kenyang.

Apakah Indonesia akan selalu begini ini?

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun