Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Panama Papers dan Sikap Tanggung Jawab Bangsa Indonesia

14 April 2016   07:24 Diperbarui: 14 April 2016   07:39 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menyimak apa yang menjadi respons oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam tersebut, secara umum ternyata yang berkelit hanya di Indonesia. Sama sekali tidak mengakui, sebagai langkah awal, kemudian mengakui dengan samar-samar sebagai hal yang wajar, tidak masalah, tidak merugikan negara, dan sebagainya.

Menarik adalah, jika memang tidak masalah, mengapa pertama kali sudah menyangkal dulu? Jika memang tidak masalah di dalam pernyataan pertamanya akan mengatakan iya memang itu rekening saya dengan alasan apa, dan sudah masuk dalam laporan harta milik (bagi pejabat negara).

Membantah, berarti sudah tahu bahwa sudah merasa ada yang  tidak benar namun dilakukan. Ironis ketika pejabat menyatakan mau merevolusi mental namun masih juga gaya ama, selalu membantah, bahkan bersumpah, namun ketika terpepet malah juga masih menyalahkan pihak lain, merasa tidak salah, dan apalagi minta maaf.

Jika memang bukan masalah, mengapa pejabat di luar negeri banyak yang malu dan mundur? Apakah batasannya yang berbeda? Menarik adalah, bangsa Indonesia yang bangga dengan budaya luhurnya ternyata bersikap demikian. ini jelas menjadi sangat jelas bagaimana bersikap, ketika seluruh dunia juga mengalami. Selama ini, tidak ada cermin yang sama, seolah tidak ada pembanding yang sama persis.

Apa yang harus dilakukan

Pembuktian terbalik. Hal ini sudah sangat mendesak, sehingga semua orang berani jujur bukan hebat namun jujur itu memang kebiasaan sangat biasa. Gaji berapa, usaha berapa, bagaimana bisa memiliki mobil mewah, perusahaan berasal dari mana, bukan seperti sekarang, gaji 30 juta, hidup mewah bisa memiliki semua kemewahan, padahal birokrat sejati, setiap hari ngantor, kapan mencari sampingan, bisa dilihat sebagai sangkaan ada unsur kolutif di sana.

Praduga tak bersalah, sebagai perlindungan hukum yang adil dipakai untuk berlindung atas kejahatan. Jika demikian dalam kasus khusus, korupsi, narkoba, dan terorisme, biar saja asas praduga bersalah. Soal HAM bisa diatur lagi, perilaku mereka merugikan HAM jauh lebih berat. Jangans edikit-sedikit HAM namun abai akan korban.

Pemiskinan pelaku korup. Jangan malah masih kaya raya, banyak pembela, dan maling lagi dan lagi. Hal ini ribuan contohnya di depan mata. Sangat memalukan. Negara krisis mikir uang dari mana, eh dibuat bancaan beberapa oihak tamak.

Cabut hak politiknya. Jangan heran maling itu bisa maling lagi dan maling teriak maling karena selalu saja bisa menjabat lagi dan lagi. Siapa saja? Banyak yang bisa disebutkan dengan gampang dan gamblang.

Bersihkan lembaga pendidikan dari suap dan kolutif. Khabar terbaru, mendagri mendengar sendiri untuk masuk IPDN perlu 150 juta, jelas saja mereka akan mencari kembalian alias balik modal. Masuk nyuap, kerja maling biar impas, padahal APBN selalu mengalir ke sana, namun suap juga masih marak. Tamak dan rakus tidak akan prnah kenyang.

Apakah Indonesia akan selalu begini ini?

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun