Perlu kerja keras dari seluruh elemen bangsa bahwa tontonan berkualitas itu bukan tampang pemainnya saja, tunggangan yang mewah, namun isi dan kandungan yang mau diajarkan kepada pemirsa tidak boleh dilepaskan. Sinetron Anak Jalanan, mengetengahkan sajian harian yang jauh dari nilai edukasi:
1.      Mengajarkan kebohongan dan rekayasa demi kepentingan sendiri
Beberapa kali adegan, agar bisa main dan berpacaran, maka merekayasa bersama pembantu atau pacarnya untuk mengelabui orang tua atau pengasuhnya. Anak remaja diberi contoh bahwa hal demikian boleh dan bisa ditiru. Tidak usah ada tontonan saja, anak-anak sudah melakukan, apalagi dengan tayangan itu.
2.      Tidak rasional, anak lebih dewasa dan bijaksana dari pada orang tua
Ibu dan bapak konsultasi pada anaknya. Sepakat bahwa hendak mengajarkan bahwa yang muda belum tentu kalah dan kurang dibandingkan dengan orang tua. Namun sangat naif ketika mereka selalu bertengkar dan bersikap kanak-kanak dan anaknya yang memberi nasihat. Ibu dan bapaknya manggut-manggut, konsep keluarga macam apa yang hendak ditawarkan dengan pola demikian.
3.      Mengajarkan kekerasan
Hampir setiap hari, perkelahian dengan alasan yang sama saja. Balapan, kemudian terjadi perkelahian. Model yang diulang-ulang hampir bisa dipastikan setiap episode ada perkelahian, atauu pem-bully-an, rekannya, baik karena fisik atau kemiskinannya. Kekerasan fisik, verbal, dan bahasa tubuh yang selalu saja diulang-ulang.
4.      Mengedepankan kelompok, grup, genk yang sangat berbahaya bagi remaja
Persaingan antarkelompok. Meskipun sangat naif sosok pemain utama yang hendak ditonjolkan namun sangat berlebihan dan sangat berlebihan. Pendamai, pembuat kesepakatan untuk mengubah paradigma, namun masih juga dalam rupa kelompok. (Anak SMP pun bisa berbuat seperti di sinetron, dan itu dilakukan secara langsung, dan benar-benar terjadi, cowok adik kelas dikeroyok oleh cewek-cewek. Ditegur walikelas anak cewek ini banting tas, seperti adegan televisi)
5.      Pelakunya ada yang tertangkap tangan memakai narkoba
Tentu ironis, sinetron remaja namun pelakunya tertangkat saat syuting mengkonsumsi narkoba. Tentu berbahaya bagi pelaku lain, memang sangat berlebihan kalau mengatakan bisa saja ada perdagangan di sana, namun bahwa pasar itu sangat besar. Tidak heran ketika susah memberantas narkoba, karena peredarannya yang begitu masif semua kalangan.
6.      Pelecehan profesi guru
Guru diledek dan sikap sebagaimana temannya. Baik dan bagus bahwa guru itu teman dan fasilitator bagi murid, namun bukan harus digambarkan mudah dikelabui, tidak laku, berkendaraan butut, dan kejelekan lainnya. Ingat sosok guru lah yang memberikan kemampuan ada sinetron, artis, kameramen, penulis, sutradara, dan semuanya. Membuat dramatis janganlah hanya dengan memperolok sebuah profesi.
7.      Memberi contoh sikap anak sekolah dan anak-anak yang tidak patut
Anak minta pindah sekolah demi lawan jenis yang diincar. Cara berpakaian, cara bergaul yang glamour, bisa membuat anak-anak pelosok bermimpi bahwa hidup itu seperti itu. Adegan di sekolah dalam kegiatan belajar mengajar pun sangat naif, sekolah hanya menjadi latar belakang yang hendak menggambarkan muda dan remaja, sebagai sasaran empuk mereka. Menggunakan hp sepanjang waktu di sekolah, ini merusak tata tertib di sekolah senyatanya. Anak sekolah mengandaikan adegan di sinetron itulah kehidupan yang sebenarnya, tidak heran mereka menuntut yang sama di sekolah. Perilaku disiplin menjadi susah ditegakkan. Pakaian yang tidak rapi, sepatu yang seenaknya, kerapian rambut dan kuku yang sudah banyak diabaikan.
8.      Bohong itu biasa, boleh dilakukan
Demi mendapatkan keinginannya, bisa berbohong dan itu biasa sekali. Demi bisa nraktir pacarnya, meminta uang untuk servis motor. Dan naif lagi, orang tuanya juga memberikan begitu saja. Agar mendapatkan cowok idamannya, bersama kelompoknya, menghasut, mengadu domba, atau merekayasa apapun. Itu bukan hanya sekali, berkali-kali.
Â
Hampir sebagian besar pelaku dan waktu adegan mengenakan seragam, ada di sekolah, dan kegiatan di lingkungan sekolah. Jam tayang, pukul 18-20-an, di mana anak-anak dan remaja masih mantengin televisi dari pada buku. Tentu saja sangat potensial bagi pemodal untuk menarik iklan, namun abai dengan nilai apa yang au ditawarkan. Pengulangan kebohongan, kekerasa, rekayasa, dan intrik membuat anak secara tidak sadar akan tertanam.
PGRI dan Serikat Guru harusnya peduli dan tidak diam saja dengan sosok mereka yang digunakan sebagai olok-olokan. Benar guru bukan malaikat, namun sikap yang dipertontonkan sangat merendahkan. Selain itu lingkungan sekolah dipakai bukan untuk memberikan pembelajaran malah menghancurkan pendidikan. Lebih jauh lagi isi cerita yang ada sangat minim nilai, peran organisasi guru bisa berperan lebih.
Media memang besar karena iklan, namun tentu tidak boleh hanya mengejar nilai rupiah dengan menggunakan segala cara dan sering tidak peduli bahwa itu merusak secara tidak langsung. Apa yang dipaparkan hanya salah satu dari sekian banyak acara yang tidak jelas dan pantas bagi anak-anak dan remaja.
Salam Damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H