Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Politik Dasamuka, Politik Licik dan Menggunakan Segala Cara

4 Januari 2016   19:02 Diperbarui: 4 Januari 2016   19:52 959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dasamuka atau Rahmana memiliki kekuasaan yang sangat besar. Kerajaannya bukan kecil, namun nafsu tamak dan haus kuasa membuatnya tetap ingin melebarkan kekuasaannya. Negeri-negeri yang ingin dia miliki pasti bisa ia peroleh. Uniknya, ia menggambil bangsa-bangsa lain itu tidak dengan kekerasan, namun lebih banyak dengan tipu daya dan tindakan licik dan cerdik. Eloknya, ia melakukannya sendiri, bukan dengan utusan atau mengirim pasukan untuk menakluknya. Ia mengandalkan tipu muslihat untuk mengalahkan raja-raja bangsa lain. Termasuk di dalamnya untuk mendapatkan ilmu yang bisa menyembuhkan diri sendiri dan menghidupkan kalau tewas dalam pertarungan, dari Resi Subali.

Politikus hari ini pun masih menggunakan cara Rahwana atau Dasamuka. Parpol sebagai naungan politikus biasanya demikian, jauh lebih licik dan seenaknya.

Suara Rakyat adalah Suara Uang

Ungkapan mendalam dan penuh makna yang hendak menunjukkan betapa bernilainya demokrasi maka ada yang mengatakan, Suara Rakyat adalah Suara Tuhan. Namun kali ini sudah berubah ketika lebih banyak aroma uang dalam pemilu, baik pileg, pilpres, atau pilkadasung. Serangan fajar telah bergeser dengan mengatakan ambil uangnya jangan pilih orangnya, kemudian berganti dengan mengirimkan photo pilihan dengan menggunakan media telekomunikasi yang mulai canggih. Hari-hari ini hal itu tidak lagi perlu adanya serangan fajar, langsung-langsung saja uang diberikan dengan berbagai dalih dan cara sebagai pembenar bahwa itu adalah politik uang.

Ada sembako, kaos, bendera, atau bentuk lainnya. Bisa juga berupa jalan atau pembangunan ini itu, jangan lupa ketika mereka membeayai, mereka akan kembali meminta balasan dengan memilih, dan akhirnya tidak akan heran kalau mereka lupa akan membangun bangsa dan masyarakat, selain mengambil uang untuk mereka dan kelompoknya sendiri.

Jamak terjadi banyak tarik ulur saat pembahasan anggaran, banyaknya ide membuat proyek, adanya  legeslatif mencari investor, kong kalikong dengan eksekutif dan pengusaha, tidak kaget banyak yang dicokok KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Uang lebih berkuasa daripada apapun, termasuk di sana sumpah jabatan.

Penggunaan artis atau tokoh terkenal, untuk mendulang suara

Beberapa partai mmenggunakan selibritas atau artis untuk mendulang suara. Sah-sah saja menggunakan ketenaran dan kepopuleran asal mampu bekerja dan mengerti dengan baik kerjanya.  Jangan asal  tenar, sedangkan berbicara mengenai tugas saja tidak tahu. Banyak artis dan tokoh polpuler yang memang melek hukum, politik, dan bernegara, namun tidak sedikit pula yang diprofesinya sendiri tidak mampu, hanya mengandalkan kepopuleran dengan hal-hal tidak semestinya.

Cara lain, menggunakan tokoh terkenal dalam pilkada/pilpres untuk dijadikan tameng, bumper, atau jualan semata. Saat tiba waktunya ditinggalkan atau hanya dijadikan pajangan dan penghias saja, ketika memerintah, karena memang tidak mampu dan tidak bisa apa-apa dalam dunia birokrasi, politik, dan tatanegara.

Diingat ketika menjelang pemilu saja

Demi rakyat, atas nama rakyat kecil, berpihak bagi yang lemah, namun ketika berkuasa, apa yang ditampilkan sebaliknya. Menekan rakyat dengan dalih rakyat, lha rakyat yang mana yang dibela? Hanya kepentingan sendiri dan kelompok lebih besar. Tidak heran hanya berebut kekuasaan, kursi, pengaruh saja yang ditampilkan. Rakyat, lima tahun sekali saja disambangi, dan pertama tadi uang yang berbicara dan mengelabui kembali.

Motivasi tersebut di atas yang mengemuka tidak heran banyak kutu loncat tercipta. Hari ini aa di partai A dengan ideologi agama, besok menjadi kader partai B dengan visi kerakyatan dan lusa sudah ada di partai dengan landasan sosialis. Koalisi dagelan, di mana kepentingan ini bersama dengan kelompk satu, kepentingan lain bersama dengan kelompok dua, dan seterusnya. Kesatuan ideologis, perjuangan, dan demi pembangunan bangsa masih jauh dari harapan dan kesejatian.

Apakah ini karena telah mendarah dagingnya cerita legendaris soal Dasamuka ini dalam diri para politikui akhirnya  mereka tanpa sadar menghidupinya? Setiap pelaku politik kalau ditanya pasti akan mengatakan demi bangsa dan negara, namun pada dasarnya?

Memang tidak semua demikian, masih ada yang idealis, namun kalah dengan suara kelompok Dasamuka-Dasamuka yang jauh lebih kencang dan bisa memutarbalikkan fakta sehingga yang benar justru tersingkir dan tersisih.

Salam Damai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun