Mau membuat catatan akhir tahun wah kog ngeri banget, seperti pakar saja, mau menuliskan kaledioskop hukum, wong gak tahu hukum, soal kondisi ini berangkat dari keprihatinan dan berdasar logika semata, bukan soal hukum dengan pasal-pasalan perundang-undangan.
Sunatan Angie
Hukuman Angie di MA dulu menjadi harapan besar bagi banyak pribadi yang optimis soal pemberantasan korupsi. Naik sekian kali lipat dan soal baru, yaitu denda yang demikian signifikan. Tentu menjadi harapan besar masih adanya semangat akan harapan korupsi bisa tuntas. Naun hal itu lesu ketika PK mengabulkan sebagian dengan berbagai dalih dan akhirnya adalah sunatan dengan hukuman kurungan dan denda yang sangat jauh berbeda. Hadiah tahun baru yang sangat menyenangkan, meskipun bagi Angie masih merasa tidak adil.
Golkar, P3, dan PSSI
Tuntut menuntut yang sangat lucu dan sangat menjengkelkan sejatinya. Bagaimana tidak, menuntut di pengadilan A pemenang adalah X mengajukan opsi hukum di pegadilan B yang menang Y. Naik ke peradilan yang lebih tinggi juga hanya berupa dagelan ketika berganti giliran saja. Sejak awal telah bisa diperkirakan sebelumnya.
Hukuman Mati namun dihidupi sekian lama tanpa kejelasan, malah berjualan lagi dengan lebih leluasa.
Sama sekali tidak punya beban, maka berani berdagang dengan seenaknya sendiri, lha apa yang ditakutkan, soalnya pasti mati, meskipun kapan waktunya tidak jelas. PK berkali-kali bisa dan selalu difasilitasi. Pengacara memang diuntungkan dengan peradilan berkepanjangan namun apakah bangsa ini hanya akan menjadi temppat akrobat politik hukum mereka. Yang tahu hukum malah main-main dengan dalih dan cara berkelit yang sangat memalukan sejatinya.
Orang Hukuman Bisa Jalan-Jalan.
Sebenarnya, hal ini hanyalah bagian kecil dari keburukan peradilan di sini. Selain jalan-jalan, bisa menghamili orang, memakai hp dan memiliki kamar yang bisa diatur-atur sendiri. Sejatinya, penjara adalah tempat pembinaan untuk memberikan kesadaran akan kesalahan dengan mengekang kebebasan. Soal HAM ditekankan, sedang mereka telah sewenang-wenang menginjak-injak HAM orang lain. Pembelaan yang salah dan fatal lagi. Bisa juga mereka itu berbisnis dan melakukan aktifitas apapun dengan banyak cara, dan ujungnya uang. Mana ada penjara bisa membuat bungker tanpa ketahuan, ada jenglot, pedang, dan sebagainya.
Pedang Hukum tidak Jelas
Soal SE Kapolri, memang telah menjerat satu orang yaitu Paonganan. Namun masih banyak sekali pejabat yang lepas dengan berbagai dalih, contoh jelas yang masih bisa bebas adalah Setya Novanto dan kawan-kawan yang menyatakan hal yang identik. Malah menuntut semua orang yang dirasanya mengganggu kepentingannya. Padahal pasal kolonial soal pencemaran nama baik harus direvisi dan ada kehendak baik untuk menyelidikan kasusnya dulu, kalau tidak terbukti baru soal fitnah dan pencemaran nama baik. Lebih banyak orang mau melaporkan kejahatan atau kriminal kalau tidak punya dukungan kuat akan masuk penjara, dengan demikian, keadaan makin buruk. Kejahatan makin merajalela, kebaikan tersingkir karena ketakutan.
Rasa Malu yang perlu dibina
Jelas menggunakan baju tahanan namun malah cengengesan dan berkelit dengan berbagai cara. Semua orang dan diri bisa ditipunya, namun ada Tuhan lho, dan itu sering diabaikan oleh negara yang menyatakan ber-Pancasila dan semua warga negaranya beragama ini.
Tafsir hukum masih bisa seenaknya karena hakim memiliki kuasa yang seperti tak terbatas. Bagaimana hal yang sama bisa ditafsirkan berbeda. Kalau masalah sudut pandangn tidak menjadi soal, menjadi tragis kalau memang tidak mampu melihat yang benar karena silau uang dan kuasa. Tidak jarang hakim yang jelas-jelas buruk malah promosi sedang yang bekerja dengan idealisme malah dipindah ke daerah yang sangat tidak membutuhkan kecerdasannya.
Mengapa terjadi?
Hukum, hanyalah produk turunan dari pembentuknya yang sejak awal telah buruk. Dewan sebagai legislator sangat kotor, tidak punya roh dan jiwa yang baik, kepentingan diri dan kelompok jauh lebih menggejala. Â Tidak heran pelaksanaan hukum masih kacau dan carut marut.
Mental dan jiwa yang membentuk hukum sudah sejak awal jelek. Bagaimana komisi hukum bermodal ijazah persamaan SMA, apakah mampu melihat fenomena perkembangan zaman yang terus berubah dan berkembang. Memang ijazah bukan jaminan dan segalanya, namun jelas saja memperlihatkan ketidakmampuan secara mendasar soal pengetahuan. Mental yang baik hasil dari pendidikan yang bermutu.
Kita tentu tahu bahwa pendidikan kita masih memprihatinkan. Guru-guru yang masih sebatas membagikan isi buku dan belum menggali pengetahuan dengan lebih dalam dan banyak. Ini dominan dan orientasi pada kurikulum dan lebih fatal sertifikasi.
Pendidikan dan kualitas keluarga sangat menentukan. Di mana sekolah dan keluarga harus memberikan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada kepemilikan materi semata, namun cara yang baik itu jauh lebih penting. Selama ini proses dan perjuangan itu dilepaskan dan yang penting adalah hasilnya. Kaya meskipun koruptor masih saja mendapatkan penghormatan yang tinggi.
Â
Salam Damai
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI