Kita patut bergembira memasuki usia 70 tahun bagi bangsa Indonesia tercinta. Masa perjuangan fisik telah berganti dengan era pembangunan terus menerus. Perjuangan yang berubah dan berganti dinamika. Bangsa Indonesia bersama-sama bangsa yang lain merdeka dalam kurun waktu yang tidak jauh berbeda. Hitungan bulan dan tahun bersama-sama sebagai bayi yang mulai menata hidupnya sendiri.
Cara merdeka di antara bangsa yang lain, kita patut berbangga dengan merebut dan memperjuangkan sendiri bukan pemberian seperti negara lain. Seumpama bayi yang lahir, kelahiran Bangsa Indonesia melalui persalinan normal, sedang beberapa bangsa tetangga dengan operasi. Dua contoh adalah negeri jiran Singapura dan Malaysia.
Susah payah kelahiran normal dan alamiah itu ternyata menghasilkan bangsa yang dengan berat hati harus mengakui kalah pesat pertumbuhannya dari saudara mudanya. Konon anak yang lahir dengan cara operasi tidak memiliki daya juang, susahnya harus berakrobat membalik saat kelahiran di lorong gelap antara hidup dan mati. Demikian pun bangsa ini, lahir belum sempurna telah kembali dalam cengekaraman beraneka kepentingan untuk menjadikannya kembali janin. Perjuangan tidak kenal lelah membawa kemerdekaan dari penjajah mampu terlaksana.
Daya juang itu entah telah habis atau karena dimanja oleh alam dengan sumber dayanya yang melimpah ruah sehingga lalai untuk bekerja keras. Ngapain susah-susah memelihara sapi toh membeli dari luar negeri juga ada. Peribahasa murah membeli sate daripada memelihara kambing dibuktikan dalam tindak nyata. Budaya instan telah melingkupi anak negeri. Lautan luas bahkan 2/3 dari luas negara ini laut namun garam membeli, ikan tidak tahu siapa yang menyantap, dan nelayannya miskin. Tidak mau capek dan lelah namun minta BBM selalu murah. Berjalan kaki seolah menjadi barang langka. Jalanan penuh dengan kendaraan minta lancar dan cepat. Mau makan segar dengan cabai namun tidak mau menanam dan minta murah. Pemerintah tidak mau susah dan mencari pemadam kebakaran dengan mengimport. Pekerjaan selesai namun memberikan beban di waktu yang mendatang.
Penyelesain masalah dengan masalah baru. Program dan hukum perundangan yang indah namun lemah dalam pelaksanaan dan pengawasan. Budaya instan dan potong kompas sebagai pemadam api kebakaran masalah yang bisa memicu persoalan baru. Mencari kambing hitam dan pembentukan opini publik sebagai panglima mengatasi masalah sesat.
Perjuangan fisik dengan bambu runcing telah usai. Saatnya berjuang mengatasi diri sendiri dengan keruncingan dan tajamnya hati nurani yang rela meneliti diri sendiri terlebih dahulu daripada menuding orang lain. Berlomba-lomba berbuat kebaikan dan menebarkan kebijaksanaan.
Dirgahayu Bangsaku!
Anomali Kemerdekaan
Kita patut bergembira memasuki usia 70 tahun bagi bangsa Indonesia tercinta. Masa perjuangan fisik telah berganti dengan era pembangunan terus menerus. Perjuangan yang berubah dan berganti dinamika. Bangsa Indonesia bersama-sama bangsa yang lain merdeka dalam kurun waktu yang tidak jauh berbeda. Hitungan bulan dan tahun bersama-sama sebagai bayi yang mulai menata hidupnya sendiri.
Cara merdeka di antara bangsa yang lain, kita patut berbangga dengan merebut dan memperjuangkan sendiri bukan pemberian seperti negara lain. Seumpama bayi yang lahir, kelahiran Bangsa Indonesia melalui persalinan normal, sedang beberapa bangsa tetangga dengan operasi. Dua contoh adalah negeri jiran Singapura dan Malaysia.
Susah payah kelahiran normal dan alamiah itu ternyata menghasilkan bangsa yang dengan berat hati harus mengakui kalah pesat pertumbuhannya dari saudara mudanya. Konon anak yang lahir dengan cara operasi tidak memiliki daya juang, susahnya harus berakrobat membalik saat kelahiran di lorong gelap antara hidup dan mati. Demikian pun bangsa ini, lahir belum sempurna telah kembali dalam cengekaraman beraneka kepentingan untuk menjadikannya kembali janin. Perjuangan tidak kenal lelah membawa kemerdekaan dari penjajah mampu terlaksana.
Daya juang itu entah telah habis atau karena dimanja oleh alam dengan sumber dayanya yang melimpah ruah sehingga lalai untuk bekerja keras. Ngapain susah-susah memelihara sapi toh membeli dari luar negeri juga ada. Peribahasa murah membeli sate daripada memelihara kambing dibuktikan dalam tindak nyata. Budaya instan telah melingkupi anak negeri. Lautan luas bahkan 2/3 dari luas negara ini laut namun garam membeli, ikan tidak tahu siapa yang menyantap, dan nelayannya miskin. Tidak mau capek dan lelah namun minta BBM selalu murah. Berjalan kaki seolah menjadi barang langka. Jalanan penuh dengan kendaraan minta lancar dan cepat. Mau makan segar dengan cabai namun tidak mau menanam dan minta murah. Pemerintah tidak mau susah dan mencari pemadam kebakaran dengan mengimport. Pekerjaan selesai namun memberikan beban di waktu yang mendatang.
Penyelesain masalah dengan masalah baru. Program dan hukum perundangan yang indah namun lemah dalam pelaksanaan dan pengawasan. Budaya instan dan potong kompas sebagai pemadam api kebakaran masalah yang bisa memicu persoalan baru. Mencari kambing hitam dan pembentukan opini publik sebagai panglima mengatasi masalah sesat.
Perjuangan fisik dengan bambu runcing telah usai. Saatnya berjuang mengatasi diri sendiri dengan keruncingan dan tajamnya hati nurani yang rela meneliti diri sendiri terlebih dahulu daripada menuding orang lain. Berlomba-lomba berbuat kebaikan dan menebarkan kebijaksanaan.
Dirgahayu Bangsaku!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H