Mohon tunggu...
Candra
Candra Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Duc In Altum

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengenal Pemikiran Jean Baudrillard

1 April 2023   19:02 Diperbarui: 1 April 2023   19:06 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jean Baudrillard adalah seorang filsuf post-modern. Lahir di Reims, Prancis pada tanggal 27, Juli 1929. Meninggal dunia pada tanggal 6, Maret 2007. Baudrillard belajar ilmu sastra Jerman di Sorbonne, Paris. Sebagai seorang filsuf Baudrillard banyak memunculkan pemikiran-pemikiran menarik seperti sign value, simulacra, dan hiperealitas. Karya-karyanya kombinasi dari filsafat, teori sosial, dan metafisika budaya. Salah satu bukunya yang terkenal ialah The system of Objects, The Consumer Society, For a Critique of the Political Economy of the Sign, The Mirror of Production, Symbolic Excange and Death dan Simulacra and Simulation.  

Jean Baudrillard juga seorang tokoh kontemporer yang tegas saat menyampaikan kritik atas isu budaya dan sosial seperti, penghapusan perbedaan gender, kelas, ras. Pandngannya juga perhatian pada masyarakat modern yang konsumeris. Perkembangan teknologi yang membumi telah mempengaruhi kehidupan sosial masyarakt. 

Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh seorang filsuf bernama Karl Marx, yang kemudian hari dikritiknya sendiri, Nietzsche, Roland Barthes, George Bataille, dan Lefebvre. Secara garis besar fokus pemikiran Baudrillard terletak pada sign-value kritik yang dilontarkan kepada Karl Marx dan pada simulacra sebagai kritiknya  terhadap masyarakat modern yang telah dikendalikan oleh ilusi yang tidak nyata.

Konsep Sign-Value

Karya Jean Baudrillard membahas tentang analisis semiotik untuk mengetahui bagaimana satu objek  dikodekan ke dalam satu sistem tanda. Dengan kombinasi ilmu semiotik, teori politik Marxian dan sosiologi masyarkat konsumen, ia menggambarkan tanda yang diinvestasikan ke dalam kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat baru. Ide menjadi cikal bakal Sign-Value. 

Menurut Baudrillard dalam satu objek terdapat empat bentuk nilai yakni, pertama, Baudrillard menyebutkan the funcional value yakni, nilai kegunaan suatu objek. Kedua, the exchange value yakni, nilai tukar yang ada dalam satu objek. Ketiga, the symbolic value yakni, nilai objek yang diberikan oleh subjek dalam hubungannya dengan subjek lain. Keempat, the sign value yakni, nilai objek dalam sistem objek atau status yang menyertai objek itu. Prinsip sign-value ditujukan untuk mengerti realitas masyarakat modern. 

Maka segala usaha yang dibuatnya dalam hal ini ada dalam kerangka mengerti dan mengungkapkan kehidupan masyarakat modern. Prinsip ini berbeda dengan Mark yang menjelaskan bahwa nilai tukar mendominasi nilai fungsi. Menurut Jean Baudrillard pemikiran Karl Marx itu tidak lagi relevan. Kritik politik Marxian perlu dilengkapi dengan teori tanda untuk mengerti realitas. 

Dalam analisisnya, Jean Baudrillard menemukan bahwa dalam tahap transisi masa kapitalisme kompetitif ke monopoli terjadi satu upaya untuk mengarahkan masyarakat pada sifat konsumtif. Para kapitalisme terus menerus menciptakan barang-barang yang menarik banyak minat yang pada akhirnya melahirkan sign-value.

Konsep sign-value muncul untuk menganalisa nilai dalam masyarakat konsumtif. Baudrillard beranggapan bahwa sekarang ini masyarakat membeli suatu barang bukan karena nilai gunanya akan tetapi karena nilai simbolik yang melekat pada barang tertentu. Kegiatan konsumsi dilakukan tidak hanya untuk mengubah nilai tukar menjadi nilai guna tetapi untuk memperoleh status atau tanda yang mengikuti objek tertentu. Itulah sign-value. 

Orang cenderung membeli karena gaya hidup untuk menaikkan status sosial. Nilai tanda yang ada dalam objek tertentu tidak terjadi begitu saja. Nilai tanda ini dihasilkan oleh pekerja yang membuat barang atas intruksi suatu tatanan hierarki tertentu. Tatanan inilah yang membuat intervensi atas nilai guna menjadi nilai tanda. 

Menjadi berkembang  ketika barang atau objek tertentu dipasarkan. Pemasaran dibuat dengan cara yang paling menarik agar banyak yang berminat. Akhirnya aktivitas ini menggandakan kuantitas tanda yang dibawa oleh objek yang dipasarkan itu sekaligus menambah sign-valuenya. Maka benar nilai suatu komoditas tidak ditentukan oleh nilai tukar dan nilai gunanya tetapi dicirakan dengan nilai tanda seperti kemewahan kekuasaan dan sebagainya. 

Permasalahnnya adalah penambahan tanda pada objek dalam pemasaran dalam bentuk iklan dan sebagainya menjadi keliru, nilai objek tidak sesuai lagi dengan yang sebenarnya. Ada perbedaan makna tanda produksi dengan makna yang dicipta dalam pemasaran media sosial dan periklanan. Akhirnya sistem tanda itu kacau dan memunculkan simulasi di mana tanda-tanda menumpuk membentuk satu kesatuan (realita bergabung dengan fiksi). Tidak dikenali mana yang asli dan mana yang palsu. Kesatuan realita dan fiksi atau ilusi ini yang kemudian disebutnya sebagai simulacra.

Simulacra and Simulation

Untuk mengerti simulacra kita pertama-tama harus mengerti makna simulasi. Simulasi adalah suatu proses representasi suatu kegiatan atau objek tertentu sebagai bahan dan akhirnya menggantikan objek aslinya. Representasi itu dianggap lebih nyata dari objek sesungguhnya. Akhirnya banyak hal menjadi abstrak. Simulasi membangun representasi sistem tanda yang tidak hanya sekedar meniru atau menduplikat tetapi mengganti atau menggeser makna aslinya. 

Contoh seorang individu dalam akun Instagramnya ingin mengupload sebuah foto dirinya yang kelihatan religius. Tentu hal-hal yang ditempuhnya adalah memposting foto-foto yang berisi kutipan-kutipan suci atau berpose dengan menggunakan pakaian religius. 

Hal semacam ini dilakukan untuk merepresentasi dirinya sekaligus menunjukkan kepada teman medsos bahwa dirinya religius sekali. Itulah simulasi. Teman-temannya barang tentu menganggap bahwa dia sangat suci, kudus dan taat agama semantara belum tentu bagaimana sesungguhnya. Tak bisa dipungkiri citra seorang pribadi itu telah disimulasikan pada citra yang belum tentu citranya. 

Zaman ini macam hal tentang dunia disimulasikan oleh teknologi digital yang seolah nyata. Makna sesungguhnya bercampur dengan makna ilusi yang dihasilkan dari proses simulasi. Itulah simulacra.  Istilah simulacra merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut atau menjelaskan sebuah simbol, tanda, atau citra tertentu yang tampak dalam kenyataan yang tidak ada rujukan dalam realitas sesungguhnya. Singkat simulacra adalah simulasi yang dibelokkan. Namun demikian simulasi ini menciptakan sebuah simbol, tanda atau citra  yang kemudian menjadi bagian dari sebuah realitas.

Teori simulacra  Baudrillard menilik situasi konkret manusia modern yang sudah terkontaminasi kemajuan teknologi dan komunikasi. Menurutnya saat ini media interaksi sosial cenderung menampilkan satu realitas yang jauh dari realitas sesungguhnya. Melalui media massa setiap orang dengan mudah menerima informasi dalam bentuk iklan yang menampilkan gambaran realitas yang seolah-olah sempurna sehingga orang tergiur dan meniru apa yang disampaikan dalam iklan[1]. 

Padahal iklan itu hanyalah permainan mata semata (manipulasi) dan terlihat seakan-akan benar. Tidak ada kebenaran yang absolut yang ditampilkan dalam iklan, semua itu adalah simulasi. Namun tak dipungkiri realitas yang seolah-olah realitas akhirnya menjadi bagian realitas. 

Itulah dunia simulacra penuh dengan kepura-puraan, topeng dan tipu daya. Simulacra membentuk sebuah konsep baru yang tidak memiliki  referensi. Baudrillard menambahkan bahwa simulacra tidak menyembunyikan kebenaran tetapi kebenaran itu justru yang menyembunyikan fakta bahwa tidak ada kebenaran.

 Dalam simulacra masyarakat zaman ini digiring kepada realitas virtual dan menganggap bahwa yang disampaikan simulacra adalah kebenaran. Akibatnya batasan kebenaran pun hilang. Fenomena seperti ini menjadi budaya konsumsi citra yang ditawarkan oleh media massa. Representasi dari suatu objek yang dibuat membuat masyarakat terpurung. Masyarakat dibawa pada realitas yang palsu, semu. 

Realitas semu itu kemudian dicitrakan dalam bentuk realitas yang mendeterminasikan kesadaran masyarakat, inilah yang disebut dengan realitas semu (hyper-reality). Realitas mengganda. Realitas ini tercipta oleh jenis media komunikasi yang terus berkembang yang dijadikan masyarakat sebagai referensi kebenaran. 

Dengan media, dunia ilusi/imajinatif disuguhkan oleh simulator dan akhirnya menggiring masyarakat pada suatu kesadaran palsu. Inilah ruang simulacra itu. Masyarakat kontemporer menurut Baudrillard identik atau sudah dicampuri oleh teori simulacra. Disinilah perkembangan teknologi dan informasi dapat terlihat telah menjadi realitas yang mampu diklaim sebagai bentuk produk dari modernitas yang menciptakan batasan-batasan imajiner dalam realitas dan dicipta melalui proses simulasi. 

Citra objek yang telah direpresentasi mengantar realitas kepada hiper-realitas yang digambarkan sebagai ruang kosong yang di dalamnya tidak ada batasan real dengan imajiner. Dengan demikian simulasi ini tidaknya hanya berbicara tentang tanda dan simbol tetapi juga berbicara soal kekuasaan dan hubungan sosial dalam masyarakat.

 Makna pesan dalam media sosial saat ini bagaikan komunikasi yang rancu, terputus dari asalnya. Sehingga tepat sekali Baudrillard menyimpulkan bahwa kontruksi budaya kontemporer  selalu ada dalam citra-citra simulasi, yakni menciptakan suatu realitas nyata tanpa historisitas kebenaran yang disebut dengan hiperrealitas. Jean Baudrillard menyebutkan bahwa masyarakat simulasi adalah wujud karakter identitas masyarakat kontemporer dalam kehidupannya direpotkan oleh absurditas kode, tanda dan simbol. 

Dalam simulacra Secara esensial manusia itu tidak ada dalam kehadiran realitas sesungguhnya tetapi selalu berpikir imajiner dan ada pada keyakinan semu  dalam melihat realitas di ruang tempat kerja simulasi berlangsung. Akibatnya,membuat jarak-jarak antara kebenaran dan kepalsuan, realitas dan rekaan belaka terasa jauh dan memiliki kesamaan. 

Oleh karena itu yang dihasilkan dalam kenyataan ini adalah situasi semu dan kepalsuan hasil representasi (hyper-reality). Dalam analisis kemajuan teknologi virtual, Baudrillard menjelaskan bahwa kenyataan semu dan dibuat-buat atu yang dimanipulasi adalah keadaan di mana manusia terjebak dalam realitas yang dianggap asli dan nyata. 

Maka gambaran suatu realitas adalah model-model manipulasi bukan kenyataan yang sesungguhnya. Simulacra akhirnya mempengaruhi masyarakat dan mengontrol mereka dengan cara yang halus yaitu menipu dan mempercayai bahwa simulasi itu adalah kenyataan yang sesungguhnya sehingga masyarakat menjadi tergantung terhadap simulasi dan posesif terhadapnya. Dan pada akhirnya manusia menjadi tidak sadar akan hadirnya simulasi ini.

 Terdapat empat tahap pembentukan simulakra. Tahap pertama, symbolic order/the era of origin, masyarakat memiliki sistem tanda yang pasti yang terdistribusi dengan baik. simbol masih mempresentasikan objek aslinya. Tahap kedua, yakni first order of simulacra/the counterfeit. Di tahap ini berkembang zaman modern awal (renaissance-industry) . Mengimitasi objek asli. Tahap ketiga, the second order of simulacra (revolusi industri-pertengahan abad ke-20).  

Pada tahap ini objek yang diimitasi diproduksi massal target tertentu. Tahap keempat, the third order of simulacra (masa kini). Tahap di mana dunia didominasi oleh simulasi dan perkembangan teknologi. Objek yang sudah diimitasi diproduksi berkali-kali dan dipasarkan/disimulasikan melalui media komunikasi sehingga realitas sesungguhnya hilang dan melahirkan realitas baru yang seolah-olah nyata (hiperrealitas). Hiperrealitas adalah keadaan di mana suatu objek yang telah direpresentasikan melebihi objek asli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun