Permasalahnnya adalah penambahan tanda pada objek dalam pemasaran dalam bentuk iklan dan sebagainya menjadi keliru, nilai objek tidak sesuai lagi dengan yang sebenarnya. Ada perbedaan makna tanda produksi dengan makna yang dicipta dalam pemasaran media sosial dan periklanan. Akhirnya sistem tanda itu kacau dan memunculkan simulasi di mana tanda-tanda menumpuk membentuk satu kesatuan (realita bergabung dengan fiksi). Tidak dikenali mana yang asli dan mana yang palsu. Kesatuan realita dan fiksi atau ilusi ini yang kemudian disebutnya sebagai simulacra.
Simulacra and Simulation
Untuk mengerti simulacra kita pertama-tama harus mengerti makna simulasi. Simulasi adalah suatu proses representasi suatu kegiatan atau objek tertentu sebagai bahan dan akhirnya menggantikan objek aslinya. Representasi itu dianggap lebih nyata dari objek sesungguhnya. Akhirnya banyak hal menjadi abstrak. Simulasi membangun representasi sistem tanda yang tidak hanya sekedar meniru atau menduplikat tetapi mengganti atau menggeser makna aslinya.Â
Contoh seorang individu dalam akun Instagramnya ingin mengupload sebuah foto dirinya yang kelihatan religius. Tentu hal-hal yang ditempuhnya adalah memposting foto-foto yang berisi kutipan-kutipan suci atau berpose dengan menggunakan pakaian religius.Â
Hal semacam ini dilakukan untuk merepresentasi dirinya sekaligus menunjukkan kepada teman medsos bahwa dirinya religius sekali. Itulah simulasi. Teman-temannya barang tentu menganggap bahwa dia sangat suci, kudus dan taat agama semantara belum tentu bagaimana sesungguhnya. Tak bisa dipungkiri citra seorang pribadi itu telah disimulasikan pada citra yang belum tentu citranya.Â
Zaman ini macam hal tentang dunia disimulasikan oleh teknologi digital yang seolah nyata. Makna sesungguhnya bercampur dengan makna ilusi yang dihasilkan dari proses simulasi. Itulah simulacra.  Istilah simulacra merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut atau menjelaskan sebuah simbol, tanda, atau citra tertentu yang tampak dalam kenyataan yang tidak ada rujukan dalam realitas sesungguhnya. Singkat simulacra adalah simulasi yang dibelokkan. Namun demikian simulasi ini menciptakan sebuah simbol, tanda atau citra  yang kemudian menjadi bagian dari sebuah realitas.
Teori simulacra  Baudrillard menilik situasi konkret manusia modern yang sudah terkontaminasi kemajuan teknologi dan komunikasi. Menurutnya saat ini media interaksi sosial cenderung menampilkan satu realitas yang jauh dari realitas sesungguhnya. Melalui media massa setiap orang dengan mudah menerima informasi dalam bentuk iklan yang menampilkan gambaran realitas yang seolah-olah sempurna sehingga orang tergiur dan meniru apa yang disampaikan dalam iklan[1].Â
Padahal iklan itu hanyalah permainan mata semata (manipulasi) dan terlihat seakan-akan benar. Tidak ada kebenaran yang absolut yang ditampilkan dalam iklan, semua itu adalah simulasi. Namun tak dipungkiri realitas yang seolah-olah realitas akhirnya menjadi bagian realitas.Â
Itulah dunia simulacra penuh dengan kepura-puraan, topeng dan tipu daya. Simulacra membentuk sebuah konsep baru yang tidak memiliki  referensi. Baudrillard menambahkan bahwa simulacra tidak menyembunyikan kebenaran tetapi kebenaran itu justru yang menyembunyikan fakta bahwa tidak ada kebenaran.
 Dalam simulacra masyarakat zaman ini digiring kepada realitas virtual dan menganggap bahwa yang disampaikan simulacra adalah kebenaran. Akibatnya batasan kebenaran pun hilang. Fenomena seperti ini menjadi budaya konsumsi citra yang ditawarkan oleh media massa. Representasi dari suatu objek yang dibuat membuat masyarakat terpurung. Masyarakat dibawa pada realitas yang palsu, semu.Â
Realitas semu itu kemudian dicitrakan dalam bentuk realitas yang mendeterminasikan kesadaran masyarakat, inilah yang disebut dengan realitas semu (hyper-reality). Realitas mengganda. Realitas ini tercipta oleh jenis media komunikasi yang terus berkembang yang dijadikan masyarakat sebagai referensi kebenaran.Â