Lebih lanjut Santo Yohanes dari Salib, memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana hasrat yang tidak teratur terhadap hal-hal duniawi dapat merusak keindahan jiwa. Ia menyebut bahwa jiwa yang diciptakan oleh Tuhan memiliki keindahan yang sempurna dan luhur. Namun, hasrat yang tidak terkendali mampu mengubah jiwa menjadi sesuatu yang hina dan menjijikkan, jauh dari rencana semula yang Tuhan kehendaki.
Ia menjelaskan bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini, bahkan kebusukan jasad yang telah mati, sarang laba-laba, atau kotoran lainnya---yang dapat sepenuhnya menggambarkan betapa hinanya jiwa yang terikat pada hasrat duniawi. Meski secara kodrat, jiwa tetap sempurna sebagaimana saat Tuhan menciptakannya, namun dalam keberadaan rasionalnya, jiwa yang didominasi oleh hasrat duniawi kehilangan kemurniannya. Jiwa itu menjadi hitam, kotor, dan penuh keburukan.
Santo Yohanes dari Salib menegaskan bahwa bahkan satu hasrat yang tidak teratur saja, meskipun tidak melibatkan dosa berat, cukup untuk membuat jiwa kehilangan kemampuannya untuk bersatu dengan Tuhan. Hasrat ini mengikat jiwa, mencemarinya, dan menjauhkan jiwa dari kesucian Tuhan. Maka, bayangkan betapa hina dan terikatnya jiwa yang sepenuhnya dikuasai oleh banyak hasrat duniawi.
Beragamnya Kenajisan yang Ditimbulkan oleh Hasrat
Lebih lanjut, Santo Yohanes dari Salib menggambarkan betapa beragamnya kenajisan yang ditimbulkan oleh berbagai hasrat dalam jiwa. Setiap hasrat, besar maupun kecil, meninggalkan jejak kotor yang berbeda. Satu ketidakteraturan dalam akal bisa menjadi sumber berbagai macam kekotoran, yang terus bertambah dan memperburuk keadaan jiwa.
Namun, Santo Yohanes dari Salib juga memberikan perbandingan yang indah. Sebagaimana jiwa orang benar dipenuhi dengan berbagai kebajikan dan rahmat yang kaya dan penuh keindahan karena cinta mereka kepada Tuhan, jiwa yang tidak teratur juga penuh dengan kenajisan dan kehinaan karena hasratnya terhadap ciptaan duniawi. Satu paragraf menarik dalam karya Pendakian Gunung Karmel ini adalah :
Sebab, sebagaimana jiwa orang benar memiliki dalam satu kesempurnaan, yaitu ketulusan jiwa, anugerah-anugerah yang tak terhingga dari kekayaan terbesar, dan banyak kebajikan yang penuh keindahan, masing-masing berbeda dan dipenuhi dengan rahmat sesuai dengan jenisnya, tergantung pada banyaknya dan beragamnya afeksi cinta yang dimilikinya dalam Tuhan, demikian pula jiwa yang tidak teratur, sesuai dengan ragam hasratnya terhadap makhluk ciptaan, memiliki dalam dirinya berbagai macam kenajisan dan kehinaan yang menyedihkan, yang diberikannya melalui hasrat-hasrat tersebut.
Orang kudus ini hendak mengatakan jiwa akan ciptaan dalan bentuk keinginan yang tidak teratur akan membawa jiwa kehilangan kesucian dan mendapati dirinya terpenjara oleh kekotoran yang menyedihkan, sementara jiwa yang tulus memancarkan sinar ilahi yang tak terhingga, mencerminkan cinta sejati dalam Tuhan. Semua terbentuk dari seberapa besar dan ragam afeksi yang dimiliki jiwa itu. Pesan mendalam bahwa pemurnian jiwa , hasrat, keinginan, pikiran dan kehendak perlu dilakukan terus menerus dan menjadikan Tuhan sebagai pusat afeksi agar jiwa menjadi indah dan murni seperti Tuhan.
Keragaman Hasrat dalam Jiwa dan Kutipan dalam Kitab Suci
Santo Yohanes dari Salib, dalam pengajarannya yang mendalam mengenai kehidupan rohani, menggambarkan dengan tajam bagaimana keragaman hasrat dalam jiwa manusia dapat mencemari kesucian dan kedekatannya dengan Tuhan. Melalui referensi yang kuat dari Kitab Yehezkiel, kita diberi gambaran yang mencolok mengenai bagaimana setiap hasrat, bahkan yang tampaknya kecil dan tidak berarti, dapat menodai jiwa manusia.
Dalam Kitab Yehezkiel (Yehezkiel 8:10-16), Nabi Yehezkiel menunjukkan kepada kita visi yang sangat simbolik mengenai keragaman keinginan dan hasrat manusia. Di dalam Bait Suci, Yehezkiel melihat dinding-dinding yang dipenuhi dengan gambar binatang melata yang merayap di tanah, serta gambaran binatang najis lainnya. Ini menggambarkan pikiran dan konsep-konsep yang dibentuk oleh akal manusia dari hal-hal duniawi yang rendah dan kotor. Seperti halnya Bait Suci, jiwa manusia, yang sejatinya adalah tempat pertemuan dengan Tuhan, dapat ternoda jika dibebani dengan pemikiran dan keinginan terhadap makhluk ciptaan yang sementara.
Allah kemudian memerintahkan Yehezkiel untuk melihat lebih jauh, dan dia melihat wanita-wanita yang menangisi Adonis, dewa cinta. Ini menggambarkan keinginan-keinginan yang ada dalam fakultas kehendak jiwa, yang merindukan apa yang dihargai oleh kehendak tersebut. Mereka menangis, tidak hanya karena kesedihan, tetapi juga karena keinginan yang tak terpuaskan terhadap hal-hal duniawi yang mereka dambakan. Hasrat-kerinduan ini, meskipun dalam bentuk yang lebih mendalam, tetap berasal dari keinginan terhadap ciptaan yang jauh dari kesucian dan kehendak Tuhan.
Lebih jauh lagi, Yehezkiel melihat dua puluh lima orang tua yang membelakangi Bait Suci. Ini merupakan gambaran dari ingatan dan refleksi yang terjadi dalam jiwa kita. Ketika jiwa, dalam ketiga fakultasnya yaitu akal, kehendak, dan ingatan, sepenuhnya memeluk hal-hal duniawi, jiwa itu dapat dikatakan telah membelakangi Tuhan. Jiwa tersebut, yang seharusnya mengarahkan pandangannya kepada Tuhan, justru terfokus pada makhluk ciptaan yang tidak abadi.