Mohon tunggu...
Patrya Pratama
Patrya Pratama Mohon Tunggu... -

Pemerhati dan praktisi kebijakan publik, terutama kebijakan sosial. Penggemar tenis dan Manchester United.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Sesat Pikir Pilkada DKI: Toleransi vs Anti-Toleransi

20 Februari 2017   13:36 Diperbarui: 20 Februari 2017   18:14 1611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam Pilkada DKI Jakarta sekarang, muncul sebuah pemikiran dan argumentasi yang kerapkali digaungkan oleh beberapa kalangan, bahwa ini sebenarnya adalah pertarungan antara toleransi melawan antitoleransi. Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa logika yang menyederhanakan kompetisi Pilkada dalam bingkai tersebut adalah keliru, dan bila dibiarkan, akan memecah belah masyarakat Indonesia yang pada akhirnya memundurkan demokrasi kita.

Perspektif yang melihat Pilkada DKI Jakarta dalam bingkai toleransi versus antitoleransi disampaikan oleh beberapa kalangan, termasuk beberapa media internasional dan juga diamplifikasi oleh beberapa kalangan di dalam negeri Indonesia sendiri (walaupun ada pula yang relatif hati-hati dalam menyimpulkan, seperti di sini).

Misalnya, peneliti CSIS Tobias Basuki mengatakan bahwa Pilkada DKI Jakarta adalah sebuahlitmus test” pada rasa keterwakilan bangsa Indonesia di Jakarta, apakah faktor agama atau rasial akan menjadi penentu dalam Pilkada, menjelaskan bahwa bila Pilkada dimenangkan oleh selain Pak Ahok, maka hal tersebut akan menjadi penentu apakah politisi dan kelompok Islam akan terus menghancurkan pluralisme dan Islam yang toleran untuk tujuan politik.

Hal senada juga disampaikan oleh banyak pihak lain. Deputi Koordinator Nasional Jaringan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto, mengatakan bahwa hanya isu SARA yang dapat menjegal Pak Ahok pada putaran kedua, yang secara tidak langsung mengatakan bahwa seluruh pemilih DKI Jakarta yang tidak memilih Pak Ahok adalah karena agama dan ras dari Pak Ahok.  Bahkan penulis buku Indonesia Etc (buku yang bagus, recommended), Elizabeth Pisani mengatakan bahwa hasil Pilkada putaran 1 yang dimenangkan Pak Ahok menunjukkan bahwa rakyat Jakarta tidak mengikuti tren global yang memenangkan para populis karena memilih Pak Ahok ketimbang “demagog yang ingin menggantikannya dengan menyebarkan ketakutan pada orang asing”.

Singkat kata, kalangan ini ingin mengatakan bahwa bila Pak Ahok menang, maka hal tersebut adalah kemenangan pada toleransi, sementara bila kalah maka hal tersebut adalah kemenangan pada intoleransi. Pilkada ini adalah pertarungan antara kelompok pro-toleransi dan antitoleransi. Benarkah?

Keliru berpikir

Mengatakan Pilkada sebagai toleransi vs antitoleransi, atau mengatakan bahwa memilih Pak Ahok adalah bukti mendukung toleransi, sama seperti mengatakan bahwa seluruh orang Indonesia adalah seperti orang Jawa yang suka makan Gudek, atau semua orang Amerika adalah seperti Donald Trump.

Pertama, data menunjukkan bahwa pemilih yang menggunakan alasan agama dalam memilih selain Pak Ahok hanyalah sebagian kecil dari seluruh pemilih Pilkada kemarin. Hal ini ditunjukkan oleh temuan lembaga konsultan dan riset politik, Indikator Politik bahwa dalam putaran pertama yang lalu, hanya 6,5% saja dari seluruh pemilih memutuskan tidak memilih Pak Ahok karena alasan agama. Dengan demikian, mayoritas besar pemilih DKI (94%) memiliki 1001 alasan selain agama dan ras untuk tidak memilih Pak Ahok. Data ini menunjukkan bahwa pemilih selain Pak Ahok bukanlah warga masyarakat yang “antitoleransi” pada agama yang dianut Pak Ahok atau suku Pak Ahok, namun memiliki pertimbangan dan kekhawatiranlainnya sehingga membuat pilihan kandidat lain lebih sesuai bagi mereka.

Bila dilihat lebih jauh, dengan pemilih Muslim sebesar 85%, hampir dipastikan juga bahwa warga Muslim adalah bagian terbesar di antara pemilih Pak Ahok. Merupakan sebuah kekeliruan pula untuk melihat bahwa pemilih Pak Ahok yang memiliki identitas Muslim adalah semata karena mereka memilih Pak Ahok karena demi toleransi dan mengalahkan sentimen “antitoleransi” yang dianggap menjadi alasan para pemilih kandidat lain. Mereka bisa saja memilih Pak Ahok karena kebijakan, kepribadian, rekam jejak, keberpihakan Pak Ahok pada usaha/pekerjaan mereka, dan lainnya yang tidak ada hubungannya dengan toleransi versus antitoleransi.

Kedua, menyederhanakan pemilih selain Pak Ahok sebagai wujud kaum intoleransi mengabaikan alasan-alasan yang riil, nyata, legitimate atas kekhawatiran yang dimiliki warga DKI sehingga memutuskan tidak memilih Pak Ahok dalam pilkada. Alih-alih disadari bila memang benar, diluruskan bila memang keliru, atau diperbaiki bila memungkinkan, kekhawatiran-kekhawatiran tersebut ditutup dalam karpet merah atau dimasukkan dalam kotak berlabel “antitoleransi”. Ini bukan berdemokrasi yang sehat.

Misalnya, dalam artikel oleh Jewel Topsfield yang dimuat dalam Sidney Morning Herald menyatakan bahwa salah satu alasan sebenarnya mengapa warga DKI Jakarta dari kalangan miskin tidak mendukung Pak Ahok adalah karena penggusuran yang kerapkali dilakukan selama ia menjabat. Kampung Akuarium disebutnya sebagai ground zero atas kebijakan ini di mana warga mengaku hanya diberikan notifikasi 11 hari sebelum penggusuran yang dilakukan untuk membangun sebuah alun-alun wisata relijius karena berdekatan dengan sebuah masjid bersejarah. Para warga pun merasa keberatan mengingat lokasi relokasi mereka yang cukup jauh, 25 kilometer dari kampung di mana mereka mencari nafkah.

Apa yang penting dari temuan Topsfield adalah pengakuan dari warga Kampung Akuarium sendiri yang 95% di antaranya memilih Pak Ahok dan Pak Jokowi ketika Pilkada 2012 dan tidak peduli pada agama dan suku apa yang dimiliki Pak Ahok. Problem yang dihadapi warga miskin seperti yang dialami warga Kampung Akuarium adalah sebuah kekhawatiran riil yang perlu direspon, bukan diberi label sebagai kelompok antitoleran. Tidak bisakah dilihat kemenangan kandidat selain Pak Ahok sebagai suara protes mereka yang miskin, kecewaprotes dari warga Jakarta kampung seperti Kampung Akuarium?

Apa yang disampaikan mengenai Kampung Akuarium tersebut di atas hanyalah salah satu contoh alasan mengapa warga tidak memilih Ahok karena satu kebijakan, masih banyak lagi alasan riil lain yang dimiliki, termasuk rekam jejak ucapan-ucapan keras yang kerapkali diucapkan oleh Pak Ahok, atau para pendukung Pak Ahok di media sosial yang kerap combative. Hal ini membuat temperamen Pak Ahok pun menjadi salah satu kekhawatiran warga ketika memilih. Kita tentu bisa ingat bagaimana Hillary Clinton dalam pemilu Amerika Serikat yang lalu tidak menjadikan kebijakan sebagai basis menyerang Donald Trump, tetapi menjadikan temperamen, perilaku dan ucapannya yang tidak pada tempatnya.

Penyederhanaan kasar kelompok toleransi versus antitoleransi adalah membonsai identitas masyarakat Jakarta ke dalam identitas tunggal (monolith): pandangan mereka pada preferensi pemimpin berdasarkan faktor kesamaan agama. 

Ekonomis dan filsuf Amartya Sen dalam bukunya Identity and Violence: the Illusion of Destiny mengutuk keras pandangan “solitaris” yang melihat identitas masyarakat hanya berdasarkan “keanggotaannya” pada satu saja kelompok masyarakat. Pandangan solitaris tersebut membonsai kemanusiaan di mana setiap warga “dikunci” dalam kotak-kotak identitas yang pada akhirnya hanya mengganggu persatuan yang sebenarnya baik-baik saja menjadi konflik identitas yang dirinya alami ketika masa kecilnya di India.

Dengan demikian, keliru besar untuk menyebut mereka yang tidak memilih Pak Ahok sebagai kelompok antitoleran, apalagi berpandangan bahwa kekalahannya dianggap sebagai perubahan fundamental dalam arah kebhinekaan Jakarta, bila bukan Indonesia. Ini adalah warga Jakarta, warga Indonesia dengan tingkat toleransi yang tidak berbeda seperti biasanya.

Melihat kelompok “Antitoleran”

Sebelum saya menutup artikel ini, mari kita lihat sejenak sang 6.5% dari pemilih selain Pak Ahok yang mengatakan bahwa mereka tidak memilih Pak Ahok karena agama yang non-Muslim. Kelompok ini yang kemudian diberi label “kelompok intoleran”. Menurut saya, kita juga tetap harus menghindari penyederhanaan karakterisasi seperti ini dengan memberikan konteks mengenai value dan keyakinan masyarakat Indonesia yang perlu dipahami. Ada dua hal yang ingin saya sampaikan mengenai hal ini.

Pertama, salah satu landasan bagi pemilih Muslim untuk tidak memilih Pak Ahok karena beragama non-Muslim, yang membuat kita kembali pada tafsir QS Al Maidah: 51. Mengingat adanya dua jenis tafsir, apakah kemudian kita berhak mengatakan bahwa tafsir yang satu sebagai pro-toleransi dan satu lagi sebagai antitoleransi? Menteri agama pun telah mengatakan bahwa pilihan untuk memilih pemimpin muslim bagi warga muslim bukanlah sebuah hal yang inkonstitusional. Pemilih dengan keyakinan ini bukan pula juga anggota FPI atau organisasi garis keras lainSingkat kata, ini adalah soal keyakinan yang harus dihormati, bukan diberi label.

Mungkin kita perlu melihat bagaimana dahulu petinju Muhammad Ali menolak untuk mengikuti wajib militer yang mengirimnya ke Perang Vietnam, dengan alasan bahwa keyakinannya sebagai penganut Islam kulit hitam di Amerika Serikat membuatnya tidak dapat menerima tugas wajib militer tersebut. Setelah proses peradilan yang panjang, akhirnya Mahkamah Konsistusi Amerika Serikat mengabulkan kasusnya. Anda bisa membacanya di sini atau menonton filmnya di sini. Intinya bagi kita adalah Anda tidak dapat mendenigrasi keyakinan. Dan apa sebutan bagi mereka yang menyerang keyakinan orang lain? “Anti-toleransi”.

Implikasi Sesat Pikir

Dampaknya dari kekeliruan berpikir Pilkada sebagai toleransi versus antitoleransi ini cukup besar, baik dalam Pilkada ataupun bangsa kita secara umum.

Pertama, bagi pendukung Pak Ahok sendiri, pandangan tersebut memberikan  kerangka berpikir yang keliru tentang bagaimana mereka dapat memberikan persuasi yang penting untuk memilih Pak Ahok. Persuasi yang sesuai tidak dapat dilakukan karena kekhawatiran yang hendak dipersuasikan keliru, bahwa warga pada umumnya tidak berkeberatan dengan agama Pak Ahok, namun malah diberi label antitoleran. Pemberian label akan menutup pada kemungkinan persuasi dan diskusi. Temuilah lebih banyak orang, berempati, dan atasi kekhawatirannya. 

Kedua, kekeliruan tersebut memberikan problem bagi demokrasi kita ke depannya. Katakanlah Pak Ahok menang, tentu kekhawatiran-kekhawatiran yang menjadi alasan valid pemilih kandidat lawannya perlu untuk tetap diperhatikan.

Namun bila pendukung lawannya ini disimplifikasi sebagai “kelompok antitoleransi”, Pak Ahok tidak akan dapat memberikan kepemimpinan yang dibutuhkan untuk seluruh warganya tersebut. Di sisi lain,  bila Pak Ahok kalah, juga menyulitkan dalam membangun pemerintahan ke depannya, karena bagi pendukung Pak Ahok, kaum intoleransi telah memenangkan Pilkada, sehingga ketakutan-ketakutan yang tidak perlu pun tersebar yang merusak kebhinekaan yang ada.

Singkatnya, pemikiran Pilkada sebagai toleransi versus intoleransi memasukan masyarakat ke dalam kotak-kotak identitas semu dan mengambil tindakan berdasarkan hal tersebut.

Penutup

Pilkada ini bukanlah sebuah perang antara anti dan protoleransi. Pemilu ini tidak mengubah secara fundamental bagaimana kondisi atau trajektori toleransi warga Indonesia atau warga Jakarta. Bagi mereka yang memilih Pak Anies, tidak perlu khawatir dengan label “intoleran”, karena mereka memang bukan. 

Sementara bagi mereka yang memilih Pak Ahok, tidak perlu juga kita berikan sinisme sebagai kelompok yang paling toleran. Hal-hal tersebut hanya menyebabkan perpecahan.

Pendukung Pak Ahok dan lawan-lawannya adalah warga yang sama-sama toleran dengan segala keterbatasannya. Pilkada ini patut cukup dilihat sebagai proses demokratik bagi mereka yang ingin penghidupan dan kota yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun