Pertama, bagi pendukung Pak Ahok sendiri, pandangan tersebut memberikan kerangka berpikir yang keliru tentang bagaimana mereka dapat memberikan persuasi yang penting untuk memilih Pak Ahok. Persuasi yang sesuai tidak dapat dilakukan karena kekhawatiran yang hendak dipersuasikan keliru, bahwa warga pada umumnya tidak berkeberatan dengan agama Pak Ahok, namun malah diberi label antitoleran. Pemberian label akan menutup pada kemungkinan persuasi dan diskusi. Temuilah lebih banyak orang, berempati, dan atasi kekhawatirannya.
Kedua, kekeliruan tersebut memberikan problem bagi demokrasi kita ke depannya. Katakanlah Pak Ahok menang, tentu kekhawatiran-kekhawatiran yang menjadi alasan valid pemilih kandidat lawannya perlu untuk tetap diperhatikan.
Namun bila pendukung lawannya ini disimplifikasi sebagai “kelompok antitoleransi”, Pak Ahok tidak akan dapat memberikan kepemimpinan yang dibutuhkan untuk seluruh warganya tersebut. Di sisi lain, bila Pak Ahok kalah, juga menyulitkan dalam membangun pemerintahan ke depannya, karena bagi pendukung Pak Ahok, kaum intoleransi telah memenangkan Pilkada, sehingga ketakutan-ketakutan yang tidak perlu pun tersebar yang merusak kebhinekaan yang ada.
Singkatnya, pemikiran Pilkada sebagai toleransi versus intoleransi memasukan masyarakat ke dalam kotak-kotak identitas semu dan mengambil tindakan berdasarkan hal tersebut.
Penutup
Pilkada ini bukanlah sebuah perang antara anti dan protoleransi. Pemilu ini tidak mengubah secara fundamental bagaimana kondisi atau trajektori toleransi warga Indonesia atau warga Jakarta. Bagi mereka yang memilih Pak Anies, tidak perlu khawatir dengan label “intoleran”, karena mereka memang bukan.
Sementara bagi mereka yang memilih Pak Ahok, tidak perlu juga kita berikan sinisme sebagai kelompok yang paling toleran. Hal-hal tersebut hanya menyebabkan perpecahan.
Pendukung Pak Ahok dan lawan-lawannya adalah warga yang sama-sama toleran dengan segala keterbatasannya. Pilkada ini patut cukup dilihat sebagai proses demokratik bagi mereka yang ingin penghidupan dan kota yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H