Mohon tunggu...
Patrya Pratama
Patrya Pratama Mohon Tunggu... -

Pemerhati dan praktisi kebijakan publik, terutama kebijakan sosial. Penggemar tenis dan Manchester United.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Sesat Pikir Pilkada DKI: Toleransi vs Anti-Toleransi

20 Februari 2017   13:36 Diperbarui: 20 Februari 2017   18:14 1611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Apa yang penting dari temuan Topsfield adalah pengakuan dari warga Kampung Akuarium sendiri yang 95% di antaranya memilih Pak Ahok dan Pak Jokowi ketika Pilkada 2012 dan tidak peduli pada agama dan suku apa yang dimiliki Pak Ahok. Problem yang dihadapi warga miskin seperti yang dialami warga Kampung Akuarium adalah sebuah kekhawatiran riil yang perlu direspon, bukan diberi label sebagai kelompok antitoleran. Tidak bisakah dilihat kemenangan kandidat selain Pak Ahok sebagai suara protes mereka yang miskin, kecewaprotes dari warga Jakarta kampung seperti Kampung Akuarium?

Apa yang disampaikan mengenai Kampung Akuarium tersebut di atas hanyalah salah satu contoh alasan mengapa warga tidak memilih Ahok karena satu kebijakan, masih banyak lagi alasan riil lain yang dimiliki, termasuk rekam jejak ucapan-ucapan keras yang kerapkali diucapkan oleh Pak Ahok, atau para pendukung Pak Ahok di media sosial yang kerap combative. Hal ini membuat temperamen Pak Ahok pun menjadi salah satu kekhawatiran warga ketika memilih. Kita tentu bisa ingat bagaimana Hillary Clinton dalam pemilu Amerika Serikat yang lalu tidak menjadikan kebijakan sebagai basis menyerang Donald Trump, tetapi menjadikan temperamen, perilaku dan ucapannya yang tidak pada tempatnya.

Penyederhanaan kasar kelompok toleransi versus antitoleransi adalah membonsai identitas masyarakat Jakarta ke dalam identitas tunggal (monolith): pandangan mereka pada preferensi pemimpin berdasarkan faktor kesamaan agama. 

Ekonomis dan filsuf Amartya Sen dalam bukunya Identity and Violence: the Illusion of Destiny mengutuk keras pandangan “solitaris” yang melihat identitas masyarakat hanya berdasarkan “keanggotaannya” pada satu saja kelompok masyarakat. Pandangan solitaris tersebut membonsai kemanusiaan di mana setiap warga “dikunci” dalam kotak-kotak identitas yang pada akhirnya hanya mengganggu persatuan yang sebenarnya baik-baik saja menjadi konflik identitas yang dirinya alami ketika masa kecilnya di India.

Dengan demikian, keliru besar untuk menyebut mereka yang tidak memilih Pak Ahok sebagai kelompok antitoleran, apalagi berpandangan bahwa kekalahannya dianggap sebagai perubahan fundamental dalam arah kebhinekaan Jakarta, bila bukan Indonesia. Ini adalah warga Jakarta, warga Indonesia dengan tingkat toleransi yang tidak berbeda seperti biasanya.

Melihat kelompok “Antitoleran”

Sebelum saya menutup artikel ini, mari kita lihat sejenak sang 6.5% dari pemilih selain Pak Ahok yang mengatakan bahwa mereka tidak memilih Pak Ahok karena agama yang non-Muslim. Kelompok ini yang kemudian diberi label “kelompok intoleran”. Menurut saya, kita juga tetap harus menghindari penyederhanaan karakterisasi seperti ini dengan memberikan konteks mengenai value dan keyakinan masyarakat Indonesia yang perlu dipahami. Ada dua hal yang ingin saya sampaikan mengenai hal ini.

Pertama, salah satu landasan bagi pemilih Muslim untuk tidak memilih Pak Ahok karena beragama non-Muslim, yang membuat kita kembali pada tafsir QS Al Maidah: 51. Mengingat adanya dua jenis tafsir, apakah kemudian kita berhak mengatakan bahwa tafsir yang satu sebagai pro-toleransi dan satu lagi sebagai antitoleransi? Menteri agama pun telah mengatakan bahwa pilihan untuk memilih pemimpin muslim bagi warga muslim bukanlah sebuah hal yang inkonstitusional. Pemilih dengan keyakinan ini bukan pula juga anggota FPI atau organisasi garis keras lainSingkat kata, ini adalah soal keyakinan yang harus dihormati, bukan diberi label.

Mungkin kita perlu melihat bagaimana dahulu petinju Muhammad Ali menolak untuk mengikuti wajib militer yang mengirimnya ke Perang Vietnam, dengan alasan bahwa keyakinannya sebagai penganut Islam kulit hitam di Amerika Serikat membuatnya tidak dapat menerima tugas wajib militer tersebut. Setelah proses peradilan yang panjang, akhirnya Mahkamah Konsistusi Amerika Serikat mengabulkan kasusnya. Anda bisa membacanya di sini atau menonton filmnya di sini. Intinya bagi kita adalah Anda tidak dapat mendenigrasi keyakinan. Dan apa sebutan bagi mereka yang menyerang keyakinan orang lain? “Anti-toleransi”.

Implikasi Sesat Pikir

Dampaknya dari kekeliruan berpikir Pilkada sebagai toleransi versus antitoleransi ini cukup besar, baik dalam Pilkada ataupun bangsa kita secara umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun