Contoh lainnya adalah pada indikator kemampuan mengeksekusi konsep. Rian berargumen bahwa Pak Anies bukan eksekutor yang baik dengan evidence beberapa kebijakan yang tidak berhasil sebagai Mendikbud, seperti distribusi KIP, atau kelebihan anggaran 23T untuk Tunjangan Profesi Guru. Argumen ini dapat dibuat lebih baik dengan pertama-tama memastikan fakta yang disampaikan akurat mengenai kedua isu tersebut (dapat cek di sini atau di sini). Kedua, Rian kembali melakukan pemilihan evidence yang tidak berimbang dengan tidak menyampaikan keberhasilan/terobosan yang telah dilakukan Pak Anies di Kemdikbud (misalnya lihat di sini) dan memperbandingkannya dengan konsep-konsep serta eksekusi-eksekusi yang telah berhasil/gagal dilakukan Pak Ahok. Apakah benar semua yang telah dikonsepkan Pak Ahok (atau sebenarnya mungkin oleh Pak Jokowi dahulu saat menjadi Gubernur) telah tereksekusi? Orang awam mungkin akan terbantu dengan misalnya, penjelasan tentang pembangunan Kampung Deret yang terimplementasi, atau lainnya. Sebagai “orang dalam” tentu Rian memiliki banyak yang dapat dibagi pada pembaca.
Argumentasi dan daya persuasi paparan Rian Ernest menjadi tampak menarik karena ia menunjukkan pengalamannya bekerja bersama kedua pasang kandidat. Secara natural hal ini memberikan appeal bahwa ia mengetahui benar cara bekerja kedua kandidat, benarkah? Berdasarkan penjelasannya, kita bisa melihat bahwa Rian sebenarnya tidak bekerja untuk Pak Anies selama satu-satunya jabatan birokrat yang Pak Anies pernah secara substansial memimpin di Kemdikbud. Dengan demikian, menjadi natural bagi ia untuk tidak mengetahui terobosan-terobosan dan kekurangan-kekurangan era Mendikbud Anies Baswedan secara langsung. Hal ini berbeda dengan pengalamannya bekerja untuk Pak Ahok hingga saat ini sehingga evidence Rian mengenai Pak Ahok secara objektif telah bias. Hal ini adalah hal yang natural, dan bukan pula kesalahan Rian. Justru kita semua sebagai publik yang perlu mengedukasi diri.
Masih banyak indikator-indikator lain yang selaiknya dapat lebih baik lagi diargumentasikan, termasuk dalam argumen Pak Anies yang “ringan berkata iya” dan Pak Ahok yang “bisa berkata tidak”, atau mengenai pertemuan Pak Anies dengan FPI yang sempat ramai diperbincangkan. Namun apapun itu, publik perlu dilengkapi dengan daya kritis yang baik, seperti dengan ketiga langkah yang telah saya sebutkan sebelumnya, terutama dalam menghadapi argumen-argumen politik para buzzer.
Saya tidak mengatakan kandidat mana yang lebih konsisten, lebih pandai menjadi konseptor/eksekutor atau lebih berambisi daripada yang lain, namun tentu cherrypicking data dalam membandingkan kandidat asal sesuai dengan argumen yang dikedepankan tidak memberikan edukasi yang baik bagi pembaca pada umumnya. Kecuali memang satu-satunya justifikasi pada cherrypicking ini adalah "ya namanya juga pilkada".
Selamat memilih dengan akal sehat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H