Mohon tunggu...
Patrisius Kia Boli
Patrisius Kia Boli Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca dan menulis wacana aktual

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Terjebaknya Historiografi Indonesia Dalam Bayangan Indonesia-sentrisme

15 Oktober 2024   20:42 Diperbarui: 15 Oktober 2024   21:04 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terjebaknya Historiografi Indonesia Dalam Bayangan Indonesia-sentrisme

Penulisan sejarah bertujuan untuk mengetahui peristiwa masa lampau yang sebenarnya. Perkembangan historiografi Indonesia di pengaruhi oleh dominasi kekuasaan Belanda di Indonesia sehingga dalam penulisan sejarah Indonesia bersifat Belandasentrisme yang ditulis oleh W. Stapel dalam enak jilid buku, dalam buku tersebut tidak dapat menampilkan peran bangsa Indonesia ataupun penulisan yang berdasarkan kepada naisonalisme bangsa Indonesia. Artinya perjuangan bangsa Indonesia untuk memperjuangkan haknya dikatakan adalah pembrontakan dan tidak objektif dalam menulis sejarah Indonesia.

Sudah saatnya setiap generasi dan bangsanya menulis sejaranya sendiri dengan penuh kesadaran, tidak hanya mengikuti sejarah yang telah di tulis, tetapi juga bagaimana melakukannya serta kemungkinan-kemungkinan akan adanya pengaruh dari situasi peristiwa masa lampau. Untuk memperdalam sejarah itu bergunalah kiranya meninjau sejarah dari sejarah, artinya jalan serta arah atau kecendrungan pemikiran dan penulisan sejarah tentang masa lampau, sehingga akan tampak pola perkembangan dan demikian akan menentukan tidak hanya dimana posisi peristiwa dalam proses yang terjadi, tetapi juga akan kemana mengarahkan langkah untuk memajukan usaha merekonstuksikan sejarah Indonesia.

Secara etimologis istilah historiografi berasal dari bahasa Yunani "historia" yang berarti penyelidikan terhadap alam fisik dan "grafient" yang berarti gambaran, lukisan atau uraian. Secara bahasa, historiografi berasal dari bahasa sangsakerta terdiri dari 2 kata yaitu history yang berarti sejarah dan grafi yang berarti deskripsi atau penulisan. Istilah historiografi sudah dikenal sejak beberapa abad sebelum masehi. Misalnya Hecataesus (lahir sekitar 550 SM) menggunakan kata tersebut untuk menyambut hasil penelitiannya tentang gejala alam yang terdapat di daerah hunian manusia di Yunani.

Menurut Prof A Dalimin, M.Pd historiografi adalah "penulisan sejarah (historiografi) menjadi sarana mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkapkan, diuji (verifikasi) dan diinterpretasi" (Dalimin, 2012: 3). Menurut Abdurahaman Hamid dan Muhammad Saleh Majid historiografi adalah "berbagai pernyataan mengenai masa silam yang telah disentetiskan selanjutkan ditulis dalamkisah sejarah" (Hamid, 2011: 4). Dari beberapa definisi yang telah dipaparkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa historiografi adalah tahapan yang terakhir dan yang paling berat dari sebuah rekonstruksi suatu peristiwa sejarah yang terjadi pada masa lampau yang dilakukan oleh sejarawan setelah terlebih dahulu melakukan tahapan heuristik, kritik,verifikasi dan interpretasi berdasarkan data dan fakta yang ditemukan di lapangan agar menjadi sebuah kisah yang selaras dengan apa yang terjadi sebenarnya pada masa lampau dan harus menghindari subjektivitas.

Dengan adanya beberapa fase maka historiografi Indonesia dapat terbagi menjadi tiga bagian, yaitu historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historiografi modern. Setiap perkembangan historiografi tersebut memiliki karakteristik, metode, dan motivasi penulisan yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Perkembangan Historiografi sebelum seminar sejarah nasisonal kedua di Yogyakarta tahun 1970. Awal perkembangan penulisan sejarah Indonesia dimulai dengan adanya penulisan sejarah dalam bentuk naskah dan beberapa sebutan untuk naskah yaitu babat, hikayat, kronik dan tamba. Cerita sejarah yang ditulis dalam naskah, biasanya lebih banyak menceritakan peran kekuatan-kekuatan yang terjadi dari alam berupa hukum alam itu sendiri, tokoh-tokoh dewa tertentu yang dianggap memiliki kesaktian, orang-orang besar seperti raja dan penguasa karena pemunculan peran subjektivitas lebih diutamakan dalam menulis suatu peristiwa. Pada masa lalu biasanya di kerajaan terdapat seorang pujangga yang bertugas untuk menulis peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalam kerajaan tersebut, misalnya kapan raja itu memerintah, siapa raja itu, kapan raja itu berakhir berkuasa, siapa yang menggantikan raja yang lama, peristiwa apa yang terjadi pada saat pergantian raja, dan peristiwa-peristiwa lainnya. Kedatangan bangsa barat turut merubah historiografi Indonesia menjadi Eropasentris atau lebih spesifik sejarah Indonesia menjadi Belandasentris karena dalam penulisannya lebih menonjolkan peran bangsa Belanda dari pada bangsa Indonesia, dalam tahap ini dikatalan adanya diskriminasi terhadap historografi Indonesia.

Pertarungan politik global dan perebutan daerah kekuasaan membawah perubahan dalam historiografi Indonesia dilihat dari kependudukan Jepang di Indonesia. Perbedaan ideologi antara Jepang dan Belanda menjadi pertarungan yang cukup menarik dalam mempengaruhi historiografi Indonesia, setelah Jepang berhasil menguasai wilayah Indonesia pada tahun 1942 strategi yang dilakukan oleh Jepang adalah menghapus sejarah Hindia-Belanda menjadi sejarah Indonesia untuk mengambil simpati bangsa Indonesia dalam mendukung Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia merupakan titik awal perkembangan sejarah Indonesia menuju Indonesiasentrisme karena merasa bangsa yang sudah merdeka berhak untuk menulis sejarahnya sendiri. Dengan itu pemerintah mendorong Mendikbud segera melakukan seminar sejarah naisonal untuk membahas bagaimana menulis ulang sejarah yang bersifat Indonesiasentris sehingga lahirlah seminar sejarah naisonal pertama di Yogyakarta tahun 1957. Dalam mengembalikan sejarah Indonesia yang bersifat Belandasentris menjadi Indonesiasentris memiliki tujuan yaitu untuk memupuk rasa naisonalisme dan patriotisme terhadap masyarakat Indonesia terutama kaum-kaum muda.

Setelah kemerdekaan historiografi Indonesia masih jauh dari cita-cita sejarah yang objektif karena historiografis yang bersifat ultranasionalis dan lebih mementingkan retorika. Hal itu terutama tercemin di dalam karya-karya generasi awal sejarahwan Indonesia pascakolonial seperti, M. Yamin, Soekanto, dan Sanusi Pane. Berdasarkan kebutuhan buku sejarah di sekolah menengah pertama, menengah atas maupun perguruan tinggi, sejarawan mendorong Mendikbud segera merancangkan dan meluncurkan buku-buku tersebut untuk dikonsumsi oleh anak-anak disekolah, karena kebutuhan yang semakin mendesak Mendikbut melaksanakan seminar naisonal kedua di Universitas Gadja Mada tahun 1970 dalam menyusun buku-buku sejarah naisonal Indonesia dibagi menjadi enak jidid buku berdasarkan periodisasi.

Pembahasan dalam seminar tersebut cukup menarik dan membawa perubahan dalam historiografi Indonesia karena pembahasan sudah menunjukan pendekatan-pendekatan multidimensional artinya sudah beragam pembahasan mengenai sejarah sosial, kota, kaum petani dan Interdisipliner artinya dalam menulis sejarah sudah menggunakan beberapa sudut pandang. Hal tersebut dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran sejarawan muda yang berlatarbelang sekolah di luar negeri kemudian mengadopsi pendekatan tersebut dalam historiografi Indonesia. Representasi dari peserta yang hadir menunjukan datang dari berbagai daerah seperti, Jakarta, Semarang, Bandung, Malang, Surabaya, Banjarmasi, Ambon, Kalimantan Selatan, Bali, Sulawesi Selatan.

Dampak dari seminar naisonal sejarah kedua di Yogyakarta membawah perubahan dalam historiografi Indonesia, berhasil menerbitkan buku pelajaran sejarah pada tahun 1975 walaupun masih menjadi perdebatan yang panjang mengenai isi dari buku-buku tersebut. Perkembangan metodologi yang telah disusun dengan menggunakan pendekatan multidimensional dan interdisipliner dapat melahirkan penulisan sejarah yang baru yaitu munculnya sejarah sosial, sejarah kota, sejarah desa, sejarah ekonomi, sejarah perjuangan perempuan dan jenis sejarah lainnya. Metodologi yang sudah dibangun dengan baik namun dalam penulisan sejarah Indonesia, sejarawan atau akademisi masih terjebak dalam kerangka dekolonisasi Belandasentris dengan cenderung masih menjadi objek utama peran Belanda dan belum mampu dengan kritis untuk menggali dan menelusuru lebih jauh perihal segala peristiwa kehidupan sehari-hari masyarakat Indoneisa yang belum terlihat dalam sejarah naisonal.

Dalam perkembangan penulisan sejarah Indonesia yang semakin menjauh dari sejarah objektif dan Indonesiasentris seperti yang telah diuraikan di atas. Dalam penulisan materi sejarah Indonesia yang dituangkan dalam buku-buku pelajaran maupun buku-buku bacaan belum mampu menerangkan kejadian sejarah yang lebih komperhensif contonya dalam bukunya Sartono Kartodhirjo Pembrontakan Petani Banten 1888, dalam buku tersebut penulis masih terjebak pada Indonesiasentris belum mampu menjelaskan konflik horizontal yang terjadi dalam strata elit lokal sehingga hanya dijelaskan ada monopoli perdagangan dari kolonial Belanda.

Adapun penulisan lainnya yaitu dalam buku sejarah nasional Indonesia modern jilid 4 dan 5 yang menjelaskan peristiwa sejarah Indonesia yang berlebihan dimana apa yang diperankan oleh bangsa penjajah merupakan tindakan kekerasan, perampasam dan penindasan sedangkan ketika menelisik lebih dalam ada sumbangsi yang diberikan oleh bangsa penjajah baik dari sisi pendidikan, sistem bikrokrasi maupun pembangunan infrastruktur namun sayangnya yang dituliskan hanya peran bangsa Indonesia yang super baik saja. Dalam buku-buka yang beredar di ruang publik juga demikian masih mengisahkan tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Soeharto, Sultan Syahrir, Soedirman, Moh Hatta dan tokoh perjuangan lainnya yang familiar di ruang publik, artinya penulisan sejarah masih terpusat pada tokoh-tokoh besar masih minim dalam menuliskan peran dari tokoh-tokoh kecil dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat di setiap wilayah Nusantara. Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa terjebaknya sejarah Indonesia dalam naisonalisme dan Indonesiasentris. Dengan itu, sudah waktunya mahasiswa dan tokoh intelektual lainnya melakukan terobosan menghilangkan dogma-dogma naisonalisme dan Indonesiasentris dalam bayangan historiografi Indonesia dan diharapkan dapat menggali sejarah dari internal suatu peristiwa itu terjadi dengan pendekatan multidimensional serta mampu peran tokoh-tokoh kecil atau peristiwa yang belum terpublis di dunia public terutama mempopulerkan sejarah-sejarah lokal yang diharapkan menjadi sumber sejarah dan menarik destinasi wisata. Penulis Sejarah masih terbelenggu oleh narasi besar nasionalisme yang berlebihan dan gugup menuliskan Sejarah yang objektif sehingga melupakan kontribusi yang positif dalam Pembangunan Indonesia baik sumbangsih berupa pengetahuan, birokrasi dan infrastruktur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun