Ketika manusia menemukan pesawat, pada saat yang bersamaan mereka juga menciptakan pesawat yang jatuh.
Setiap kemajuan atau perubahan jaman membawa konsekuensinya sendiri-sendiri. Kadang-kadang konsekuensi atau dampak ikutan itu sedemikian mengejutkan karena belum pernah ada sebelumnya. Yang lebih membuat miris, banyak kali kita semua terseret --entah sadar atau tidak-- oleh dampak tersebut dan tidak sadar akibatnya terhadap  pencitraan diri kita di mata orang lain.Â
Ketika Facebook hadir dan makin merebak sejak 2008, kita dibuat terkaget-kaget oleh posting spontan bahkan cenderung kasar atau jorok dari beberapa orang yang selama ini kita kenal sebagai pendiam, alim, dan bukan orang yang tergolong freak. Â Â Saya pernah dibuat terkejut oleh posting seorang rekan kerja yang menggunakan kata "F" ketika mengutuk aksi terorisme.Â
Rekan yang lain tak henti memajang bukti fisik pencapaiannya yang sebenarnya juga tidak terlalu istimewa. Hal yang terakhir ini makin sering dilakukan pula oleh banyak warganet ketika platform media sosial makin menjadi-jadi.Â
"Pencapaian" sedangkal memperoleh karcis bioskop sampai berpose dengan pejabat tinggi dipajang di Instagram dan Facebook. Kita menjadi manusia yang haus dopamine, hormon bahagia yang konon mengucur ketika kita mendapati banyak warganet memberikan jempol atau "like" di postingan kita. Â Kebahagiaan semu yang kita damba ternyata menjadi makin ditentukan oleh pihak luar alih-alih bertumbuh secara murni dari dalamnya kematangan spiritual di dalam kedirian kita sendiri.Â
Maka setelah media sosial makin merasuki cara hidup dan cara pikir manusia, ada dampak ikutan yang dulu tidak terasakan. Kita mengenal tindakan "friend request", "follow", "follow back", "unfriend", "unfollow", "blocking", "hide from" dan banyak lagi hal yang mencerminkan bagaimana kita menjalin atau menghancurkan relasi dengan orang lain di dunia virtual.Â
Kita makin mengenal perasaan iri, dengki, sirik, dan menghakimi (judging) ketika kita melihat sajian foto dan video di Instagram dan Insta Story. Sebaliknya, kita juga harus berkenalan dengan orang-orang yang bisa secara defensif mengatakan "Ini laman saya. Saya bebas mengatakan apa saja. Tidak suka silakan unfollow atau unfriend."Â
Hilang sudah kemauan untuk saling berdialog dan menahan diri. Dunia virtual yang membuat komunikasi tidak lagi mengharuskan tatap muka dan sering kali bisa disamarkan lewat identitas palsu membuat sisi buas kita menemukan jalannya untuk mengaum.
Pada ekstrem lain, timbul perasaaan bahwa tanpa media sosial pun sebenarnya kita masih bisa hidup sehat, bahagia, dan normal. Maka tidak mengherankan beberapa gelintir manusia yang sudah sampai pada kesadaran ini akhirnya menghapus semua akun media sosialnya.
Pada satu titik tertentu, beberapa orang menyadari betapa semua tindak tanduknya di media sosial sebenarnya mencitrakan dirinya sendiri di mata orang lain. Maka mereka yang memang teguh memegang nilai-nilai positif pasti dengan sadar akan memajang foto dan membuat posting yang tidak mengingkari nilai yang diyakininya. Mereka yang sudah sadar nilai tapi masih bergumul dengan buasnya sisi liar dirinya akan menaruh posting yang sangat bertolak belakang.Â
Contohnya ya rekan saya di atas tadi. Sebagai seorang pendidik yang digugu lan ditiru, ungkapan "F word" nya di akun Facebooknya membuat sebagian muridnya bertanya-tanya akan integritas diri gurunya.Â