Mohon tunggu...
Patrik Rantetana
Patrik Rantetana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kata tetaplah huruf mati, sampai ia dibaca dan dikhayati

Mahasiswa S2

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bapaku adalah Sang Khalik Semesta

2 Desember 2023   18:19 Diperbarui: 2 Desember 2023   18:31 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://wallup.net/

Setiap orang punya konsep Tuhan yang berbeda, tergantung pada pengalaman hidup, lingkungan atau tradisi yang membentuknya. Bahkan dalam menolak keberadaan Tuhan sekalipun, setidaknya kita tetap membutuhkan pemahaman konsep ketuhanan yang akan ditolak. Akan tetapi orang Kristen tidak boleh membangun konsep pengenalan Allah yang liar, sesuai dengan imajinasi manusia. Allah yang sejati hanya dapat dikenal sejauh Ia memperkenalkan diriNya melalui Firman dan karya-Nya. Melalui sejarah, Allah memperkenalkan diriNya lewat para nabi, para rasul, bahkan puncaknya melalui Anak Tunggal-Nya, Yesus Kristus (Ibr 1:1-3).

Semenjak abad mula-mula, orang Kristen telah memiliki suatu tradisi pengakuan iman yang merupakan rangkuman respon iman terhadap Allah yang memperkenalkan diriNya melalui Alkitab. Formulasi keyakinan itu dikenal sebagai Pengakuan Iman Rasuli. Suatu dokumen sejarah dari tradisi Reformed, yaitu Katekismus Heidelberg[1] (1563) memuatnya sebagai bentuk iman seorang Kristen yang sejati. Bagian pertama pengakuan iman tersebut berbunyi, "Aku percaya kepada Allah, Bapa yang Maha Kuasa, khalik langit dan bumi".[2] Meskipun banyak orang Kristen memproklamasikannya secara rutin, namun seringkali makna dibalik setiap kata hanya terlewat begitu saja. Oleh karena itu, ada baiknya untuk melihat kekayaan makna dibalik pernyataan iman yang pertama dari Pengakuan Iman Rasuli ini.

Sebelum semuanya ada

Segala yang ada pasti memiliki titik permulaan. Demikian pula dengan alam semesta ini. Tidak ada suatupun yang kekal, selain Allah sendiri. Setidaknya sampai Katekimus Heidelberg ditulis di abad ke-16, konsep Allah sebagai keberadaan kekal yang menciptakan segala sesuatu merupakan hal yang masih diterima secara luas. Akan tetapi melewati abad pencerahan, keyakinan ini mulai dipertanyakan. Beberapa kaum ateis melakukan lompatan logika dari sains yang sebenarnya tidak mungkin membedah eksistensi Tuhan, menuju ranah filsafat. Klaim itu menyebut bahwa semesta kekal dan tidak memiliki permulaan. Sebagai kesimpulan, alam semesta tidak membutuhkan Pencipta seperti keyakinan selama ini. Eksistensi Pencipta hanyalah imajinasi manusia.

 

Namun secara mengejutkan memasuki abad ke-20, ilmuwan justru semakin meyakini bahwa "semesta tidak kekal".[3] Usulan teori tentang bagaimana terjadinya alam semesta masih terus diperdebatkan. Tetapi dengan memakai logika sebab-akibat yang sederhana (cause and effect), kita dapat menarik kesimpulan bahwa jika alam semesta memiliki awal, maka ada masanya dimana ia 'tidak ada'. Apa yang menyebabkan hal yang 'tidak ada' menjadi 'ada'? Kita menyebutnya sebagai penyebab utama (first caused). 'Sang penyebab utama' tidak boleh disebabkan oleh penyebab yang lainnya lagi. Logika ini menyimpulkan bahwa 'penyebab' alam semesta ini seharusnya 'keberadaan' yang melampaui alam semesta itu sendiri. Keberadaan 'penyebab' itu pasti melampaui ruang-waktu-materi. Alkitab memberitahukan kita suatu rahasia besar, bahwa Allah sendirilah first caused dari segala hal yang 'ada'. Pada mulanya, Allah menciptakan langit dan bumi (Kej 1:1). Kita mengerti hal itu karena Allah menganugerahkan iman bagi kita (Ibr 11:3) sehingga kita bisa mempercayainya meskipun tidak melihat. 

Alkitab memberitahukan kita suatu rahasia besar, bahwa Allah sendirilah first caused dari segala hal yang 'ada'.

Keagungan Sang Khalik

Allah adalah Khalik (pencipta) langit dan bumi. Allah bukan hanya menciptakan apa yang ada di bumi, yakni segala yang dapat terlihat oleh mata manusia. Allah juga menciptakan realita sorgawi[4] yang tidak dapat ditangkap secara indrawi. Keberadaan Allah sebagai pencipta segala yang terlihat dan tak terlihat (Kol 1:16), membuat kita menyebutnya sebagai Allah yang Mahakuasa. Kemahakuasaan Allah setidaknya dapat didefinisikan dalam empat makna.[5] Pertama, Ia dapat melakukan apapun yang dikehendaki tanpa berkontradiksi dengan natur-Nya sendiri. Kedua, Ia dapat melakukan segala hal dengan sederhana tanpa kesulitan sama sekali. Hanya dengan berfirman, maka langit dan bumi menjadi ada (Kej 1, Maz 33:6). Ketiga, Ia satu-satunya yang memiliki kuasa untuk melakukan segala hal bahkan dapat memberikan kuasa itu kepada seluruh ciptaan-Nya. Keempat, kemahakuasaanNya sangat berarti bagi kita karena Dia berkeinginan memakai kemahakuasaanNya demi untuk keselamatan kita. Ketiga makna yang pertama tidak lain merujuk pada Allah, Sang Khalik langit dan bumi dari ex nihilo (ketiadaan) yang diperkenalkan oleh kalimat pertama di dalam Alkitab (Kej 1:1). Sedangkan signifikansi makna keempat akan kita bahas di bagian akhir dari tulisan ini. 

Kerja kreatif Sang Pekebun                                            

Meskipun bunyi dari bagian pertama Pengakuan Iman Rasuli terkesan hanya mendeskripsikan Bapa sebagai pencipta, namun Katekismus Heidelberg berupaya untuk memperlihatkan Bapa yang juga tetap rindu berelasi dengan ciptaan-Nya sendiri.[6] Penekanan ini rupanya mengantisipasi tantangan yang akan dihadapi orang Kristen di zaman berikutnya. Menjelang akhir abad ke-17, seorang filsuf, Edward Herbert mengemukakan gagasan Deism. Kalangan deistik meyakini keberadaan Tuhan sebagai pencipta, namun setelah itu Ia tidak lagi memiliki campur tangan dengan ciptaan-Nya. Layaknya sebuah jam tangan yang sempurna, sang pencipta hanya menciptakan.[7] Namun selanjutnya Ia tidak perlu terlibat lagi karena jam tangan itu telah beroperasi pada dirinya sendiri secara otomatis. 

 

Meskipun pandangan ini meyakini Allah sebagai pencipta, tetapi Allah yang dikisahkan di dalam Alkitab adalah Pribadi yang jauh melampaui penggambaran Allah deistik. Alih-alih sebagai pencipta jam tangan, Allah lebih tepat digambarkan sebagai Sang Pekebun yang tidak pernah lelah merawat kebunnya sendiri. Mazmur 104 mendemonstrasikan betapa kompleksnya mekanisme alam semesta ini. Tanpa pengaturan Allah, alam semesta ini tidak mungkin berjalan dengan sendirinya. Di dalam keagunganNya, Allah digambarkan seolah-olah seperti pekebun yang dengan penuh kasih dan antusiasme mengatur seluruh komponen alam semesta ini.

 

Katekismus Heidelberg merangkum ajaran Alkitab, bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah yang terus menopang dan memerintah ciptaanNya. Ia tidak pernah sekalipun meninggalkan ciptaanNya melainkan terus memeliharanya. Allah terus bekerja sampai sekarang ini (Yoh 5:17). Allah tidak pernah sedetik pun tertidur! (Maz 121:4). Bila Allah sejenak saja berhenti menopang alam semesta, maka semuanya akan kembali kepada ketiadaan sebab hanya di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada (Kis 17:28).

 

Pemeliharaan itu tidak dilakukan dalam suatu rencana yang terikat oleh proses atau urutan waktu, seperti rencana yang dimiliki oleh manusia. Manusia seringkali salah perhitungan dalam melakukan perencanaan, bahkan tak jarang menyesali perencanaannya. Secara kontras, rancangan pemeliharaan Allah dikerjakan menurut keputusan kehendakNya yang berdaulat dan berotoritas secara mutlak (Ef 1:11). Dia tahu segala sesuatu bahkan jauh sebelum hal itu terjadi. Pemeliharaan Allah tidak dapat disamakan dengan apa yang biasa kita sebut sebagai keberuntungan, takdir, dan kebetulan. Karakter Allah sendiri adalah pembedanya! Allah dapat melihat segala sesuatu, sedangkan keberuntungan itu buta. Bapa adalah Pribadi, sedangkan takdir tidak berpribadi. Allah dapat berkomunikasi, sedangkan kebetulan adalah bisu.[8] Apapun yang terjadi di dalam alam semesta tidak ada satupun yang terlepas dari perencanaan Allah. Tidak ada satupun rencana Allah yang terjadi sia-sia tanpa makna. 

Apapun yang terjadi di dalam alam semesta tidak ada satupun yang terlepas dari perencanaan Allah. Tidak ada satupun rencana Allah yang terjadi sia-sia tanpa makna.

Allah yang memperkenalkan diriNya bagi kita, adalah Allah yang berkuasa mulai dari makrokosmos (tingkat semesta) hingga mikrokosmos (tingkat sub-sub atomik). Allah berkuasa atas segala sesuatu yang bahkan sampai saat ini belum dapat dilihat dengan bantuan teleskop atau mikroskop sekalipun. Dengan keyakinan bahwa seluruh alam semesta, termasuk bumi di mana Allah menempatkan kita, berada di dalam pemerintahanNya, maka kita perlu menimbang kembali sejauh mana kepedulian kita terhadap dunia karya ciptaanNya. Di dalam dokumen The Care of Creation yang dibuat sebagai penjelasan atas Deklarasi Kaum Injili tentang Kepedulian terhadap Lingkungan Hidup (1999), John Stott mengingatkan dua ayat mendasar: "Tuhanlah yang empunya bumi" (Maz 24:1) dan "Langit itu kepunyaan TUHAN, dan bumi itu telah diberikan-Nya kepada anak-anak manusia" (Maz 115:16).[9] Kedua pernyataan ini tidak saling berkontradiksi, seolah-olah Allah mendelegasikan pemeliharaan alam ciptaan sedemikian rupa kepada manusia sehingga Dia sendiri kehilangan hak milik bahkan kuasa pemerintahan-Nya. Namun dua ayat ini justru saling melengkapi, sehingga Stott menawarkan tiga sikap yang bisa kita kembangkan dalam hal kepedulian terhadap bumi ciptaan Allah. Pertama, alam bukanlah Allah sehingga tidak boleh dijadikan ilah. Kedua, orang Kristen tidak boleh merendahkan alam ciptaan hingga sampai pada posisi ekstrim yang mengeksploitasi bumi hingga mengalami kerusakan. Ketiga, yakni relasi yang tepat antara manusia dan alam adalah kerjasama dengan Allah. Artinya dalam upaya "mengusahakan dan memelihara" (Kej 2:15) alam ini, kita tetap bergantung pada Allah yang sesungguhnya sedang memelihara kita juga sebagai bagian dari ciptaanNya sendiri. 

 

Setelah selesai menciptakan, Allah mengatakan "sungguh amat baik" (Kej 1:31), tanda bahwa apa yang Dia kerjakan adalah indah dan mulia. Allah sungguh bersukacita saat melihat karya ciptaanNya. Suatu kali di dalam kelas Sekolah Minggu, saya mengajak anak-anak untuk membuat kreatifitas. Anak-anak sangat bersemangat mengerjakannya. Mereka mulai menggunting kertas, memberikan warna sesuai kesukaan mereka dan merekatkan setiap komponen satu dengan yang lainnya. Seorang anak tampak sangat senang sekali melihat hasil karyanya. Lalu secara tidak sengaja seorang guru menginjak hasil karyanya hingga rusak. Anak itu terdiam sejenak, seolah-olah mengambil nafas yang panjang untuk melarau. Tangisannya pecah dan betapa sedih hatinya melihat hasil karyanya dirusakkan oleh orang lain. Bayangkan betapa pilu hati Tuhan ketika kita sama sekali tidak peduli pada alam ciptaanNya, bahkan bila kita sedang mengeksploitasi dan merusaknya demi untuk pemenuhan nafsu keserakahan.

 

Triliunan galaksi dan setitik debu

 

Setelah kita melihat kebesaran dan transendensi Allah, selalu muncul sisi yang lain. Kita mulai merasakan betapa kecilnya manusia. Saya hanya satu orang di antara miliaran manusia di planet bumi ini. Bumi hanya satu diantara beberapa planet dalam sistem tata surya dengan matahari sebagai bintangnya. Ada jutaan bahkan milyaran bintang dalam satu sistem galaksi dan ada triliunan galaksi di alam semesta ini. Betapa kecilnya kita di hadapan Allah Sang Pencipta segala yang ada ini!

 

Di dalam suatu perdebatan yang bersahabat antara dua saintis dunia, yakni John Lennox (Kristen) dan Richard Dawkins (Ateis) ada satu hal menarik yang ditanyakan oleh Dawkins kepada Lennox. Pertanyaannya, "jika memang Tuhan itu sungguh ada sebagai pencipta alam semesta yang tak terbatas ini dengan berbagai galaksi mahabesar di dalamnya yang makin berkembang, mengapa Allah Pencipta seagung itu mesti menganiaya diri sendiri hanya untuk manusia yang seperti setitik debu ini?"[10]

 

Rupanya Daud juga pernah terganggu dengan pertanyaan yang hampir sama, "Bila kupandang langit yang Kauciptakan, bulan dan bintang-bintang yang Kaupasang apakah manusia itu, sehingga Kauingat dia, siapakah dia, sehingga Kaupelihara?" (Maz 8:4-5, BIS). Meskipun pertanyaannya sama, tetapi setidaknya ada dua perbedaan. Pada zaman Daud, ilmu dan teknologi antariksa belum ditemukan sehingga Daud belum membayangkan bahwa titik-titik bintang yang diamatinya itu ternyata seperti bola api raksasa yang menyala-nyala. Tak terbayangkan seperti apa kekaguman Daud bila ia bisa membayangkan ukuran asli dari bintang-bintang itu! Kedua, Dawkins hanya sekedar melempar pertanyaan sedangkan Daud terus merenungkan pertanyaan itu hingga sampai pada kesimpulan bahwa "betapa mulianya" (Maz 8:10) Tuhan yang mahaagung tetapi mau memperhatikan manusia yang hanya setitik debu.

Betapa mulianya Tuhan yang Mahaagung tetapi mau memperhatikan manusia yang hanya setitik debu.

Kebaikan Bapa yang melebihi ekspektasi terbaik manusia

Katekismus Heidelberg memberikan kelegaan dan sukacita ketika mengajarkan bahwa Allah yang mahakuasa, agung dan mulia itu bukanlah Allah yang jauh dari kita, melainkan Dia adalah Bapa kita. Yesus sendiri mengajari kita memanggil-Nya "Bapa" di dalam doa yang Ia ajarkan (Mat 6:9, Luk 11:2). Kita boleh memanggilnya "Abba" (Rm 8:15), panggilan yang hanya Yesus saja dapat memanggil-Nya demikian. Ternyata Sang Khalik langit dan bumi adalah sedekat itu! Akan tetapi, mengapa kita yang fana dan tidak layak ini bisa menjadi sedekat itu? Oleh karena Yesus Kristus, Anak-Nya yang Tunggal telah menebus kita sehingga kita dijadikan sebagai anak-anak angkat. Inilah puncak pemeliharaan Allah bagi dunia yang telah memberontak kepada penciptanya. Bapa mengutus Anak-Nya untuk menanggung hukuman dosa kita agar kita dibenarkan dan diperdamaikan dengan diri-Nya.

Di masa tuanya, Abraham mendapatkan apa yang selama ini dijanjikan yaitu seorang anak. Anak ini sedemikian berharganya karena dari anak inilah semua berkat-berkat yang lain menjadi ada artinya. Pasti tidak mudah bagi Abraham untuk melepaskan anaknya sebagai korban saat Allah memintanya. Tetapi setidaknya Abraham bisa meyakini bahwa Allah yang Mahakuasa dapat melakukan apapun, termasuk menyediakan pengganti anaknya jika Ia berkenan. Namun pikirkan tentang Bapa dan Anak Tunggal-Nya, Kristus! Mungkinkah ada pengganti Kristus bagi BapaNya sendiri? Mari kita renungkan lagi. Apabila apa yang paling berharga bagi Bapa telah diberikan bagi kita, bukankah segala sesuatu yang tidak lebih berharga dari itu, akan Allah berikan menurut kebutuhan kita (Rm 8:32)?  Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengatakan "jangan kuatir," sebab Bapa yang di sorga tahu persis apa yang tubuh dan jiwa kita perlukan (Luk 12:22). Yesus menjamin, standar bapak paling terbaik sekalipun yang pernah hidup di muka bumi ini tidak ada apa-apanya dibanding kesempurnaan kebaikan Bapa sorgawi. Kesempurnaan kebaikan Bapa pasti melampaui ekspektasi terbaik kita! (Mat 7:11).

Kesempurnaan kebaikan Bapa pasti melampaui ekspektasi terbaik kita!

Rambut rontok dan kebaikan Allah

Tidak ada yang luput dari kendali Allah. Yesus mengatakan bahwa Bapa tahu persis total jumlah rambut kita! Suatu pekerjaan yang saya yakin tidak satu pun orang suka melakukannya. Setiap kali melihat satu helai rambut kita terjatuh, kita yakin bahwa sehelai rambut itu tidak pernah jatuh di luar lingkup pemerintahan Allah yang berdaulat (Mat 10:29-30).

Seorang saudara saya sedang menjalani proses kemoterapi, karena ditemukan adanya sel kanker yang ganas di dalam tubuhnya. Sebagai efeknya, rambut di kepalanya satu per satu mulai rontok. Di tengah realita yang menakutkan itu, pertanyaan yang muncul adalah mengapa Allah mengijinkan penderitaan seperti ini terjadi pada anak-anakNya? Banyak upaya filosofis dan teologis untuk menjawab pertanyaan ini. Tetapi seringkali yang jauh lebih sulit, bukan menemukan jawaban yang memuaskan rasio kita tetapi bagaimana kita akan kuat menjalani realita penderitaan seperti ini? Bagi saya, kepastian kuasa Allah dan bahwa Ia sungguh Bapa yang senantiasa memikirkan kebaikan anak-anakNya adalah suatu jaminan. Bahkan ketika saya mengeluh kepada Allah, Roh Kudus-Nya sendiri berdoa berdasarkan maksud yang tidak akan mungkin keluar dari mulut manusia yang rapuh. Di dalam semua ini, keyakinan kita semakin menguat bahwa sungguh Bapa akan mengerjakan segala sesuatu, termasuk hal yang menyakitkan, bagi kebaikan-kebaikan kita (Rm 8:26-28).

Setelah mengalami berbagai pengalaman yang pahit, Yusuf dapat jatuh pada pemikiran bahwa hidupnya mungkin akan benar-benar berakhir dalam kejahatan tangan manusia. Tetapi di akhir kisah kitab Kejadian, Yusuf menarik kesimpulan teologis bahwa bahkan di dalam setiap kejahatan yang dialaminya, ada maksud Tuhan yang besar yakni memelihara suatu bangsa yang besar (Kej 50:20). Pernyataan ini bukan hanya menjawab seluruh kisah pilu yang terjadi di dalam kitab Kejadian tetapi menjadi bayang-bayang akan apa yang terjadi ribuan tahun setelahnya. Puncaknya terjadi di dalam Jumat Agung. Secara ironis, Yesus Kristus yang datang sebagai juruselamat justru mengalami pengkhianatan dan kejahatan terbesar. Namun bagaimanapun, di dalam terang pemeliharaan Allah, orang Kristen tidak akan pernah menyebut hari itu sebagai tragedi atau Jumat Kelabu melainkan selamanya akan disebut sebagai "Good Friday". Di sanalah jawaban dari segala penderitaan yang Tuhan ijinkan kita alami. Di sanalah demonstrasi 'penderitaan yang diubahkan menjadi kebaikan ditunjukkan secara nyata.

Orang Kristen tidak akan pernah menyebut hari itu sebagai tragedi atau Jumat Kelabu melainkan selamanya akan disebut sebagai "Good Friday". Di sanalah jawaban dari segala penderitaan yang Tuhan ijinkan kita alami.

Sebagai simpulan, Katekismus Heidelberg menutup penjelasannya dengan menyatakan bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah yang Mahakuasa (Kej 18:14) dan bahwa Dia akan menyediakan segala hal baik bagi kita karena Dia adalah Bapa yang setia. Khalik langit dan bumi itu akhirnya kita boleh panggil  sebagai "Bapa" karena karya Yesus Kristus. Sungguh suatu kelegaan bagi kita!

Catatan Kaki;

[1] Awalnya dipakai sebagai bahan katekisasi di bagian barat kekaisaran Jerman. Akhirnya menyebarluas dan menjadi salah satu dari tiga dokumen keesaan gereja-gereja reformed yang sangat bersejarah.
[2] Kerangka pembahasan dalam artikel ini diadopsi dari Jawaban Katekismus Heidelberg nomor 26 yang dibahas pada Hari Tuhan ke-9.
[3] William Kinney dari Universitas Buffalo di dalam penelitian terakhirnya meyakini bahwa alam semesta ini tidak kekal; "I feel like we've demonstrated something fundamental about the universe, which is that it probably had a beginning." James Riordon, "The Universe Began with a Bang, Not a Bounce, New Studies Find," Scientific American, diakses 29 November 2023, https://www.scientificamerican.com/article/the-universe-began-with-a-bang-not-a-bounce-new-studies-find/.
[4] Di dalam terminologi Ibrani, kata langit (h*ma*yim) dapat juga berarti sorga, yakni realita yang tidak dapat terlihat oleh manusia secara kasat mata.
[5] Zacharias Ursinus, The Commentary of Dr. Zacharias Ursinus on the Heidelberg Cathecism, ed. oleh Eric D. Bristley, trans. oleh G.W. Williard, Electronic Version 1.5 (Ohio: Olive Tree Communications, t.t.), 272.
[6] Fred H. Klooster, A Mighty Comfort: The Christian Faith according to the Heidelberg Catechism (Grand Rapids, MI: CRC Publications, 1990), 31.
[7] Analogi populer ini dikemukakan oleh William Paley dalam bukunya Natural Theology (1802)
[8] R.C. Sproul, Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen, trans. oleh Tanudjaja Rahmiati, 11 ed. (Malang: Literatur SAAT, 2018), 82.
[9] R. J. Berry, ed., The Care of Creation: Focusing Concern and Action (Leicester [England]: Inter-Varsity Press, 2000), 7--9
[10] Parafrase pertanyaan Dawkin pada menit '7.25 dan '33.52. Has Science Buried God? Debate, 2017, https://www.youtube.com/watch?v=OVEuQg_Mglw.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun