Â
Katekismus Heidelberg merangkum ajaran Alkitab, bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah yang terus menopang dan memerintah ciptaanNya. Ia tidak pernah sekalipun meninggalkan ciptaanNya melainkan terus memeliharanya. Allah terus bekerja sampai sekarang ini (Yoh 5:17). Allah tidak pernah sedetik pun tertidur! (Maz 121:4). Bila Allah sejenak saja berhenti menopang alam semesta, maka semuanya akan kembali kepada ketiadaan sebab hanya di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada (Kis 17:28).
Â
Pemeliharaan itu tidak dilakukan dalam suatu rencana yang terikat oleh proses atau urutan waktu, seperti rencana yang dimiliki oleh manusia. Manusia seringkali salah perhitungan dalam melakukan perencanaan, bahkan tak jarang menyesali perencanaannya. Secara kontras, rancangan pemeliharaan Allah dikerjakan menurut keputusan kehendakNya yang berdaulat dan berotoritas secara mutlak (Ef 1:11). Dia tahu segala sesuatu bahkan jauh sebelum hal itu terjadi. Pemeliharaan Allah tidak dapat disamakan dengan apa yang biasa kita sebut sebagai keberuntungan, takdir, dan kebetulan. Karakter Allah sendiri adalah pembedanya! Allah dapat melihat segala sesuatu, sedangkan keberuntungan itu buta. Bapa adalah Pribadi, sedangkan takdir tidak berpribadi. Allah dapat berkomunikasi, sedangkan kebetulan adalah bisu.[8] Apapun yang terjadi di dalam alam semesta tidak ada satupun yang terlepas dari perencanaan Allah. Tidak ada satupun rencana Allah yang terjadi sia-sia tanpa makna.Â
Apapun yang terjadi di dalam alam semesta tidak ada satupun yang terlepas dari perencanaan Allah. Tidak ada satupun rencana Allah yang terjadi sia-sia tanpa makna.
Allah yang memperkenalkan diriNya bagi kita, adalah Allah yang berkuasa mulai dari makrokosmos (tingkat semesta) hingga mikrokosmos (tingkat sub-sub atomik). Allah berkuasa atas segala sesuatu yang bahkan sampai saat ini belum dapat dilihat dengan bantuan teleskop atau mikroskop sekalipun. Dengan keyakinan bahwa seluruh alam semesta, termasuk bumi di mana Allah menempatkan kita, berada di dalam pemerintahanNya, maka kita perlu menimbang kembali sejauh mana kepedulian kita terhadap dunia karya ciptaanNya. Di dalam dokumen The Care of Creation yang dibuat sebagai penjelasan atas Deklarasi Kaum Injili tentang Kepedulian terhadap Lingkungan Hidup (1999), John Stott mengingatkan dua ayat mendasar: "Tuhanlah yang empunya bumi" (Maz 24:1) dan "Langit itu kepunyaan TUHAN, dan bumi itu telah diberikan-Nya kepada anak-anak manusia" (Maz 115:16).[9] Kedua pernyataan ini tidak saling berkontradiksi, seolah-olah Allah mendelegasikan pemeliharaan alam ciptaan sedemikian rupa kepada manusia sehingga Dia sendiri kehilangan hak milik bahkan kuasa pemerintahan-Nya. Namun dua ayat ini justru saling melengkapi, sehingga Stott menawarkan tiga sikap yang bisa kita kembangkan dalam hal kepedulian terhadap bumi ciptaan Allah. Pertama, alam bukanlah Allah sehingga tidak boleh dijadikan ilah. Kedua, orang Kristen tidak boleh merendahkan alam ciptaan hingga sampai pada posisi ekstrim yang mengeksploitasi bumi hingga mengalami kerusakan. Ketiga, yakni relasi yang tepat antara manusia dan alam adalah kerjasama dengan Allah. Artinya dalam upaya "mengusahakan dan memelihara" (Kej 2:15) alam ini, kita tetap bergantung pada Allah yang sesungguhnya sedang memelihara kita juga sebagai bagian dari ciptaanNya sendiri.Â
Â
Setelah selesai menciptakan, Allah mengatakan "sungguh amat baik" (Kej 1:31), tanda bahwa apa yang Dia kerjakan adalah indah dan mulia. Allah sungguh bersukacita saat melihat karya ciptaanNya. Suatu kali di dalam kelas Sekolah Minggu, saya mengajak anak-anak untuk membuat kreatifitas. Anak-anak sangat bersemangat mengerjakannya. Mereka mulai menggunting kertas, memberikan warna sesuai kesukaan mereka dan merekatkan setiap komponen satu dengan yang lainnya. Seorang anak tampak sangat senang sekali melihat hasil karyanya. Lalu secara tidak sengaja seorang guru menginjak hasil karyanya hingga rusak. Anak itu terdiam sejenak, seolah-olah mengambil nafas yang panjang untuk melarau. Tangisannya pecah dan betapa sedih hatinya melihat hasil karyanya dirusakkan oleh orang lain. Bayangkan betapa pilu hati Tuhan ketika kita sama sekali tidak peduli pada alam ciptaanNya, bahkan bila kita sedang mengeksploitasi dan merusaknya demi untuk pemenuhan nafsu keserakahan.
Â
Triliunan galaksi dan setitik debu
Â
Setelah kita melihat kebesaran dan transendensi Allah, selalu muncul sisi yang lain. Kita mulai merasakan betapa kecilnya manusia. Saya hanya satu orang di antara miliaran manusia di planet bumi ini. Bumi hanya satu diantara beberapa planet dalam sistem tata surya dengan matahari sebagai bintangnya. Ada jutaan bahkan milyaran bintang dalam satu sistem galaksi dan ada triliunan galaksi di alam semesta ini. Betapa kecilnya kita di hadapan Allah Sang Pencipta segala yang ada ini!