Â
Di dalam suatu perdebatan yang bersahabat antara dua saintis dunia, yakni John Lennox (Kristen) dan Richard Dawkins (Ateis) ada satu hal menarik yang ditanyakan oleh Dawkins kepada Lennox. Pertanyaannya, "jika memang Tuhan itu sungguh ada sebagai pencipta alam semesta yang tak terbatas ini dengan berbagai galaksi mahabesar di dalamnya yang makin berkembang, mengapa Allah Pencipta seagung itu mesti menganiaya diri sendiri hanya untuk manusia yang seperti setitik debu ini?"[10]
Â
Rupanya Daud juga pernah terganggu dengan pertanyaan yang hampir sama, "Bila kupandang langit yang Kauciptakan, bulan dan bintang-bintang yang Kaupasang apakah manusia itu, sehingga Kauingat dia, siapakah dia, sehingga Kaupelihara?" (Maz 8:4-5, BIS). Meskipun pertanyaannya sama, tetapi setidaknya ada dua perbedaan. Pada zaman Daud, ilmu dan teknologi antariksa belum ditemukan sehingga Daud belum membayangkan bahwa titik-titik bintang yang diamatinya itu ternyata seperti bola api raksasa yang menyala-nyala. Tak terbayangkan seperti apa kekaguman Daud bila ia bisa membayangkan ukuran asli dari bintang-bintang itu! Kedua, Dawkins hanya sekedar melempar pertanyaan sedangkan Daud terus merenungkan pertanyaan itu hingga sampai pada kesimpulan bahwa "betapa mulianya" (Maz 8:10) Tuhan yang mahaagung tetapi mau memperhatikan manusia yang hanya setitik debu.
Betapa mulianya Tuhan yang Mahaagung tetapi mau memperhatikan manusia yang hanya setitik debu.
Kebaikan Bapa yang melebihi ekspektasi terbaik manusia
Katekismus Heidelberg memberikan kelegaan dan sukacita ketika mengajarkan bahwa Allah yang mahakuasa, agung dan mulia itu bukanlah Allah yang jauh dari kita, melainkan Dia adalah Bapa kita. Yesus sendiri mengajari kita memanggil-Nya "Bapa" di dalam doa yang Ia ajarkan (Mat 6:9, Luk 11:2). Kita boleh memanggilnya "Abba" (Rm 8:15), panggilan yang hanya Yesus saja dapat memanggil-Nya demikian. Ternyata Sang Khalik langit dan bumi adalah sedekat itu! Akan tetapi, mengapa kita yang fana dan tidak layak ini bisa menjadi sedekat itu? Oleh karena Yesus Kristus, Anak-Nya yang Tunggal telah menebus kita sehingga kita dijadikan sebagai anak-anak angkat. Inilah puncak pemeliharaan Allah bagi dunia yang telah memberontak kepada penciptanya. Bapa mengutus Anak-Nya untuk menanggung hukuman dosa kita agar kita dibenarkan dan diperdamaikan dengan diri-Nya.
Di masa tuanya, Abraham mendapatkan apa yang selama ini dijanjikan yaitu seorang anak. Anak ini sedemikian berharganya karena dari anak inilah semua berkat-berkat yang lain menjadi ada artinya. Pasti tidak mudah bagi Abraham untuk melepaskan anaknya sebagai korban saat Allah memintanya. Tetapi setidaknya Abraham bisa meyakini bahwa Allah yang Mahakuasa dapat melakukan apapun, termasuk menyediakan pengganti anaknya jika Ia berkenan. Namun pikirkan tentang Bapa dan Anak Tunggal-Nya, Kristus! Mungkinkah ada pengganti Kristus bagi BapaNya sendiri? Mari kita renungkan lagi. Apabila apa yang paling berharga bagi Bapa telah diberikan bagi kita, bukankah segala sesuatu yang tidak lebih berharga dari itu, akan Allah berikan menurut kebutuhan kita (Rm 8:32)? Â Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengatakan "jangan kuatir," sebab Bapa yang di sorga tahu persis apa yang tubuh dan jiwa kita perlukan (Luk 12:22). Yesus menjamin, standar bapak paling terbaik sekalipun yang pernah hidup di muka bumi ini tidak ada apa-apanya dibanding kesempurnaan kebaikan Bapa sorgawi. Kesempurnaan kebaikan Bapa pasti melampaui ekspektasi terbaik kita! (Mat 7:11).
Kesempurnaan kebaikan Bapa pasti melampaui ekspektasi terbaik kita!
Rambut rontok dan kebaikan Allah
Tidak ada yang luput dari kendali Allah. Yesus mengatakan bahwa Bapa tahu persis total jumlah rambut kita! Suatu pekerjaan yang saya yakin tidak satu pun orang suka melakukannya. Setiap kali melihat satu helai rambut kita terjatuh, kita yakin bahwa sehelai rambut itu tidak pernah jatuh di luar lingkup pemerintahan Allah yang berdaulat (Mat 10:29-30).
Seorang saudara saya sedang menjalani proses kemoterapi, karena ditemukan adanya sel kanker yang ganas di dalam tubuhnya. Sebagai efeknya, rambut di kepalanya satu per satu mulai rontok. Di tengah realita yang menakutkan itu, pertanyaan yang muncul adalah mengapa Allah mengijinkan penderitaan seperti ini terjadi pada anak-anakNya? Banyak upaya filosofis dan teologis untuk menjawab pertanyaan ini. Tetapi seringkali yang jauh lebih sulit, bukan menemukan jawaban yang memuaskan rasio kita tetapi bagaimana kita akan kuat menjalani realita penderitaan seperti ini? Bagi saya, kepastian kuasa Allah dan bahwa Ia sungguh Bapa yang senantiasa memikirkan kebaikan anak-anakNya adalah suatu jaminan. Bahkan ketika saya mengeluh kepada Allah, Roh Kudus-Nya sendiri berdoa berdasarkan maksud yang tidak akan mungkin keluar dari mulut manusia yang rapuh. Di dalam semua ini, keyakinan kita semakin menguat bahwa sungguh Bapa akan mengerjakan segala sesuatu, termasuk hal yang menyakitkan, bagi kebaikan-kebaikan kita (Rm 8:26-28).
Setelah mengalami berbagai pengalaman yang pahit, Yusuf dapat jatuh pada pemikiran bahwa hidupnya mungkin akan benar-benar berakhir dalam kejahatan tangan manusia. Tetapi di akhir kisah kitab Kejadian, Yusuf menarik kesimpulan teologis bahwa bahkan di dalam setiap kejahatan yang dialaminya, ada maksud Tuhan yang besar yakni memelihara suatu bangsa yang besar (Kej 50:20). Pernyataan ini bukan hanya menjawab seluruh kisah pilu yang terjadi di dalam kitab Kejadian tetapi menjadi bayang-bayang akan apa yang terjadi ribuan tahun setelahnya. Puncaknya terjadi di dalam Jumat Agung. Secara ironis, Yesus Kristus yang datang sebagai juruselamat justru mengalami pengkhianatan dan kejahatan terbesar. Namun bagaimanapun, di dalam terang pemeliharaan Allah, orang Kristen tidak akan pernah menyebut hari itu sebagai tragedi atau Jumat Kelabu melainkan selamanya akan disebut sebagai "Good Friday". Di sanalah jawaban dari segala penderitaan yang Tuhan ijinkan kita alami. Di sanalah demonstrasi 'penderitaan yang diubahkan menjadi kebaikan ditunjukkan secara nyata.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!