PEMILIK (owner) kehabisan modal, pecah kongsi, sepi iklan bermerek (branded), dan 'rayuan maut' stasiun televisi lembaga penyiaran swasta (LPS) nasional. Inilah setidaknya pemicu banyaknya televisi swasta independen lokal yang akhirnya 'tewas'. Dan, Sulawesi Utara (Sulut) menjadi 'kuburan massal' untuk televisi LPS lokal.
Kenyataan yang terjadi di Sulut ini diakui sangat ironis. Apalagi jika dikaitkan dengan sejarah pertelevisian di Indonesia, di mana perintisnya adalah Peter F Gontha yang 'notabene' berdarah asli Kawanua (sebutan untuk orang Minahasa, suku asli mayoritas di Sulut).
Pada 1989, Gontha mendirikan jaringan televisi komersial pertama di Indonesia, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), sebagai bagian dari Bimantara Group, milik Bambang Trihatmojo, putera Presiden RI II, HM Soeharto.
Masih dengan bendera Bimantara Group, Gontha -memberi ide terbentuknya program berita RCTI Seputar Indonesia mengikuti gaya berita CNN- mendirikan jaringan televisi komersial kedua di Indonesia, Surya Citra Televisi (SCTV) pada 1990.
Tak itu saja, Gontha kemudian mendirikan televisi berbayar pertama di Indonesia, Indovision. Salah satu saluran di Indovision, yakni Q Channel mulai tayang pada 1998. Pada 15 September 2005, Q Channel ganti nama menjadi QTV sebagai stasiun televisi sindikasi pertama di Indonesia.
QTV menyediakan siaran untuk bisnis, informasi, pendidikan dan hiburan. Televisi ini bekerja bersama beberapa penyedia konten untuk menyediakan program yang cocok untuk pemirsa regional. Dan pada 1 September 2011, QTV bertransformasi lagi: menjadi BeritaSatu yang diluncurkan pada 3 September 2011.
Menurut Audrey Tangkudung, mantan petinggi QTV yang juga mantan wartawan Majalah Gatra dan Harian Sore Sinar Harapan, semangat mendirikan televisi lokal di Sulut kala itu, tak lain karena para pemodal di daeeah tersebut termotivasi dengan nama besar dan eksistensi Gontha di bidang pertelevisian.
"Tapi soal kenapa televisi-televisi lokal independen di Manado (baca: Sulut) ini mati semua, ini tentunya karena banyak faktor. Umpamanya, masalah 'budget', dan iklan-iklan besar yang dikuasai oleh televisi-televisi nasional," Ketua Ikatan Alumni Pasca-sarjana Universitas Indonesia (Iluni).
Disebut sebagai 'televisi independen lokal', ini karena stasiun televisi swata tersebut, tidak berjaringan. Beberapa di antaranya sudah mati dan ganti nama setelah diakuisisi oleh televisi nasional. Hal ini terkait perolehan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik (Kemenkominfo) Indonesia serta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Tercatat, enam televisi lokal independen yang sudah bertumbangan di Sulut selama hampir dua periode terakhir. Semuanya tersebar di Kota Manado, Kota Tomohon, dan Kabupaten Minahasa.
Keenam televisi ini: Televisi Manado (TvM), Bunaken Tv (Manado), Pacific Tv (Manado), Tv5 Dimensi (Tomohon), Manado Channel, dan Manado Tv. Dari keenam ini, tiga di antaranya 'benar-benar modar': TvM, Bunaken Tv, dan TV5 Dimensi. Selebihnya, diakuisisi oleh televisi nasional kemudian ganti nama: Manado Channel oleh INews Tv (MNC Group) menjadi INews Manado, Pacific Tv oleh Kompas Tv (Kompas Gramedia) menjadi Kompas Tv Manado, dan Manado Tv oleh Net Tv menjadi Net Tv Manado.
Adapun tiga televisi lokal lainnya yang juga gulung tikar adalah kategori berjaringan. Dua di antaranya dari jaringan Cahaya Tv Banten: Cahaya Tv Manado dan Celebes Tv, Minahasa.
Satunya lagi adalah televisi yang bernama sama dari jaringan Go Studio, Jakarta. Televisi ini berdasarkan IPP-nya, merupakan televisi komunitas karena segmennya khusus umat Nasrani.
Menjelang pemiliknya, Pendeta John Hartman (yang pernah aktif membawakan program rohani Kristen di RCTI) meninggal dunia, televisi ini cukup lama menyiar secara analog di Kota Manado, Kabupaten Minahasa, dan hampir seperempat daratan Sulut lainnya. Belakangan, berakhirlah keberadaan televisi ini ketika Hartman akhirnya berpulang. Padahal, siarannya senantiasa dinanti oleh warga Sulut di mana mayoritas warganya adalah umat Nasrani.
Adapun, daerah merupakan pangsa pasar iklan yang luar biasa bagi televisi nasional. Karena itu, pasar tersebut berusaha direbut, walaupun ini seharusnya wilayah televisi lokal independen.
Apalagi, keberadaan tv lokal ini seyogyanya adalah bagian dari kebangkitan era otonomi daerah. Ini terkait dengan upaya pelestarian kearifan lokal sekaligus pemberdayaan perekonomian setempat. Sebab, berbagai usaha lokal bisa terpromosi lewat televisi lokal.
Christiany Juditha, peneliti dari Kementerian Kominfo (Jurnal Penelitian Komunikasi dan Pembangunan volume 16 Nomor 1 Juni 2015 , halaman 49-64) menilai, kehadiran televisi lokal adalah untuk mengakomodasi demokrasi penyiaran: otonomi publik, keberagaman konten, dan keberagaman kepemilikan. Karena itu, salah satu pokok pikiran dari amanah ini, adalah konten dengan kearifan lokal, harus diberi porsi yang lebih besar.
Namun kenyataannya, televisi lokal akhirnya menghadapi setumpuk masalah. Di antaranya, persaingan antarlembaga penyiaran, terutama dengan yang dari Jakarta (baca: nasional), sumber daya manusia (SDM), dan kurang memadainya infrastruktur. Akibatnya, televisi lokal mengalami banyak hambatan dalam proses produksi konten lokal.
Adapun akuisisi yang dilakukan oleh televisi nasional, tak lepas dari keharusan mengantungi IPP lokal, jika mereka akan menyiar di daerah. Syarat lainnya, memberi porsi 10 persen konten lokal dari total siaran nasionalnya. Kewajiban-kewajiban ini, diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Ayat tiga dalam pasal enam UU ini misalnya, menyatakan, dalam sistem penyiaran nasional, terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu.
Pola ini dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal. UU Penyiaran memang mengamanatkan pergantian sistem siaran nasional dengan sistem siaran berjaringan, sebagai wujud demokratisasi atau desentralisasi penyiaran. Pengaturan teknisnya ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Swasta.
Penjabarannya ditetapkan dalam Permen Komunikasi dan Informasi Nomor.43/PER/M.Kominfo/10/2009 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Melalui Sistem Stasiun Jaringan Oleh Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) Jasa Penyiaran Televisi. Aturan ini dimaksudkan untuk menghadirkan sistem penyiaran yang tidak lagi sentralistik, namun desentralisasi.
Siaran televisi yang dipancarkan dari stasiun induk di Jakarta, dapat diterima di daerah dengan cara berjaringan bersama stasiun lokal. Dengan sistem ini, demokratisasi dan desentralisasi penyiaran dimulai melalui pemerataan kepemilikan '(diversity of ownership)' dan pemerataan informasi '(diversity of content)'.
Di Indonesia, fenomena kehadiran televisi swasta lokal indenden itu sendiri sangat mencolok terjadi di Sulut. Ini ditandai ketika Bunaken Tv mulai siaran pada akhir dekade 1990-an. Televisi ini milik Benny Tungka, pengusaha mal dan properti asal Makassar, Sulawesi Selatan yang berbisnis di Manado, sekaligus 'meminjam' nama marga Minahasa: Tungka.
Hanya saja, Bunaken Tv hanya bertahan tak lebih tiga tahun. Padahal, di situ terdapat dua koresponden televisi nasional yang kerja rangkap selaku pimpinan. Keduanya yakni Aldrin Arief (SCTV) dan Arifin Labenjang (RCTI). Kemudian pada 2002, berdiri TvM yang mengudara selama sekitar lima tahun sebelum akhirnya tutup. Dari TvM, lahir sejumlah SDM yang belakangan bekerja di stasiun-stasiun televisi setempat yang 'nongol' di kemudian hari. Sebutlah Tv5 Dinensi, Manado Tv, Manado Channel, atau Cahaya Tv Manado. Tak sedikit pula presenter wanitanya yang hijrah ke sejumlah televisi nasional.
Gulung tikarnya televisi-televisi lokal independen di Sulut ini tak lain akibat minimnya permodalan dan tidak bagusnya pengelolaan manajemen. Misalnya, tak lama usai Tv5 Dimensi diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2006 di Tomohon, Syenie Watulangkouw selaku pemiliknya, justru lebih sibuk sebagai Ketua DPD Partai Demokrat Sulut dan juga sebagai Wakil Wali Kota Tomohon.
Berbeda halnya dengan TvM yang tutup akibat teejadi konflik internal di antara dua pemiliknya, yakni Jusak Kereh dan John Hamenda, sedangkan Roy Maningkas memilih tidak berpihak. Beroperasi pada 2002, TVm akhirnya bubar setelah Hamenda terjerat hukum dalam kasus pembobolan kredit Bank Negara Indonesia (BNI) bernilai Rp 8,9 miliar.
Hamenda divonis 20 tahun penjara disertai denda Rp 1 miliar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 4 November 2004. Seluruh harta kekayaannya dirampas oleh negara. Termasuk TvM yang 'notabene' hasil dari kongsinya dengan Kereh dan juga Maningkas..
TvM bubar, Kereh pun mendirikan Pacific Tv, sedangkan Maningkas -mantan petinggi City Bank Indonesia- kembali ke Jakarta. Belakangan, Kereh menjual sahamnya ke Kompas Geamedia Group yang memang 'kebelet' mendapatkan IPP. Maka Pacific Tv sebagai televisi independen lokal pun, tamat riwayatnya karena sudah bertransformasi menjadi Kompas Tv Manado.
Sebelumnya, pihak MNC Group 'ngotot' untuk mengaukusisi Pacific Tv tapi akhirnya dikalahkan oleh Kompas Tv. "Kalau angkanya 'deal', kami siap," kata Yulius Yokajaya, Direktur Operasional MNC Group dalam suatu perbincangan lewat ponsel.
Televisi LPS lokal lainnnya yakni Manado Tv juga dililit masalah dana yang serius pada 2010, menyusul selesainya masa pemerintaan dua periode Gubernur Sulut yang juga pemiliknya, yakni Sinyo Harry Sarundayang. Pejabat gubernur di dua provinsi (Maluku dan Maluku Utara) ini lebih memusatkan perhatiannya ke pekerjaan yang baru: Senior Advisor Berita Satu Media Holdings.
"Dua bulan lalu saya meletakkan masa jabatan sebagai Gubernur Sulawesi Utara, dan sekarang saya bergabung di dunia bisnis," katanya (Sulut Post, 15 Desember 2015).
Manado Tv kemudian diakuisisi oleh Net Tv menjadi Net Tv Manado. Menurut Harris Van Der Sloot, mantan Pemred Manado Tv, pilihan menjual saham tersebut merupakan langkah yang lebih baik, mengingat kondisi Manado Tv kala itu sudah sangat berat dari aspek keuangan. Apalagi setahu Van Der Sloot, Sarundayang makin sibuk usai dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai Duta Besar Indonesia untuk Filipina merangkap Kepulauan Marshall dan Palau, Februari 2018.
Namun, mantan wartawan Liputan 6 SCTV dan Pemred Pacific Tv (sebelum diambil alih Kompas Tv) ini mengakui, akuisisi untuk Manado Tv, hanya demi merilei total siaran Net Tv dari Jakarta, alias tidak ada siaran lokalnya Dan, ini melawan UU Siaran. Beda halnya dengan Kompas Tv yang tidak pelit: memberi porsi konten lokal di Kompas Tv Manado hingga 30 persen. Persentase ini di atas ketentuan UU Penyiaran: 10 persen dari total siaran nasional.
Stasiun tv lokal lainnya, Manado Channel juga angkat tangan. Tatkala menghadapi kondisi keuangan yang sangat kritis, muncul 'godaan' lewat tawaran MNC Group sehingga akhirnya Manado Channel ganti nama menjadi INews Manado. "Situasinya memang sulit sehingga dijual, walaupun 'owner' Manado Channel juga memiliki stasiun radio siaran swasta niaga di Manado. Tapi memang lebih berat mengurus televisi dibandingkan radio," kata Hardy Kindangen, mantan Pemred Manado Channel.
Kondisi yang sama dialami pula oleh Cahaya Tv Manado dan Celebes Tv di Minahasa dari jaringan Cahaya Tv Banten. Hanya saja, setelah tutup di Sulut, jaringan Cahaya Tv Banten masih memiliki stasiun di sejumlah provinsi, antara lai di Bangka-Belitung. Bahkan belakangan, di Provinsi Kalimantan Barat berdiri televisinya, yakni Border Tv di Kabupaten Bengkayang.
Di wilayah tapal batas Indonesia-Negara Bagian Sarawak, Malaysia ini, Border Tv hanya bertahan sekitar tiga tahun sejak berdiri pada 2017. Ini terjadi sejak bupati setempat, Suryadman Gidot yang menjabat dua periode (2010-2015 dan 2016-2021), dicokok oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi. Border Tv sendiri menggunakan izin berjaringan dari Cahaya Tv Singkawang di Kabupaten Singkawang yang juga sudah 'selesai' riwayatnya.
Di Provinsi Riau, nasib televisi-televisi lokalnya juga tak lebih sama: kehabisan dana. Sebutlah Melayu Tv yang 'on air' di Kota Pekanbaru, Ibu Kota Riau. "Masalah dana operasional dan lain-lain memang berat," kata pemiliknya, Jose Rizal, mantan Kabag Humas Pemprov Riau yang pernah lama menjadi wartawan Harian Riau Post dari Jawa Pos Group.
Salah satu penyebab 'kematian' televisi lokal independen, adalah soal iklan. Terutama iklan bermerek (branded) dari Jakarta yang sulit masuk ke daerah. Pemasukan dari Jakarta, paling banter adalah program kuiz atau 'home shopping' yang persentasenya sangat kecil dibagi ke televisi lokal.
Realitas ini berbeda dengan televisi LPS lokal sekaliber Jawa Pos Tv (JTv) dari Jawa Pos Group. JTv 'terlanjur' beranak-pinak menjadi puluhan televisi lokal di hampir seluruh ibu kota provinsi. Sebutlah Batam Tv di Kota Batam, Kepulauan Riau, Ponti Tv di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, atau Kawanua Tv di Manado, SBO TV, Jambi TV, Bungo TV, Batam TV, Karimun TV, Riau TV, Kawanua Tv, RBtv, Radar TV Lampung, Baraya TV, PJTV, RCTV, atau Citra TV.
Hanya saja, beberapa televisi dalam jaringan ini, sudah gulung tikar. Padahal, selain lumayan profitnya dari tingkat lokal, pemasaran iklan atau sponsor, jaringan televisi ini, dibantu pula oleh stasiun televisi induknya. Bahkan, bidang pemasaran dari jaringan koran fisik, koran online, radio serta bisnis-nisnis nonmedia, disebut turun tangan membantu perolehan iklan bahkan dana, jika ada televisi dari grupnya yang membutuhkan talangan,
Kini, jumlah televisi lokal independen bisa dihitung dengan jari. Nasibnya pun ke depan diklaim semakin tak jelas. Apalagi sebentar lagi bakal diberlakukan siaran teknologi digital di mana perizinannya pun kian ribet serta mahal pula teknologinya. Dilansir Kompas (7/12), Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) mulai menyiapkan migrasi siaran televisi analog menjadi televisi digital.
Rencananya, siaran televisi analog akan dihentikan paling lambat pada 2 November 2022, pukul 24.00 WIB. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Kominfo, Johny G. Plate dalam siaran pers di laman resmi Kominfo.
“Sesuai dengan rancangan aturan teknis, Lembaga Penyiaran Publik (LPP), Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), dan Lembaga Penyiaran Komunitas jasa penyiaran televisi wajib menghentikan siaran televisi analog paling lambat pada tanggal 2 November 2022 pukul 24.00 Waktu Indonesia Barat,” ujar Menteri Kominfo dalam siaran pers tertanggal 2 Desember 2020.
Migrasi siaran televisi analog ke digital ini sesuai dengan amanah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Proses migrasi analog ke digital, berlaku untuk Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI dan LPS. “Penetapan LPP TVRI sebagai penyelenggara multiplekser '(mux)' dilakukan oleh menterim tanpa melalui evaluasi atau seleksi. Sedangkan penetapan penyelenggara 'mux' untuk LPS, dilakukan oleh menteri melalui seleksi dan evaluasi," ujar Menkominfo.
'Mux' merupakan alat atau komponen elektronika yang bisa memilih 'input' (masukan) yang akan diteruskan ke bagian 'output' (keluaran). Pemilihan 'input' mana yang dipilih akan ditentukan oleh sinyal yang ada di bagian kontrol (kendali) 'select'. Dengan demikian, Indonesia diharapkan dapat mengejar ketertinggalan dari negara lain, terutama negara-negara Asia Tenggara, yang sudah melakukan migrasi atau 'analog switch off' (ASO) terlebih dulu.
Pemerintah juga akan mengakomodasi masyarakat yang belum mampu membeli televisi digital. Caranya, memberikan alat berupa 'set-top box;, agar televisi lawas bisa menerima siaran digital. "Alat penerima siaran televisi digital yang dapat dikoneksikan ke pesawat televisi lama, yang berjumlah sekitar 6,7 juta 'set top box' untuk rumah tangga tidak mampu," kata Menkominfo.
Siaran televisi analog sendiri selama ini masih menggunakan spektrum frekuensi di pita 700 MHz. Dengan dirampungkannya ASO, frekuensi tersebut bisa dialokasikan untuk pemanfaatan lain, antara lain untuk menggelar jaringan 5G. Penyelenggara 'mux' penyediaan tersebut, berasal dari komitmen penyelenggara 'mux'. Jika nanti tidak mencukupi, maka pemerintah akan membantu menggunakan APBN atau sumber daya lain yang sah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H