Mohon tunggu...
Patrick Waraney Sorongan
Patrick Waraney Sorongan Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Ende gut, alles gut...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jelang Era TV Digital, Jangan Lupakan Jasa Pendiri LPS Analog Lokal

18 Desember 2020   21:00 Diperbarui: 19 Desember 2020   15:35 1322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stasiun televisi yang bersiaran lewat antena analog di Indonesia akan  segera digantikan dengan siaran digital (Foto: Istimewa)

Adapun tiga televisi lokal lainnya yang juga gulung tikar adalah kategori berjaringan. Dua di antaranya dari jaringan Cahaya Tv Banten: Cahaya Tv Manado dan Celebes Tv, Minahasa.

Satunya lagi adalah televisi yang bernama sama dari jaringan Go Studio, Jakarta. Televisi ini berdasarkan IPP-nya, merupakan televisi komunitas karena segmennya khusus umat Nasrani. 

Menjelang pemiliknya, Pendeta John Hartman (yang pernah aktif membawakan program rohani Kristen di RCTI) meninggal dunia, televisi ini cukup lama menyiar secara analog di Kota Manado, Kabupaten Minahasa, dan hampir seperempat daratan Sulut lainnya. Belakangan, berakhirlah keberadaan televisi ini ketika Hartman akhirnya berpulang. Padahal, siarannya senantiasa dinanti oleh warga Sulut di mana mayoritas warganya adalah umat Nasrani.

Adapun, daerah merupakan pangsa pasar iklan yang luar biasa bagi televisi nasional. Karena itu, pasar tersebut berusaha direbut, walaupun ini seharusnya wilayah televisi lokal independen.

Apalagi, keberadaan tv lokal ini seyogyanya adalah bagian dari kebangkitan era otonomi daerah. Ini terkait dengan upaya pelestarian kearifan lokal sekaligus pemberdayaan perekonomian setempat. Sebab, berbagai usaha lokal bisa terpromosi lewat televisi lokal.

Christiany Juditha, peneliti dari Kementerian Kominfo (Jurnal Penelitian Komunikasi dan Pembangunan volume 16 Nomor 1 Juni 2015 , halaman 49-64) menilai, kehadiran televisi lokal adalah untuk mengakomodasi demokrasi penyiaran: otonomi publik, keberagaman konten, dan keberagaman kepemilikan. Karena itu, salah satu pokok pikiran dari amanah ini, adalah konten dengan kearifan lokal, harus diberi porsi yang lebih besar.

Namun kenyataannya, televisi lokal akhirnya menghadapi setumpuk masalah. Di antaranya, persaingan antarlembaga penyiaran, terutama dengan yang dari Jakarta (baca: nasional), sumber daya manusia (SDM), dan kurang memadainya infrastruktur. Akibatnya, televisi lokal mengalami banyak hambatan dalam proses produksi konten lokal.

Adapun akuisisi yang dilakukan oleh televisi nasional, tak lepas dari keharusan mengantungi IPP lokal, jika mereka akan menyiar di daerah. Syarat lainnya, memberi porsi 10 persen konten lokal dari total siaran nasionalnya. Kewajiban-kewajiban ini, diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Ayat tiga dalam pasal enam UU ini misalnya, menyatakan, dalam sistem penyiaran nasional, terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu.

Pola ini dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal. UU Penyiaran memang mengamanatkan pergantian sistem siaran nasional dengan sistem siaran berjaringan, sebagai wujud demokratisasi atau desentralisasi penyiaran. Pengaturan teknisnya ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Swasta.

Penjabarannya ditetapkan dalam Permen Komunikasi dan Informasi Nomor.43/PER/M.Kominfo/10/2009 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Melalui Sistem Stasiun Jaringan Oleh Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) Jasa Penyiaran Televisi. Aturan ini dimaksudkan untuk menghadirkan sistem penyiaran yang tidak lagi sentralistik, namun desentralisasi.

Siaran televisi yang dipancarkan dari stasiun induk di Jakarta, dapat diterima di daerah dengan cara berjaringan bersama stasiun lokal. Dengan sistem ini, demokratisasi dan desentralisasi penyiaran dimulai melalui pemerataan kepemilikan '(diversity of ownership)' dan pemerataan informasi '(diversity of content)'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun