Mohon tunggu...
Patrick Waraney Sorongan
Patrick Waraney Sorongan Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Ende gut, alles gut...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kerap Jadi Rica-rica, Kucing di Manado "Rajin ke Gereja"

17 Desember 2020   20:20 Diperbarui: 19 Desember 2020   00:50 1738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kucing hidup dijual di salah satu pasar tradisional di Vietnam. (Foto: Grid Hot)

       'KAUM' kucing pasti gemetar, berkeringat dingin, sehingga tak bersemangat lagi untuk kabur. Bahkan saking paniknya, suara 'meongan'-nya terdengar lirih. Jika bisa berbahasa manusia, pasti suara 'meongan' itu berarti 'tolong, jangan bikin saya rica-rica'.

            "Kira-kira beginilah bro tingkah kucing-kucing di Manado, kalau melihat ada orang yang pungut batu atau memegang senapan angin. Biasanya untuk membunuh kucing adalah ditimpuk batu atau ditembak dengan senapan angin," kata Vani Loupatty, warga Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut).

            Di banyak kawasan di Manado, neneknya harimau ini tak memiliki 'hak azasi kucing'. Masih sambil bercanda, lelaki blasteran Maluku-Sangihe (Sangihe adalah suku asli kepulauan Nusa Utara, perairan perbatasan Sulut-Filipina) ini menambahkan, jika pun terpaksa harus melewati sekumpulan anak muda yang asyik begadang, maka (cenderung) nahaslah nasib di kucing.

            "Apalagi jika kucing itu kebetulan berada di tanah lapang. Pasti di tempat  itu tak ada pohon, pagar, tempat, atau sesuatu  yang bisa diandalkan untuk diloncati agar selamat," lanjut Vany yang mantan Redpel Harian Media Sulut, Manado.

            Memang, tak sedikit kalangan anak muda di Manado yang gemar begadang sambil menenggak 'cap tikus', sebutan untuk minuman keras (miras) tradisional Suku Minahasa. 'Pemanas badan'  yang disuling dari air nira asam ini, dianggap lebih  'nendang' jika dinikmati dengan daging kucing bumbu rica-rica. Istilahnya dalam bahasa Manado: 'tola-tola'. Artinya, 'camilan',  supaya berkurang rasa pahit dan mual akibat menenggak alkohol.

            Bumbu rica-rica antara lain terdiri dari lengkuas, tomat, cabe rawit, jahe, cengkih. garam, daun pandan, daun jeruk, daun salam kemiri. Usai diulek hingga halus, bahan-bahan ini ditumis atau dibakar bersama daging atau ikan. Sebelum dimasak, kucing yang sudah 'kembali ke pangkuan Bapa di Surga' ini, dibakar guna  menghilangkan bulunya untuk kemudian dicukur. Jika menjelang 'detik-detik terakhir' sebelum dibakar masih bergerak-gerak, maka 'cukup' dihantam kepalanya dengan batu. Andai pun masih saja 'menolak takdir', kepala si kucing dihantam beberapa kali, hingga akhirnya tak berkutik lagi.

            Adapun porsi cabe rawit, sangat dominan di antara semua bumbu rica-rica. Termasuk dalam memasak daging kucing. Warga asli Sulut memang menggemari makanan yang serba pedas. Dan khusus untuk daging kucing, proses memasaknya persis mengolah daging anjing, salah satu kuliner ekstrim orang Minahasa yang dinamakan 'erwe'.

            Menurut kalangan penggemar kuliner daging kucing, daging ini sangat nikmat jika dinikmati usai menenggak cap tikus. "Sampe-sampe talinga dapa rasa so nyanda ada lagi (bahasa Manado, baca: sampai-sampai   telinga terasa sudah tidak ada lagi')," lanjut Vany yang kini memimpin redaksi di sebuah media online.

            Konon, jika tak bisa lari dari cegatan manusia, kucing biasanya mendadak 'stroke', suatu penyakit 'orang kaya', yang kabarnya juga melanda mamalia ini. Karena kerap diburu manusia sebagai santapan, maka sebelum 'berpulang ke Yerusalem baru'' saat 'waktunya tiba', kucing di daerah mayoritas Nasrani ini, rata-rata dikenal 'alim' karena 'rajin berdoa'.

            Daging kucing sendiri, bukanlah salah satu makanan tradisional orang Minahasa. Menurut cerita kalangan tetua di Minahasa, budaya makan daging kucing justru dibawa oleh orang-orang Tionghoa di daerah tersebut. 

            Soal budaya makan daging kucing ini,  'beda-beda tipis' pula dengan asal mula cap tikus, yang merupakan merek dari miras legal dalam kemasan botol buatan orang China di daerah tersebut, pada masa Kolonial Belanda. Dalam perjalanan waktu, nama ini diidentikkan pula dengan miras tradisional orang Minahasa.

            Menurut Opa Franky Samola (82), warga Kota Tondano, Ibu Kota Kabupaten Minahasa, cap tikus akhirnya 'bermitra' dengan menu makanan daging kucing. "Bukan makanan tradisional Minahasa. Hanya segelintir saja  yang makan kucing. Itu pun lebih banyak di kalangan warga tertentu yang hobi minum," ujarnya.

            Terbukti, daging kucing jarang dijual di los daging ekstrim Pasar Beriman, Kota Tomohon. Di pasar yang dianggap sebagai 'pasar ekstrim Indonesia ini, rutin dijajakan daging ular, anjing, kelelawar, atau babi. Pembeli dipersilakan pula memilih mamalia yang masih hidup. Anjing yang masih hidup misalnya, dikurung dalam sangkar besi supaya bisa dipilih-pilih  sebelum dibeli.

            Adapun dari aspek kesehatan, daging kucing sangat tidak direkomendasi untuk dikonsumsi  manusia. Fakta ini terungkap berdasarkan hasil penelitian Raymond Craza dari Temple University, Jepang. Dilansir Detik Health (Jumat, 2 Agustus 2019), di sejunlah negara seperti Madagaskar, masyarakatnya  masih mengonsumsi daging kucing.

            Daging ini  dianggap memberikan sumplementasi protein yang baik untuk tubuh dan bisa menyembuhkan penyakit. Padahal,  kucing adalah tuan rumah yang sempurna untuk penyakit parasit, seperti Lyme atau demam tinggi sehingga sangat berbahaya bagi wanita hamil dan bayi.

            "Kucing adalah inang primer parasit yang menyebabkan toksoplasmosis yang akan memberikan ancaman kelainan bentuk serius pada bayi," tulis Raymond dalam penelitiannya yang berjudul Consumption of Domestic Cat in Madagascar: Frequency, Purpose, and Health Implications, dikutip dari Science Daily.
            Daging kucing juga mengancam penularan infeksi bakteri, seperti Clostridium botulinum. Dengan adanya informasi tersebut, peneliti mendesak untuk melakukan studi pada konsumsi anjing, karena banyak orang yang juga mengonsumsi dagingnya.

            Yang pasti, bahaya atau tidak untuk kesehatan, daging kucing di sejumlah kalangan di Sulut, dipercaya bisa menyembuhkan penyakir asma. Maka tak heran jika di Manado misalnya, jarang terlihat kucing yang berkeliaran, apalagi nekat 'mejeng, jogging', atau 'je es-es' alias  'jalan sore-sore'. Masalahnya, di sini cenderung tak ada 'hak asazi kucing' apalagi 'komnas kucing' segala!***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun