'KAUM' kucing pasti gemetar, berkeringat dingin, sehingga tak bersemangat lagi untuk kabur. Bahkan saking paniknya, suara 'meongan'-nya terdengar lirih. Jika bisa berbahasa manusia, pasti suara 'meongan' itu berarti 'tolong, jangan bikin saya rica-rica'.
      "Kira-kira beginilah bro tingkah kucing-kucing di Manado, kalau melihat ada orang yang pungut batu atau memegang senapan angin. Biasanya untuk membunuh kucing adalah ditimpuk batu atau ditembak dengan senapan angin," kata Vani Loupatty, warga Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut).
      Di banyak kawasan di Manado, neneknya harimau ini tak memiliki 'hak azasi kucing'. Masih sambil bercanda, lelaki blasteran Maluku-Sangihe (Sangihe adalah suku asli kepulauan Nusa Utara, perairan perbatasan Sulut-Filipina) ini menambahkan, jika pun terpaksa harus melewati sekumpulan anak muda yang asyik begadang, maka (cenderung) nahaslah nasib di kucing.
      "Apalagi jika kucing itu kebetulan berada di tanah lapang. Pasti di tempat  itu tak ada pohon, pagar, tempat, atau sesuatu  yang bisa diandalkan untuk diloncati agar selamat," lanjut Vany yang mantan Redpel Harian Media Sulut, Manado.
      Memang, tak sedikit kalangan anak muda di Manado yang gemar begadang sambil menenggak 'cap tikus', sebutan untuk minuman keras (miras) tradisional Suku Minahasa. 'Pemanas badan'  yang disuling dari air nira asam ini, dianggap lebih  'nendang' jika dinikmati dengan daging kucing bumbu rica-rica. Istilahnya dalam bahasa Manado: 'tola-tola'. Artinya, 'camilan',  supaya berkurang rasa pahit dan mual akibat menenggak alkohol.
      Bumbu rica-rica antara lain terdiri dari lengkuas, tomat, cabe rawit, jahe, cengkih. garam, daun pandan, daun jeruk, daun salam kemiri. Usai diulek hingga halus, bahan-bahan ini ditumis atau dibakar bersama daging atau ikan. Sebelum dimasak, kucing yang sudah 'kembali ke pangkuan Bapa di Surga' ini, dibakar guna  menghilangkan bulunya untuk kemudian dicukur. Jika menjelang 'detik-detik terakhir' sebelum dibakar masih bergerak-gerak, maka 'cukup' dihantam kepalanya dengan batu. Andai pun masih saja 'menolak takdir', kepala si kucing dihantam beberapa kali, hingga akhirnya tak berkutik lagi.
      Adapun porsi cabe rawit, sangat dominan di antara semua bumbu rica-rica. Termasuk dalam memasak daging kucing. Warga asli Sulut memang menggemari makanan yang serba pedas. Dan khusus untuk daging kucing, proses memasaknya persis mengolah daging anjing, salah satu kuliner ekstrim orang Minahasa yang dinamakan 'erwe'.
      Menurut kalangan penggemar kuliner daging kucing, daging ini sangat nikmat jika dinikmati usai menenggak cap tikus. "Sampe-sampe talinga dapa rasa so nyanda ada lagi (bahasa Manado, baca: sampai-sampai  telinga terasa sudah tidak ada lagi')," lanjut Vany yang kini memimpin redaksi di sebuah media online.
      Konon, jika tak bisa lari dari cegatan manusia, kucing biasanya mendadak 'stroke', suatu penyakit 'orang kaya', yang kabarnya juga melanda mamalia ini. Karena kerap diburu manusia sebagai santapan, maka sebelum 'berpulang ke Yerusalem baru'' saat 'waktunya tiba', kucing di daerah mayoritas Nasrani ini, rata-rata dikenal 'alim' karena 'rajin berdoa'.
      Daging kucing sendiri, bukanlah salah satu makanan tradisional orang Minahasa. Menurut cerita kalangan tetua di Minahasa, budaya makan daging kucing justru dibawa oleh orang-orang Tionghoa di daerah tersebut.Â
      Soal budaya makan daging kucing ini,  'beda-beda tipis' pula dengan asal mula cap tikus, yang merupakan merek dari miras legal dalam kemasan botol buatan orang China di daerah tersebut, pada masa Kolonial Belanda. Dalam perjalanan waktu, nama ini diidentikkan pula dengan miras tradisional orang Minahasa.