Mohon tunggu...
Patrick Waraney Sorongan
Patrick Waraney Sorongan Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Ende gut, alles gut...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keyakinan Akan Mistik Dahsyat Beras Empat Warna Suku Kaili

11 Desember 2020   08:00 Diperbarui: 15 Desember 2020   15:00 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MALAM itu, belasan pria dan wanita berusia sepuh, duduk bersila. Mata mereka telah memutih. Mereka duduk bersila membentuk setengah lingkaran menghadap ke arah puluhan hadirin dari kalangan warga asli setempat, di sebuah rumah adat kayu Suku Kaili. Lokaisnya  di  Kelurahan Kayumalue Pajeko. Kecamatan Palu Utara, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Dalam bahasa setempat, rumah panggung ini dinamakan Baruga Adat Sibulo Baraka

Beginilah suasana selama berlangsungnya Noragi Ose, tahap pertama ritual Pompaura, upacara adat masyarakat Kaili, suku asli di wilayah Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong. Ritual ini digelar tiga hari berturut-turut siang-malam, saban tanggal 28 Desember-30 Januari. Pada hari pertama, para sesepuh wanita, yang diklaim masih dalam kondisi kesurupan (trance) roh-roh leluhur, kerap naik-turun rumah panggung tersebut, untuk mengarahkan kaum wanita yang sedang mewarnai beras empat warna di halaman samping rumah adat itu.

Warga asli setempat serta warga Kaili lainnya yang berdatangan dari kelurahan-kelurahan sekitar serta para sesepuh, semuanya mengenakan Siga, nama ikat kepala tradisional Kaili. Puluhan kawula desa, baik lelaki perempuan, semuanya mengenakan Siga warna merah dengan kemeja hitam dan celana panjang kain selutut berwarna sama.

Pada masa lalu, warna Siga menentukan status sosial seseorang. Siga yang awalnya khusus dikenakan oleh kaum lelaki, dewasa kerap mulai kerap dikenakan pula oleh kaum wanita. Kuning adalah warna tertinggi yang hanya dapat dikenakan oleh para raja atau bangsawan, biru adalah pejabat publik, dan kuning dapat dipakai oleh siapa saja, tanpa membedakan status sosial.

Di atas rumah adat, perilaku para sesepuh ini terkadang jenaka. Beberapa di antara mereka terus merapal mantera, sedangkan yang lainnya asyik bercengkerama, bahkan bercanda. Uniknya, jika dicermati, ada yang tertawa terkekeh-kekeh di sela cengkerama dengan bahasa yang berbeda. Yang satu berbahasa Bugis, satunya lagi berbahasa Kaili.

Melihat 'aksi' bercanda ini, jika Anda pendatang, pasti tak masuk akal. Perasaan jadi 'tidak keruan', antara 'luc'u, heran, dan..pasti merinding. Warga setempat meyakini, tubuh mereka sudah dikuasai oleh roh-roh leluhur sehingga sanggup berbicara dengan bahasa yang berbeda. Karena Suku Kaili dikenal akrab dengan suku atau etnis lain, para sesepuh itu juga tak semuanya asli Kaili. 

Melainkan bercampur dengan sesepuh yang berdarah blasteran dari suku-sukulain, terutama dari Bugis yang sudah puluhan tahun berakulturasi dengan warga asli, dan merupakan suku pendatang berjumlah paling dominan di Tanah Kaili.

Saya pertama kali meliput ritual tersebut pada 2017, ketika memproduksi sebuah program televisi untuk Sistem Siaran Jaringan (SSJ) SCTV siaran Sulawesi Tengah. Seorang jurukamera saya, Fadli yang asli berdarah Bugis, mendadak syok ketika didekati oleh seorang sesepuh wanita berkebaya.

Nenek itu memanggil namanya,  kemudian berbahasa Bugis. Hanya beberapa kalimat yang saya mengerti artinya. Di antaranya, 'hai, apa kabar, sudah lama kita tidak ketemu',  atau  'kamu ngapain aja selama ini?" Kira-kira beginilah terjemahanya ke dalam bahasa Indonesia.

Bingung, syok plus...panik. Beginilah pengakuan Fadli usai ritual. Dilanda perasaan campur-aduk 'seribu galau' , Fadli hanya bisa mematung dengan tubuh gemetaran. Keringat meleleh di keningnya. Tripod kameranya oleng dan roboh, namun sempat ditahan oleh warga sehinngga kameranya aman. "Aaaa," hanya itu suara lirih yang keluar dari mulutnya. Fadli mengakui, pita suaranya seakan terjepit.

Perasaan  galau 'teramat sangat' itu, alhasil, membuat wajahnya yang memang berwarna sawo matam kehitam-hitaman, mendadak berubah warna: menjadi 'biru' di bawah tempias lampu neon di langit-langit atap rumah panggung. Dalam kondisi 'sudah sangat sukar' seperti itu, si sesepuh kembali berseru memanggil namanya, bahkan...menepuk pundak kirinya! Kulit wajah Fadli pun 'kian membiru'. Matanya terbelalak, nanar, sembari sesekali menatap rekan-rekannya sesama kru yang juga 'pasrah' karena 'ketularan' syok sehingga tak bisa berbuat sesuatu untuk menolongnya.

Toh 'insiden' itu dianggap lumrah terjadi di sela ritual tersebut. Menurut sejumlah tetua desa, sesepuh tersebut, secara gaib bukan lagi berhadapan dengan Fadli, melainkan dengan leluhur Fadli, yang diyakini juga sebagai tokoh sakti dari Tanah Bugis.

Menariknya, ada seorang sesepuh atau kakek yang sempat mengajak saya mengobrol walaupun notabene kondisinya dianggap sedang trance. kakek yang usianya paling tua di antara semua sesepuh ini, ternyata bisa berbincang-bincang santai. Karena paling dituakan, si kakek dianggap sebagai soko guru dalam ritual tersebut. Dia  tak pernah bergeming dari atas rumah panggung sejak awal hingga akhir ritual. Tugasnya, menjadi tameng dari berbagai bala yang secara mistis menganggu jalannya ritual.

Salah satu benda yang diburu orang dalam ritual tersebut, yakni beras berwarna merah, hijau, kuning, dan putih. Proses mewarnai beras ini  dilakukan lewat prosesi Noragi Ose, yang usai Pompaura bakal dibagikan kepada warga. Beras warna-warni ini diyakini mampu menangkal berbagai kekuatan jahat yang mengancam atau mengganggu kehidupan manusia. Empat warna ini diyakini sebagai simbolisasi empat unsur sumber kekuatan gaib, yakni Tanduka Oge (wilayah Pantai Barat, Kabupaten Donggala), Lariang, Gumbasa dan Uventira.

Menurut si kakek, semua kesulitan baik lahir maupun batin, bisa teratasi dengan menggunakan beras empat warna itu. "Siapa saja boleh memakai beras ini. Bukan cuma yang beragama Islam. Kristen, Hindu atau Buddha, bisa saja. Ada bacaan yang disesuaikan dengan keyakinan masing-masing, sebelum dilemparkan ke arah mana saja, setelah sebelumnya Anda mengutarakan niat," katanya.

Hanya saja, kekuatan magis tersebut, diklaimnya tidak akan terjadi jika beras empat warna itu digunakan untuk segala sesuatu yang maksiat atau dosa. "Sebab, kekuatan ini dari Allah. Jadi," lanjutnya, "harus digunakan untuk kebaikan. Penggunaannya, hanya untuk kondisi yang sudah sangat genting. Rata-rata yang meminta beras ini adalah para pelaut untuk berjaga-jaga jika terjadi badai dahsyat."

Memperbaiki kerusakan alam diyakini bisa pula digunakan dengan menggunakan beras tersebut ditambah kekuatan-kekuatan supranatural dari Kaili lainnya. Si kakek bahkan mengklaim, mereka mampu menjinakkan keganasan lumpur panas PT Lapindo, yang sejak tahun 2006 menenggelamkan belasan desa di Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur. "Saya yakin bahwa kami bisa. Masalahnya sekarang, belum ada yang meminta kami datang ke sana," katanya.

Beras ini bisa awet hingga bertahun-tahun. Ada syarat khusus yang hasilnya manjur. "Pakai Kapur Ajaib. Dicampur di dalam beras, pasti tahan sangat lama," bisiknya mengakhiri obrolan.

Adapun ritual  hari kedua dinamakan Nopatinda Tavanggayu.  Dalam upacara ini, didirikan tujuh jenis tiang kayu. Di dalam setiap lubang tiang terlebih dahuluberagan benda, yakni paku, sirih, telur, uang logam kuno, dan kemiri. Tiang-tiang dan lokasi rumah adat ini berada di dekat kompleks makam raja-raja Kaili. Itu sebabnya, arwah para raja maupun leluhur diyakini akan merasuki para sesepuh, bahkan terkadang hadirin selama prosesi.

Hari ketiga merupakan klimaks dari Pomnpaura. Sebuah perahu yang sudah diisi berbagai hasil bumi dengan hiasan-hiasan tertentu, diarak ke pantai untuk dilarungkan. Malam itu sebelum perahu dihanyutkan ke laut, para sesepuh di rumah adat akan menyanyikan kidung Baliore yang dipercaya berasal dari   Uventira atau Wentira, suatu Kerajaan Gaib.

Perahu ini kemudian ditarik ketengah laut oleh sebuah perahu bermesin, dan dilepaskan talinya pada jarak tertentu dari pantai. Jika sudah di tengah laut, dalam pandangan magis, perahu  ini akan terlihat seperti sebuah kapal besar. Kapal itu akan menuju ke negeri gaib yang diyakini sangat moderen. Di sana terdapat kapal mesin,  pesawat, mobil, dan segala sesuatu seperti yang dimiliki umat manusia. Hanya saja, peradabannya diyakini jauh lebih canggih. Bahkan, penghuni Wentira dipercaya mampu menembus alam manusia dan juga berubah wujud sebagai manusia sesukanya.

Para sesepuh Kaili juga meyakini, seluruh wilayah Kota Palu juga merupakan bagian dari kedaulatan Kerajaan Wentira. Dalam penglihatan supranaturalnya, perahu ini akan disambut oleh para pengawal negeri gaib itu yang semuanya berwujud buaya. Menurut kakek tadi, jika kapal berikut isinya diterima oleh penghuni Wentira, maka ini artinya berkah akan diterima oleh masyarakat Kaili. Sebaliknya, akan terjadi bencana, jika kapal itu terdampar di tempat lain, atau (sebagaimana pernah terjadi), kapal 'pulkam', alias kembali beberapa hari kemudian di pesisir, lokasinya ketika diarungkan***

        

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun