Mohon tunggu...
Patricia Iskandar
Patricia Iskandar Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SMA Santa Ursula BSD

usia 17 dengan mimpi menjadi graphic designer dan animator

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Esai Kritik Mimetik Bila Malam Bertambah Malam (1971)

28 Februari 2022   14:10 Diperbarui: 28 Februari 2022   14:16 2566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel Bila Malam Bertambah Malam merupakan novel yang ditulis oleh Putu Wijaya (1944-sekarang) yang cetakan pertamanya diterbitkan pada tahun 1971. Novel ini dipilih karena bercerita tentang permasalahan yang seringkali masih menjadi masalah yang cukup besar dalam masyarakat, berupa kedudukan dan gelar. Esai ini dituliskan berdasarkan salah satu teori kritik sastra, yaitu teori kritik sastra mimetik. Teori kritik sastra mimetik adalah kritik yang memandang karya-karya sastra sebagai tiruan aspek-aspek alam, pencerminan atau penggambaran dunia dan kehidupan (Rahayu, 2014). Pendekatan (kritik sastra mimetik) yang memandang karya sastra sebagai imitasi dari realitas itu sendiri (Bella Novya Revita, 2020). Dalam esai ini akan dibahas dengan lebih mendalam hubungan beberapa hal dalam novel ini dengan kehidupan nyata menggunakan teori kritik sastra tersebut. 

Novel Bila Malam Bertambah Malam (1971) bercerita tentang gadis dari keluarga yang kurang mampu, Nyoman. Nyoman hidup dengan dan disekolahkan oleh seorang janda almarhum bangsawan, Gusti Biang. Beliau memiliki seorang anak bernama Ngurah. Gusti biang memiliki seorang asisten yang bernama Wayan, seorang pria yang juga sudah berusia, sahabat mendiang suaminya. Karena Nyoman bukanlah seorang anak bangsawan, Gusti Biang merasa ia boleh bertindak semena-mena padanya karena ia telah menghidupkan Nyoman. Semakin waktu, Nyoman menjadi tidak tahan dan emosi dengan perlakuan Gusti Biang padanya, sehingga ia pun pergi. 

Anak tunggal Gusti Biang, Ngurah, pulang ke rumahnya. Gusti Biang marah besar ketika Ngurah mengatakan bahwa ia akan menikahi Nyoman, dan bukan Sagung Rai yang merupakan anak bangsawan. Ketika Gusti Biang, Ngurah, dan Wayan sedang adu mulut, Ngurah menyadari bahwa mendiang ayahnya yang mati dalam peperangan, bukanlah ayah kandungnya. Wayan adalah ayahnya yang sebenarnya, dan Gusti Biang hanya malu untuk mengakui ia menikah dengan orang rendahan. Ia menolak jujur mengenai Wayan karena ingin merasa tinggi dianggap istri seorang bangsawan. Akibat adanya pengakuan tersebut, akhirnya Gusti Biang merestui pernikahan antara Nyoman dan Ngurah.

Novel ini banyak mengingatkan kita tentang rasa bangga yang berlebihan terhadap sebuah gelar yang kita miliki sehingga kita merasa lebih tinggi dari orang lain. Menurut Soekanto, Soerjono (2012) di dalam interaksi sosial terkadang kurang menyadari bahwa yang paling penting adalah melaksanakan peranan. Namun tidak jarang di dalam proses interaksi tersebut, kedudukan lebih dipentingkan sehingga terjadi hubungan yang timpang dan seharusnya tidak terjadi. Hubungan yang timpang tersebut lebih cenderung mementingkan bahwa suatu pihak hanya mempunyai hak, sedangkan pihak lain hanya mempunyai kewajiban semata.1 Terkadang, cara pikir tersebut membuat seseorang melupakan jati dirinya dan kebaikannya karena dibutakan oleh kedudukan. Selain itu, novel ini juga membahas tentang permasalahan yang dapat terjadi dalam kehidupan berkeluarga.

Permasalahan terbesar dalam novel Bila Malam Bertambah Malam adalah mengenai gelar dan kedudukan seseorang. Seperti pada sub bab terakhir dalam novel ini, ‘Gusti Biang sudah kehabisan air mata untuk menangis. Sekarang ia menjadi sangat malu. .... Ia tak berani memandang Ngurah, tidak berani memandang Wayan, bahkan tidak berani memandang dirinya sendiri. Kerewelan dan keangkuhannya tiba-tiba lenyap. Ia bukan lagi seorang bangsawan yang bersedia mati untuk martabatnya. Ia bukan lagi istri almarhum suaminya.’ (halaman 133) Bahwa ketika rahasia Gusti Biang semuanya terkuak, Gusti Biang langsung merasakan besar kesalahannya. Dengan memiliki gelar sebenarnya ia tidak berhak untuk menggunakan orang lain demi kepentingannya sendiri, dengan merasa dirinya adalah yang paling tinggi. Ia telah dibutakan oleh kesombongannya supaya dianggap sebagai bangsawan yang memiliki suami yang berjasa, sementara ia menghiraukan perasaan dan opini orang lain.

Alasan ia juga merasa harus menjaga gelarnya karena ia tinggal di pemukiman orang bergelar juga, seperti disebutkan dalam novel tersebut ‘Beberapa orang anak bangsawan tetangga yang kecil tampak menyebrangi halaman menuju ke gudang.’ (bab 5, halaman 52). Oleh sebab itu, ia merasa memiliki keharusan untuk bisa menjadi setara dengan mereka. Menurut saya keinginan seseorang untuk mempertahankan gelarnya secara sosial adalah supaya tidak dianggap kecil dan tidak malu karena memiliki kasta yang lebih rendah. Walaupun begitu, hal tersebut tidak seharusnya menjadi alasan bagi kita untuk berbohong demi menyelamatkan wajah. Hal tersebut hanya membawa permasalahan yang lebih besar lagi kedepannya. 

Biasanya keinginan seseorang untuk memegang gelar didasari oleh maksud yang kurang baik, seperti dalam novel ini adalah gelar menjadi alasan untuk Gusti Biang menyombongkan diri. Sebesar-besarnya gelar yang kita miliki,  banyak hal kecil yang dilakukan oleh orang lain untuk kita yang dapat dianggap tidak ada apa-apanya, dapat menjadi masalah atau pekerjaan besar yang harus kita selesaikan sendiri apabila mereka tidak ada. Seringkali didapatkan dalam berita bahwa orang-orang dengan kedudukan yang lebih tinggi (contohnya menduduki posisi pemerintahan) yang memperlakukan orang-orang dengan jabatan yang lebih rendah dengan sewenang-wenang. 

Tidak hanya masalah gelar dan kedudukan yang dibahas dalam novel Bila Malam Bertambah Malam. Selain itu, terdapat juga permasalahan yang sayangnya seringkali terjadi dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari. Seringkali dalam kehidupan berkeluarga terjadi perbedaan pendapat, dan pendapat orang tua lah yang harus ditaati oleh anaknya atau anak angkatnya. Terdapat orang tua yang terlalu diktator dan menyuruh-nyuruh karena merasa merekalah yang paling benar. Tidak hanya menyakitkan untuk didengar orang lain, perbuatan orang tua yang semena-mena itu bahkan dapat mengakibatkan terganggunya mental seorang anak dengan serius. Padahal, orang tua tidak selalu benar. Hal ini ditunjukkan dalam novel ini, yaitu bagaimana Gusti Biang mengatur masalah studi serta pasangan hidup Ngurah.

Pertama, Gusti Biang menganggap Ngurah adalah anak yang durhaka karena tidak patuh dengan keinginan Gusti Biang. Ia menginginkan Ngurah untuk melupakan masalah studinya dan justru menikah saja. Hal ini sebenarnya cukup masuk akal, mengingat Gusti Biang sudah berumur dan sudah menunggu keturunan.  Gusti Biang juga memperlakukan Nyoman dengan kasar karena Nyoman merupakan anak angkatnya, yang juga tidak memiliki gelar bangsawan. Seperti dikutip, ‘ “Aku tidak peduli!” tukas Gusti Biang kembali. “Apa kerjamu disini?” ’ (halaman 28). Apalagi Wayan, yang selama hidupnya dianggap sebagai seorang pembantu, diperlakukan seenaknya oleh Gusti Biang. Ia berani memanggil Wayan dengan kata-kata yang menyakitkan, contohnya “Kau sendiri bertambah tolol dan penyakitan! Menghitung rusuk rumah saja kau tak pernah betul apalagi membaca huruf.” (halaman 14).

Kedua, Gusti Biang juga mengatur tentang kehidupan percintaan Ngurah. Ia menyebutkan bahwa ia harus menikah dengan Sagung Rai, dengan alasan bahwa Sagung Rai adalah seorang bangsawan. Kemauan orang tua untuk menikahkan anaknya dengan orang tertentu bukanlah hal yang jarang ada dalam kebiasaan adat pada beberapa daerah di seluruh dunia. Menurut essay dari Farha Ternikar (tahun tidak disebut)2 dalam surveinya terhadap orang Asia Amerika, 24 persen dari responden (12 dari 50 orang) mengatakan bahwa mereka harus melakukan pernikahan yang telah ditentukan oleh orang tua mereka. Dalam survei Rangaswamy (2000) terhadap orang imigran Chicago-India 71% responden mengatakan diharuskan melakukan pernikahan yang ditentukan (181 orang)3. Terjadinya pernikahan yang dijodohkan dapat disebabkan oleh maksud yang baik dan buruk dari orang tua. Seringkali, dampak pernikahan yang diatur seperti ini berakibat buruk. Bukannya membantu anaknya untuk mencapai keluarga yang tentram, melainkan membuat anak mereka hidup dengan kesusahan karena harus menyesuaikan diri dengan pasangan yang tidak tentu mereka ingini.

Nyoman, sebagai anak yatim yang diadopsi dan dipelihara oleh Gusti Biang tentunya diperlakukan dengan buruk olehnya. Jangankan perhatian, dan kasih sayang, makanan pun mungkin tidak diberikan karena ia melawan kehendak Beliau. Namun, Nyoman tetap sabar dan menjaga Gusti Biang, walaupun pada suatu waktu Nyoman pergi karena tidak tahan dengan ocehan Gusti Biang. Hal ini cukup memprihatinkan karena mengetahui terdapat anak-anak di luar sana yang hanya bisa tersenyum dan menurut kepada walinya walaupun diperlakukan dengan buruk karena mereka tidak memiliki pilihan. Permasalahan dalam keluarga memang suatu hal yang sulit diselesaikan, dan semoga hal seperti ini tidak terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun