Mohon tunggu...
Patricia Iskandar
Patricia Iskandar Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SMA Santa Ursula BSD

usia 17 dengan mimpi menjadi graphic designer dan animator

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Resensi Novel "Bila Malam Bertambah Malam" (1971)

1 Oktober 2021   22:22 Diperbarui: 1 Oktober 2021   22:23 2418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

disusun oleh Patricia Iskandar

Data Buku

Judul : Bila Malam Bertambah Malam

Penulis : Putu Wijaya

Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya

Tebal : iv + 141 halaman

Cetakan Pertama : 1971

Edisi Elektronik : 2018

ISBN : 978-623-221-293-0

Tentang Penulis

I Gusti Ngurah Putu Wijaya lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali, pada tanggal 11 April 1944. Ia sudah mulai menulis sejak SLTP dan terjun dalam kegiatan drama sejak SMA. Ia melanjutkan studi di Fakultas Hukum UGM dan ASDRAFI di Yogyakarta. Ia pernah menjadi redaktur majalah Ekspres, Tempo, dan zaman. Ia banyak menulis cerita pendek dan novel, seperti Aduh (1975), Dag Dig Dug (1976), dan Bila Malam Bertambah Malam (1971).

Sinopsis

Novel ini bercerita tentang gadis dari keluarga yang kurang mampu, Nyoman. Nyoman hidup dengan dan disekolahkan oleh seorang janda almarhum bangsawan, Gusti Biang. Beliau memiliki seorang anak bernama Ngurah. Gusti biang memiliki seorang asisten yang bernama Wayan, seorang pria yang juga sudah berusia, sahabat mendiang suaminya. 

Karena Nyoman bukanlah seorang anak bangsawan, Gusti Biang merasa ia boleh bertindak semena-mena padanya karena ia telah menghidupkan Nyoman. Semakin waktu, Nyoman menjadi tidak tahan dan emosi dengan perlakuan Gusti Biang padanya, sehingga ia pun pergi. Anak tunggal Gusti Biang, Ngurah, pulang ke rumahnya. Gusti Biang marah besar ketika Ngurah bercakap bahwa ia akan menikahi Nyoman, dan bukan Sagung Rai yang merupakan anak bangsawan. 

Ketika Gusti Biang, Ngurah, dan Wayan sedang adu mulut, Ngurah menyadari bahwa mendiang ayahnya yang mati dalam peperangan, bukanlah ayah kandungnya. Wayan adalah ayahnya yang sebenarnya, dan Gusti Biang hanya malu untuk mengakui ia menikah dengan orang rendahan. Ia menolak Wayan karena merasa tinggi dianggap istri seorang bangsawan. Akibat adanya pengakuan tersebut, akhirnya Gusti Biang merestui pernikahan antara Nyoman dan Ngurah.

Komentar Saya

Persoalan yang dibawakan dalam novel ini adalah persoalan posisi kedudukan atau kasta orang-orang di dalam sebuah masyarakat. Disebutkan sebagaimana pentingnya suatu kedudukan yang kita miliki, walaupun kedudukan tersebut kita peroleh dengan cuma-cuma. Terkadang perbedaan kedudukan didalam masyarakat membawa banyak komplikasi dan masalah, seperti perlakuan Gusti Biang terhadap Nyoman yang setia padanya walaupun harus bertahan dengan dicaci maki setiap hari.

Penokohan

Tokoh yang ada pada novel ini memiliki peran uniknya masing- masing. Protagonis pada novel ini dengan jelas adalah Nyoman, yang memiliki pribadi yang tabah, sabar, sifatnya sopan dan perhatian. Ngurah, adalah seseorang yang sabar dan setia pada Nyoman tanpa memandang posisi, dan bertindak sebagai tritagonis pada cerita ini. 

Gusti Biang adalah tokoh yang menjadi antagonis karena perbuatan dan pemikirannya, yang dibantu dengan Wayan, seorang penurut dan berhati besar, berpura-pura sebagai pembantu yang sebenarnya adalah suaminya.

Kelebihan dan Kekurangan Novel

Cerita ini memiliki beberapa kelebihan yang dapat saya sebutkan. Salah satunya adalah adanya penggunaan bahasa daerah (bahasa Bali) yang menurut saya sangat baik dikenalkan pada masyarakat Indonesia. Penggunaan kosakata dalam novel ini sangat bervariasi, dan membantu saya mempelajari beberapa kata-kata baru. Saya juga dapat berempati dengan tokoh antagonis maupun protagonis dari cara pembawaan cerita sang penulis. Suasana tegang pada saat para tokoh beradu mulut, saat Ngurah menyadari kebenaran, semuanya sangat terasa. 

Novel ini tidak terlepas dari beberapa kekurangan. Komplikasi pada alur cerita menyebutkan bahwa Gusti Biang sangat menjunjung tinggi kasta dan kedudukan seseorang. 

Namun cerita berakhir dengan Gusti Biang merestui pernikahan anaknya dengan seorang perempuan sudra, dan menurut saya perubahan tersebut sedikit terlalu cepat. Selain itu, beberapa komplikasi yang terjadi pada cerita ini agak membingungkan dan dibutuhkan lebih dari sekali membaca untuk memahami situasi yang sedang terjadi karena penggunaan kata yang berputar.

Saran dan Kesimpulan

Membaca novel ini merupakan pengalaman yang menarik bagi saya. Karena buku ini banyak  mengandung kata-kata yang kasar dan caci maki yang seharusnya tidak dibaca oleh anak-anak serta mengandung banyak hal romansa, saya menyarankan buku ini dibaca oleh anak remaja berusia 17 tahun keatas dan orang dewasa. Pesan moral yang dibawakan dalam novel ini juga lebih mengarah pada orang dewasa, yang dapat memberikan mereka pendapat dari sudut pandang yang berbeda. 

Dapat disimpulkan dalam cerita ini bahwa kita tidak boleh membeda- bedakan orang karena kedudukannya atau kastanya, dan tidak ada salahnya jika kita bersahabat dengan orang-orang dari kedudukan yang berbeda. Novel ini dikemas dengan cara demikian menarik sehingga membuat pembaca tertarik dengan resolusi klimaks yang ada.

Tugas Bahasa Indonesia XII

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun