Sejumlah aspek tersebut membuktikan bahwa matematika membawa segudang manfaat tentang proses, belajar dari sebuah kegagalan, kesalahan, dan mencari kunci untuk memecahkan persoalan yang ada. Tak sedikit juga siswa yang mengeluh saat nilai ulangan mereka kurang satu atau dua poin menuju tuntas. “Prosesnya bisa jadi tinggal dikit lagi, mungkin dia kurang teliti, belum dapat poin kuncinya di mana untuk menyelesaikan soal dengan benar-benar memahami cara penyelesaiannya," kata Desy.
Astrid turut menegaskan bahwa penjelasan Desy menunjukan kalau matematika memang tak jauh berbeda dari bermain game. Pada game seperti balap mobil di Mario Kart, bisa saja sedikit lagi seorang pemain menang melewati circuit tertentu, bisa jadi sedikit lagi melawan boss utama dari sebuah game, tapi saat belum menemukan kunci atau triknya, maka bisa saja seseorang masih terjebak di level tertentu. Perlu mencari trik yang tepat, misalnya lewat berlatih, mencari informasi dari media sosial atau bertanya dan belajar dari teman yang lebih berpengalaman.
Bahkan di dalam penilaian harian, guru pun bisa mengamati bahwa ada soal-soal matematika yang sederhana tapi siswa sudah terjebak pada rasa takutnya terlebih dahulu, sehingga belum memiliki kemauan untuk mencoba mengerjakannya. Lewat penilaian tersebut, guru tak hanya dapat mengamati proses bernalar atau berlogika, namun menganalisis daya juang, niat atau kemauan siswa dalam mencoba meski berpotensi menghasilkan jawaban yang kurang tepat.
“Misalnya tadi nggak teliti, salah hitung penjumlahan, nah dia mau coba lagi nggak, trus misal angkanya sih kecil, tapi banyak yang harus dihitung, anak itu mau coba isi dulu nggak, atau soalnya langsung dilewat dan nggak dijawab sama sekali,” Astrid menjabarkan. Banyak aspek psikologis seperti resiliensi, ketangguhan, motivasi untuk mencoba yang didapatkan dari pelajaran matematika.
“Kebanyakan guru mat itu karakternya orang yang perfect, detail, tapi coba sebagai guru kita mulai belajar kalo yang kita ajarkan itu siswa, butuh banyak belajar, latihan, jangan menilai dari sisi kita yang harus sempurna. Kita tidak bisa langsung otomatis transfer ilmu, tapi tantangan kita gimana membuat ilmu itu agar anak-anaknya mengerti,” pungkas Desy.
Sebagai seorang guru, menurut Desy harus tetap bersemangat, walaupun banyak siswa yang masih menilai matematika itu ilmu yang sulit dan mematikan. Seorang guru perlu siap beradaptasi dengan kepribadian dan pembawaan diri yang menyenangkan dalam mendidik siswa.
Astrid pun sepakat dengan pernyataan Desy, karena anak akan menciptakan asosiasi antara mata pelajaran dengan pembawaan sang guru. Jika materinya adalah materi yang dianggap menyeramkan, namun guru memiliki keterampilan dan kemampuan pembawaan diri yang menyenangkan, maka siswa pun akan memiliki asosiasi yang baik, yaitu termotivasi untuk belajar.
“Pesan saya kalo kita guru harus coba ambil hati anak-anak dulu, dekat sama mereka, lihat mereka dari sisi kelebihannya juga, baru kita bisa beri ilmu yang kita punya ke mereka,” tutup Desy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H