Mohon tunggu...
Patricia AstridNadia
Patricia AstridNadia Mohon Tunggu... Lainnya - Public speaker, teacher, trainer, psychology, education, content and copy writer

Seorang public speaker di bidang ilmu psikologi, komunikasi dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Psikolog: Cegah Kasus Bunuh Diri dengan Miliki Resiliensi (Daya Lenting)

6 Februari 2019   18:17 Diperbarui: 6 Februari 2019   18:18 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dunia sempat dihebohkan dengan meninggalnya desainer ternama Kate Spade pada Selasa 5 Juni 2018 akibat bunuh diri. Kemudian kasus bunuh diri kembali ditemukan pada Anthony Bourdain, seorang chef selebriti, penulis dan pembawa acara asal Amerika Serikat. Ia meninggal pada 8 Juni 2018.
Bahkan sebelum itu, sederet nama artis Korea seperti JongHyun, Cho Geum Sam, Kim Sung Min juga diketahui meninggal karena bunuh diri.  

Masyarakat kerap hanya tahu bahwa kehidupan sebagai artis, tokoh terkenal, public figure, orang dengan ekonomi yang terbilang mapan atau kaya itu serba enak. Seperti dekat dengan kemewahan dan kenyamanan. Nyatanya wajah penuh senyum, kebahagiaan yang dipancarkan di muka publik hanyalah topeng yang tengah  dipakai. Keadaan tertekan, stress, dll kerap dipendam dan disembunyikan sendiri akibat kurang mampu mengolah kondisi psikologis dengan baik sehingga merasa diri tidak berguna.

Tekanan yang tinggi memang berpotensi siapapun ingin melakukan hal-hal instan untuk menyelesaikan masalahnya. Nah, bagaimana caranya agar setiap orang tidak melakukan tindakan-tindakan yang justru menyakiti diri sendiri.

"Seseorang harus punya resiliensi atau daya lenting yang baik. Kita juga nggak bisa judge orang ,yang mau bunuh diri," kata Debora Basaria, psikolog klinis remaja dari Libera Insani, sekaligus dosen psikologi klinis dan komunikasi di Universitas Tarumangara.

Resiliensi dikenal sebagai daya lenting. Istilah psikologi ini dicetuskan pertama kali oleh Grotberg. Menurutnya, orang dengan resiliensi yang baik umumnya mampu bangkit lagi sekalipun sudah terpuruk, jatuh dalam kondisi paling parah. Biasanya kondisi terpuruk beragam seperti diceraikan oleh pasangan, konflik keluarga yang berat, jatuh dalam kondisi ekonomi parah, tekanan eksternal yang tinggi, bullying, trauma berkepanjangan, hingga berujung pada depresi, dll.

Sebenarnya setiap orang, tidak hanya dalam golongan artis saja pernah berada dalam kondisi terparah atau terburuk dalam hidup mereka. Namun hebatnya sosok yang daya lentingnya kuat punya kemampuan hebat untuk beradaptasi dengan situasi yang penuh tekanan. Tentunya perlu proses bagi seseorang untuk menerima kondisi terburuknya. 

Debora mengungkapkan bahwa hal yang wajar jika seseorang sedih, marah, menyalahkan dirinya saat mengalami situasi tertekan. Itu adalah proses. Hal yang tidak baik ketika sejumlah hal negatif itu terjadi berlarut-larut dan mengakibatkan seseorang tidak lagi berfungsi secara positif dan produktif.

Debora dalam pemaparannya menjelaskan bahwa resiliensi tidak terbentuk dengan sendirinya. Resiliensi memang bisa dikatakan sebagai trait yang dimiliki setiap orang. Hanya saja kadarnya berbeda. Umumnya yang memiliki resiliensi rendah akan rentan mengalami stress. Dalam hal ini stress yang dimaksud ialah ketidakmampuan seseorang mengatasi tekanan yang diberikan. "Tentu soal resiliensi ini tidak lepas dari dukungan sosial juga," ujar Debora.

Dukungan ini bisa dari keluarga, teman dekat, pihak management yang suportif, dll," papar Debora. Ia juga menuturkan bahwa hal ini akan menguatkan daya lenting seseorang, sebab mereka merasa memiliki teman diskusi yang turut menopangnya. Teori resiliensi dari Grotberg menyatakan bahwa ada tiga kriteria individu dikatakan resiliens, yakni memenuhi I have, I am, dan I can.

Dukungan sosial yang telah dijelaskan oleh Debora sebelumnya, masuk dalam kategori I have. Sementara itu, I am dapat dicontohkan seperti sosok artis, public figure atau individu siapa pun mengenali dirinya, termasuk masalah yang dimiliki dan memiliki pandangan positif tentang dirinya sendiri. 

Sedangkan I can mengacu pada kemampuan seseorang dalam mengomunikasikan permasalahan yang dimiliki dan mampu mengambil langkah untuk pemecahan masalah yang sehat.

"Individu yang punya kriteria seperti itu cenderung punya resiliensi yang baik," kata Debora. Psikolog klinis ini menilai bahwa memiliki resiliensi tinggi memang penting karena berpotensi bagi seseorang untuk mencapai yang namanya well being alias kebahagiaan. 

"Karena pada kebanyakan kasus yang terjadi adalah orang yang mau bunuh diri tidak well being," ujar Debora prihatin. Maka, ia menegaskan kembali bahwa setiap orang sangat perlu memilki kemampuan resiliensi dalam menghadapi perubahan yang sangat cepat, penuh tekanan dan tuntutan yang banyak dan tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun