Mohon tunggu...
Simon Morin
Simon Morin Mohon Tunggu... Freelancer - Politisi Indonesia dari Papua

Mantan Anggota DPR-RI (1992 - 2009) Mantan Anggota DPRD Province Irian Jaya (1982 - 1992) Mantan Pegawai negeri sipil daerah Irian jaya (1974 - 2004)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menerka "Win-win Solution" yang Diinginkan Pemerintah, Freeport, dan Papua

3 Agustus 2018   15:09 Diperbarui: 3 Agustus 2018   15:22 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti diberitakan media massa, penandatanganan Heads of Agreement (HoA) antara CEO Freeport Mc-Moran Richard C. Adkerson dan Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Budi Gunadi Sadikin, yang mewakili Gabungan BUMN pertambangan, telah dilaksanakan pada Kamis 12 Juli 2018.  

Penandatanganan HoA tersebut disaksikan oleh Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Ignasius Jonan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri BUMN Rini Sumarsono serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. 

Kehadiran para menteri ini menandakan bahwa Inalum tidak mewakili dirinya sendiri tetapi merupakan representasi Pemerintah Indonesia dalam proses penguasaan 51% saham Freeport yang selama ini 90% sahamnya dikuasai Freeport Mc-Moran. 

Meskipun HoA bukanlah suatu kontrak yang final, tetapi paling tidak merupakan indikasi awal dari kemajuan suatu perundingan yang cukup alot oleh para pihak yang mewakili kepentingan masing-masing. Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Ignasius Jonan mengibaratkan HoA ini sebagai pertunanganan yang akan berlanjut dengan perkawinan.

Diberitakan bahwa dalam HoA ini, telah disepakati struktur organisi, harga divestasi 51% saham sebesar 3,85 miliar dolar AS serta komitmen para pihak untuk melanjutkan perundingan.  Dengan demikian para pihak akan memasuki tahapan perundingan yang lebih mendetil dan lebih alot yang sering  dijuluki "setan ada di detil (the devil is in detail)."  

Mass media nasional baik cetak, elektronik maupun on line telah secara meluas meliput peristiwa ini dan memuat berbagai pendapat dari para pakar, pengamat dan politisi, baik yang mendukung maupun yang belum sepakat.

Bagi yang mendukung kesepakatan tersebut dipandang sebagai suatu kemenangan bangsa Indonesia menuju penguasaaan 51% saham Freeport dan dipersepsikan sebagai keberhasilan Pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam meraih kembali kedaulatan bangsa dan negara atas penguasaan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat.

Namun demikian ada juga pihak-pihak yang masih mempertanyakan apakah harga atau valuasi yang disepakati dalam HoA sudah wajar ataukah overvalued. Bahkan ada pendapat yang menghendaki agar tidak perlu terburu-buru menguasai 51% saham freeport sekarang. Biarlah sabar menunggu sampai tahun 2021, yaitu saat  Kontrak Karya Freeport berakhir dan Indonesia dengan sendirinya akan menguasai seluruh tambang itu. 

Mereka yang berpendapat demikian lupa bahwa dalam Kontrak Karya II memuat ketentuan yang memungkinkan Freeport memperpanjang kotrak sampai tahun 2041 dan tidak dapat dibatalkan tanpa alasan yang kuat.

Penulis tidak ingin masuk ke dalam perdebatan tersebut tetapi akan lebih fokus kepada pandangan penulis tentang win-win solution apa yang mestinya dicapai untuk kepentingan Pemerintah/negara, kepentingan Freeport serta kepentingan rakyat Papua yang oleh Pemerintah selalu disebut-sebut sebagai pihak yang harus diuntungkan dalam kontrak baru tersebut.

Pertama, win-win solution untuk kepentingan pemerintah/negara. Dari berbagai pernyataan pejabat pemerintah yang berwewenang dapat disimpulkan bahwa apa yang menjadi kepentingan pemerintah/negara menyangkut penguasaan saham 51% demi penegakan amanat Konstitusi dan mengembalikan kedaulatan negara atas pengelolaan sumber daya alam sudah disepakati.

Keberhasilan ini akan menjadi modus operandi dalam mendesign kebijakan negara kedepan untuk menguasai dan mengelola sumber daya alam menerapkan model kerja-sama pemerintah dengan pihak swasta asing. Penguasaan mayoritas saham akan berdampak terhadap penerimaan negara dari pajak dan non pajak yang semakin meningkat.

Pemerintah juga menghendaki pembangunan smelter oleh Freeport untuk menunjang pengembangan industri nasional dalam kurun waktu lima tahun ke depan dan sudah disepakati dengan catatan perpanjangfan kontrak sampai 2041. Inalum sebagai pihak yang mewakili pemerintah, juga berkeinginan ikut terlibat dalam management yang akan dibahas secara mendetail.

Singkatnya kepentingan pemerintah mencakup manfaat ekonomi dan finansial serta keuntungan politik yang terkait dengan kedaulatan negara atas sumber daya alam dan tercatat sebagai keberhasilan Presiden Joko Widodo dan pemerintahannya nampaknya sudah akan tercapai.  

Kedua, win-win solution untuk kepentingan Freeport. Kepentingan Freeport sebagai corporate, adalah agar investasinya yang akan mencapai 20 miliar dolar AS. aman dan menghasilkan keuntungan. Untuk itu, Freeport tentu menghendaki adanya kepastian perpanjangan kontrak sampai tahun 2041 karena investasi sebesar itu baru akan menghasilkan keuntungan setelah tahun 2031.

Kepastian ini sangat penting karena kita sulit memprediksi apa yang akan terjadi pada Pemilu 2019, Pemilu 2024, Pemilu 2029 serta pemilu-pemilu berikutnya sampai tahun berakhirnya kontrak, yaitu 2041. Perusahaan tambang dengan investasi yang besar dan berjangka panjang membutuhkan kepastian hukum dan kepastian berusaha sehingga siapapun pemerintahnya, dijamin tidak terjadi perobahan kebijaksanaan.

Keamanan dan kepastian dalam berinvestasi  juga menghendaki sistim perpajakan yang nailed down dalam arti tidak fluktuatif akibat berbagai kebijakan perpajakan di masa depan. Dengan sistim yang nailed down akan memungkin kalkulasi investasi dan biaya operasional dilakukan dengan lebih akurat.

Demikian juga mengenai pembangunan Smelter yang nilai invesasinya sekitar 2,3 miliar dolar AS, mungkin harus dibiayai bersama oleh Pemerintah dan Freeport sehingga tidak memberatkan satu pihak dan ada proses pembelajaran bagi Inalum sendiri sehingga bila pemerintah akan membangun smelter serupa di masa depan sudah memiliki pengalaman.

Hal lain yang sangat penting bagi Freeport dan tidak terpisahkan dari keamanan investasinya adalah wewenang yang lebih besar untuk mengelola seluruh operasi sehingga memastikan keberhasilan usahanya serta memberi keuntungan bagi para share holders termasuk Pemerintah kita yang menjadi pemegang saham mayoritas.

Semua pihak juga sudah tahu bahwa tambang bawah tanah Freeport memiliki tingkat kerumitan dan kompleksitas yang tinggi termasuk karakter alam dan perobahan cuaca yang kadang-kadang ekstrim, membutuhkan suatu sistim management operasi yang profesional, aman, berpengalaman serta bekerja dengan disiplin tinggi around the clock. Apalagi dunia kita sekarang ini dengan kemajuan teknologinya yang luar biasa, membuat manusia tidak mungkin menguasai semua hal dan membutuhkan kerjasama dengan pihak lain.

Tambang  Freeport yang ketika memulainya disebut sesuatu yang impossible dan hanya orang gila saja yang mau melakukkannya, membutuhkan management yang memahami kerumitan dan carut-marutnya serta mampu mengelolanya. Demi memastikan keberhasilan pengoperasian tambang, penulis yakin Freport akan menghendaki wewenang lebih dalam mengelola seluruh operasi.

Ini bukan soal egonya Freeport atau tidak nasionalisnya kita, tetapi demi keberhasilan tambang tersebut dan juga demi berhasilnya kebijakan pemerintah kita dalam kerjasama pengelolaan SDA yang baru akan dimulai atau diujicobakan dengan Freeport.  Agar langkah pertama kita dalam kebijakan penguasaan 51% saham dari suatu perusahaan asing oleh pemerintah berhasil, kita butuh cara berpikir yang rasional dan bukan emosional. 

Dengan berjalannya waktu kita pasti akan belajar untuk menguasai hal-hal yang perlu kita kuasai demi menjalankan tambang serumit freeport di masa depan. Dalam tulisan sebelumnya penulis menjuluki Freeport sebagai Sekolah Tambang mineral paling lengkap dan paling moderen di satu lokasi.

Apapun bisa dipelajari, mulai dari teknologi pertambangannya, pengolahan hasilnya,  pengolahan limbahnya, pemasaran hasilnya, pengelolaan keuangannya, program sosialnya dan lain-lain aspek yang terkait dengan suatu entitas perusahaan tambang moderen. Dibutuhkan kesabaran dari Inalum untuk mau belajar.

Ketiga, win-win solution untuk kepentingan Papua dan khususnya dua suku yang berada di kawasan pertambangan serta masyarakat Papua secara keseluruhan. Melalui media massa kita mengetahui bahwa Pemda Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika kebagian jatah 10% saham. Meskipun demikian Papua jangan bersorak-sorak dulu, karena kepemilikan saham 10% itu bukanlah hadiah tetapi harus dibayar kembali kepada Inalum sehingga untuk sementara waktu saham 10% itu akan dipegang oleh Inalum.

Harian Bisnis Indonesia dan Harian Kontan, Rabu 15 Juli 2018, memberitakan bahwa Pemda Papua akan berutang kepada Inalum US$ 856 Juta atau sama dengan Rp 12,4 triliun dengan assumsi kurs Rp14.500/1US$ dan akan dicicil dengan dividen yang diperolehnya entah untuk berapa lama. Bila pencaplokan 51% saham Freeport harus "menguntungkan Papua" seperti retorika Pemerintah selama perundingan berlangsung, maka selain memeroleh saham 10%, mestinya Pemda dan masyarakat Papua juga mendapat jatah 10% pajak nasional yang dipungut dari Freeport.

Ini mungkin lebih menguntungkan Papua dari pada saham 10% karena tiap tahun pasti ada uangnya dan besarannya tidak tergantung dari naik-turunnya keuntungan perusahaan. Dengan bagian pajak sebesar 10%, akan memungkin Pemda Papua mencicil saham 10%-nya dan sebagian lagi  dapat dimanfaatkan untuk pembangunan Papua yang selama ini dikategorikan sebagai provinsi termiskin di Indonesia.

Sedangkan hasil dividen dapat dimanfaatkan untuk memajukan dua suku pemilik hak ulayat tempat Freeport beroperasi. Inilah makna dan raison de`etre dibalik penguasaan Freeport oleh negara demi "menguntungkan Papua." Win-win solution lainnya untuk Papua adalah masalah kesempatan kerja bagi Orang Asli Papua yang selama ini menjadi komitmen Freeport Mc-Moran sejak awal beroperasinya di Papua.

Demikian juga kesempatan berusaha bagi pengusaha lokal yang perlu dishare oleh kontraktor dan vendors dari luar Papua demi menciptakan kemakmuran dan keadilan sosial di Papua sebagaimana sudah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dengan kebijakan harga bahan bakar yang disamakan untuk seluruh Indonesia.

Kita harapkan Inalum dan Pemerintah lebih terbuka membicarakan hal-hal ini dengan Pemerintah Daerah dan masyarakat Papua, baik menyangkut proses kepemilikan saham dan manfaatnya maupun bagian pajak yang mestinya diberikan untuk Papua di luar royalty sehingga ada manfaat yang lebih besar setelah penguasaan mayoritas saham Freeport oleh Pemerintah kita.

Kebijakan keberpihakan kepada Papua dan rakyatnya adalah agar rakyat Papua terhindar dari "kutukan sumber daya alam" yang ketika akan habis terkuras pada tahun 2041 dan semua pihak yang berpesta akan pergi, jangan sampai yang ditinggalkan adalah kemiskinan dan keterbelakangan. Kita berlomba dengan waktu duapuluh tahun kedepan untuk membangun Papua ke arah yang lebih sustainable demi mencapai kemandirian dengan memanfaatkan hasil penerimaan dari sumber daya alam yang dihasilkan dari perut buminya.

Kita yakin Pemerintahan Presiden Joko Widodo tetap memerhatikan Papua seperti yang selama ini ditunjukkan dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang menguntungkan Papua. Semoga para pembantunya pun menangkap komitmen pemimpinnya dan menuangkannya dalam kebijaksanaan pengelolaan SDA yang lebih menguntungkan Papua. 

Jakarta, 30 Juli 2018.

Simon Patrice Morin

Mantan Anggota DPR-RI wakil Papua,

Periode 1992 -- 2009 (17 tahun).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun