50 TAHUN FREEPORT DI PAPUA:
suatu refleksi singkat
Tanggal 7 April 2017, Freeport akan merayakan 50 tahun kehadirannya di Tanah Papua, Indonesia. Perusahaan asal Amerika Serikat ini merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing pertama di Indonesia pada awal era Orde Baru berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Melalui undang-undang tersebut Pemerintah Orde Baru membuka pintu bagi masuknya modal asing ke Indonesia yang pada saat itu sangat dibutuhkan untuk mendukung pembangunan nasional Indonesia.
Memahami karakteristik investasi di bidang pertambangan yang padat modal dan berjangka panjang, maka untuk membuat para investor merasa nyaman dan tertarik berinvestasi di Indonesia, pemerintah Orde Baru menerapkan pola kerjasama yang dikenal dengan Kontrak Karya, di mana perusahaan secara langsung melakukan kontrak dengan pemerintah/negara sebagai bentuk jaminan kepastian hukum dan kepastian berusaha jangka panjang. Pemerintah juga memberikan insentif lainnya seperti tax holiday dalam kurun waktu tertentu agar para investor tertarik untuk berinvestasi di wilayah-wilayah yang minim infrastuktur dan terpencil tetapi kaya akan sumber daya alam.
Mengapa Freeport memilih berinvestasi di Papua
PT Freeport Indonesia memilih berinvestasi di Irian Jaya (Papua-sekarang), khususnya di kawasan pegunungan tengah Papua yang berdempetan dengan Puncak Cartensz (Puncak Jaya–sekarang). Kawasan ini dipilih berdasarkan hasil expedisi Dr. Colijn pada tahun 1936 yang memuat laporan penemuan Ertsberg (Gunung Bijih) oleh Jean Jaques Dozy, seorang geolog perminyakan Belanda, dan salah satu anggota tim ekspedisi Dr.Colijn. Dozy menguraikan dalam laporan tersebut hasil temuannya di Ertsberg yang memiliki potensi kandungan mineral tembaga dan emas sebagaimana nampak secara kasat mata pada tebing-tebingnya yang berwarna hijau dan biru. Pada saat melihat Ertsberg Dozy mengatakan,”Saya menyadari tidak banyak yang dapat dilakukan orang karena tidak ada jalan, tidak ada pelabuhan dan juga tidak ada pabrik. Ertsberg bagaikan gunung emas di bulan.” Laporan tersebut sempat dipublikasikan oleh Universitas Leiden pada musim panas tahun 1939 sebelum tentara Jerman menyerbu dan menduduki Belanda pada awal Perang Dunia II.
Beberapa copy dari laporan itu tersimpan di beberapa perpustakaan dan seakan terlupakan sampai tahun 1959 ketika Jan van Gruisen pimpinan Perusahaan tambang Belanda, Oost Borneo Maatshappij NV (OBM) yang mengoperasikan tambang batubara dan nikel di Kalimantan dan Sulawesi tertarik untuk melakukan studi kepustakaan guna mendapatkan informasi tentang hasil penyelidikan sebelumnya menyangkut potensi deposit mineral di Tanah Papua khususnya deposit nikel. Dari studi kepustakaan inilah ditemukan kembali laporan Jean Jaques Dozy tentang Grasberg yang sempat terlupakan selama kurang lebih 23 tahun. Sebenarnya van Gruisen tidak tertarik dengan laporan Dozy, tetapi karena biaya untuk memperoleh konsesi dari Pemerintah Belanda tidak mahal, maka van Gruisen mengajukan permohonan konsesi untuk OBM seluas sepuluh kali sepuluh kilometer persegi, tepat di tengah-tengah Ertsberg yang dipetakan Dozy.
Ternyata OBM tidak memiliki dana cukup untuk melakukan eksplorasi maupun eksploitasi. Untunglah beberapa minggu setelah laporan Dozy ditemukan, sahabat lamanya Forbes Wilson, seorang geolog tambang dari Amerika Serikat yang bekerja pada perusahaan Freeport sedang berada di Eropa dalam rangka perjalanan bisnis dan menyempatkan waktu mengujungi sahabatnya Jan van Gruisen di Belanda. Persahabatan kedua geolog ini memang sudah lama terbangun sewaktu Wilson Forbes membantu van Gruisen dalam kegiatan eksplorasi Oost Borneo Maatschappij NV di Sulawesi untuk mengetahui potensi deposit nickel di wilayah itu.
Dalam pertemuan tersebut van Gruisen menunjukkan beberapa halaman dari laporan Jean Jaques Dozy kepada Forbes Wilson dan meminta pendapatnya. Forbes langsung meresponse karena sebagai seorang geolog mineral, temuan Dozy sangat meyakinkan dirinya. Bahkan dalam bukunya “The Conquest of Copper Mountain” ia mengatakan, “bulu kudukku berdiri” karena begitu terkesan dengan kedahsyatan potensi tambang itu. Tanpa membuang waktu Wilson langsung menemui Dozy di Den Haag. Geolog Belanda ini meyakinkannya bahwa terdapat deposit tembaga dalam jumlah besar dengan kadar tinggi terhampar di permukaan di tengah rimba New Guinea (Papua sekarang).
Ekspedisi Wison Forbes menemukan kembali Grasberg
Setelah memperoleh penjelasan Dozy, Wilson bertekad“menemukan kembali Ertsberg walau harus mengorbankan nyawa sekali pun”dan segera mengirim telegram ke kantor Freeport di New York mengabarkan penemuan tersebut dan ia diberi dukungan dan wewenang menggunakan dana US$ 120,000,- (nilai sekarang diperkirakan sekitar US$ 1 juta lebih) untuk mengevaluasi dan mengambil sample batuan yang mengandung deposit di Ertsberg. Forbes Wilson bersama van Gruisen menandatangi suatu kontrak kerja-sama pada tanggal 1 Februari 1960 dan merencanakan bersama ekspedisi untuk menemukan kembali Ertsberg dan menguji kandungan deposit mineral tembaga yang terkandung di dalamnya. Seluruh proses persiapan sampai perlaksanaan ekspedisi berlangsung selama kurang lebih enam bulan untuk merekrut personnel ekspedisi dan merampungkan pengiriman logistik serta peralatan utama ekspedisi ke Biak (Papua) dan juga ke Kokonau dari Sorong. Forbes Wlison dan sahabatnya Jan Bouwenkamp, seorang engineer pertambangan Freeport, meninggalkan New York pada tanggal 15 April via San Frasisco – Tokyo dan tiba di Biak pada tanggal 21 April untuk memulai ekspedisinya. Wilson dalam bukunya melukiskan betapa berat tantangan alam yang dihadapi timnya untuk menemukakan kembali Ertsberg. Dia memilih rute dari pantai selatan Papua yang sekarang sudah menjadi Kabupaten Mimika. Rute tersebut pernah ditempuh ekspedisi-ekspedisi sebelumnya yaitu ekspedisi A.F.R. Wollaston pada tahun 1912 yang gagal mencapai Cartens dan rute ekspedisi DR. Colijn-Dozy pada tahun 1936 yang mengantarnya menemukan Ertsberg dan sekaligus menaklukkan puncak Carstenz.
Ekspedisi Forbes Wilson dan timnya ke Ertsberg berlangsung kurang lebih satu setengah bulan dengan menelusuri aliran sungai yang deras dan penuh risiko terseret arus, memanjat tebing-tebing yang tinggi dan terjal dengan risiko tergelincir dan jatuh ke jurang yang sangat dalam, melintasi hutan yang penuh lintah darat serta ancaman berbagai penyakit tropis seperti malaria. Ternyata tantangan ekspedisi di Tanah Papua lebih sulit dan lebih berat bila dibandingkan dengan medan-medan yang pernah dijelajahi Wilson di Amerika Selatan.
Ia bahkan hampir putus asa untuk meneruskan ekspedisinya walaupun pernah bertekad mengorbankan nyawa guna menemukan kembali Ertsberg. Berkat tekadnya yang terus membaja Wilson dan timnya tidak mengenal menyerah, dan akhirnya pada hari Kamis 16 Juni 1960, ekspedisinya berhasil menemukan kembali Ertsberg dan mengambil sample batuan yang diperlukan. Patut di catat bahwa keberhasilan ekspedisi ini tidak dapat dipisahkan dari peran kunci Moses Kilangin, seorang penduduk asli Papua suku Amungme yang direkomendasikan oleh Pater Koot di Kokonau untuk menjadi pemandu, juru bahasa dan juru runding dengan masyarakat setempat untuk bersedia menjadi pemikul barang dalam membantu memperlancar keberhasilan ekspedisi. Atas jasa-jasanya menyukseskan ekpedisi Wilson Forbes, Freeport menghargainya dengan mengabadikan namanya pada bandara yang dibangun untuk kepentingan operasional perusahaan di Timika yaitu Bandar Udara Moses Kilangin.
Setelah ekspedisi Forbes Wilson berhasil menemukan kembali Grasberg dan memastikan deposit tembaga yang terkandung di dalamnya, Freeport masih harus menunggu tujuh tahun lagi untuk masuk ke Indonesia karena terjadi perkembangan politik yang kurang menguntung, baik di Cuba dimana Freeport sudah berinvestasi maupun di Papua yang status politiknya sedang dipersengketakan antara Indonesia dan Belanda. Pada tanggal 1 Mei 1963 melalui perantaraan Perserikatan Bangsa Bangsa Papua diserahkan kembali oleh Belanda kepada Indonesia sebagai bekas wilayah Hindia Belanda. Sementara itu pada tahun-tahun berikutnya Indonesia mengalami pergolakan politik internal antara kekuatan komunis dan nasionalis yang akhirnya melahirkan pergantian rezim pada tahun 1966. Freeport baru boleh masuk ke Indonesia pada tahun 1967, setelah pemerintahan yang baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto membuka pintu lebar-lebar untuk masuknya penanaman modal asing termasuk Freeport.
Membuka jalan ke lokasi tambang
Usaha pertama yang dilakukan setelah mendapat izin beroperasi adalah membuka jalan ke Grasberg dari dataran rendah ke dataran tinggi sepanjang kurang lebih 100 Km yang terus menanjak dari elevasi kurang lebih 5 meter sampai mencapai ketinggian 4300 meter di atas permukaan laut. Kegiatan tersebut merupakan suatu upaya raksasa yang hanya bisa berhasil berkat dukungan teknologi moderen seperti alat transportasi udara seperti helicopter dan dukungan sumber daya manusia yang tangguh dan tak kenal menyerah. Bagi mereka yang sudah pernah melewati jalan darat yang dibangun di punggung bukit-bukit batu yang terjal dan yang kiri-kanannya diapit oleh jurang-jurang yang dalam ke kota tambang Tembagapura masih bisa menyaksikan kedahsyatan tantangan alam yang harus ditaklukkan 50 tahun yang silam. Jalan tersebut setiap hari harus terus dirawat agar tidak longsor akibat curah hujan yang tinggi.
Kini dalam memasuki perayaan tahun emasnya, Freeport telah berkembang menjadi salah satu tambang tembaga dan emas terbesar di dunia yang terletak pada ketinggian sekitar 4000 meter di atas permukaan laut dan sedang mengembangkan sebuah tambang bawah tanah yang termoderen dan terbesar di dunia pada kedalam sekitar 1800 meter di dalam perut bumi, suatu maha karya anak bangsa yang sejak memulainya dianggapolehbanyak orangsesuatuyang“impossible” dan hanya “orang gila” saja yang mau melakukannya.
Memang sejarah panjang perjuangan manusia menaklukkan tantangan alam Papua yang maha dahsyat bukanlah suatu kisah romantis yang indah. Seorang pejabat Pemerintah kolonial Belanda, Jan van Echoud, dalam bukunya “Vergeten Aarde” (Bumi yang dilupakan) mengibaratkan Papua sebagai sebuah negeri dengan misteri gelap yang tantangan alamnya maha dahsyat dan hanya para petualang dan pemberani saja yang tertarik untuk menjelajahinya.
Pemerintah kolonial Belanda sendiri meskipun mengklaimnya sebagai wilayah jajahannya, seakan tak memedulikannya dan bahkan melupakannya sama sekali karena mengaggap tak ada sesuatu yang menguntungkan baginya di wilayah itu bila dibandingkan dengan pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Maluku. Apalagi penduduknya dianggap “jahat dan kurang bersahabat.” Papua hanya menarik bagi manusia-manusia yang berjiwa petualang dan berkemauan baja untuk menaklukkan alamnya dan menyingkap misterinya yang gelap guna menemukan apa yang tersembunyi dibaliknya sebagaimana telah dibuktikan oleh Dozy dan Forbes Wilson dan timnya serta para penjelajah sebelumnya.
Tantangan-tantangan yang pernah dihadapi oleh Dozy maupun Forbes Wilson lebih dari setengah abad yang lalu sebagian sudah ditaklukkan dengan teknologi moderen namun sebagian masih tetap eksis sampai hari ini. Kondisi geografis yang bergunung-gunung, curah hujan yang tinggi, suhu udara yang berkisar antara 0 - 10 derajat Celcius, serta rawan terhadap bencana tanah longsor masih tetap merupakan tantangan-tantangan alam yang belum dapat ditaklukkan sepenuhnya. Para karyawan Freeport sejak awal sudah dibayang-bayangi ancaman keamanan dan keselamatan kerja khususnya yang bersumber dari tantangan alam tersebut.
Berkat dukungan teknologi mutakhir dan managemen berpengalaman, PTFI secara teknis berhasil mengendalikan tantangan alam tersebut dengan membangun infra-struktur pertambangan yang mampu mendukung kegiatan operasionalnya dan memperkecil risiko bahaya yang dihadapi sehingga dapat mempekerjakan ribuan tenaga kerja Indonesia dan khususnya orang asli Papua di tambang terbuka dan tambang bawah tanahnya, suatu tambang yang dijuluki “tambang di awan-awan” atau menurut istilahnya Dozy “tambang emas di bulan.”
Icon investasi asing pertama di Indonesia
Freeport adalah symbol atau icon investasi asing pertama di Indonesia dan khususnya di Tanah Papua di era Orde Baru yang sudah hadir di Indonesia selama setengah abad dan selalu mematuhi berberbagai Peraturan perundangan-undangan Pemerintah Indonesia yang mengatur usaha pertambangan. Sikap seperti ini merupakan refleksi dari rasa hormatnya kepada Pemerintah yang telah membuka pintu dan mengundangnya masuk ke Indonesia. Freeport ingin tetap menjadi contoh bagi investor-investor asing lainnya untuk tetap bertahan dan sekaligus menarik investor lainnya untuk berinvestasi di Indonesia.
Perusahaan ini tetap mempunyai keyakinan bahwa jerih payah yang dilakukan untuk berinvestasi di wilayah yang minim infrastruktur dan terpencil seperti Papua sejak lima puluh tahun yang lalu sehingga terbuka peluang dan kesempatan kerja bagi putera-puteri Indonesia termasuk putera-puteri orang asli Papua demi membangun kehidupan yang lebih layak dan manusiawi akan tetap mendapat dukungan Pemerintah dan dilindungi keberlanjutan investasinya.
Suka atau tidak suka adalah fakta bahwa lima puluh tahun yang lalu sampai hari ini, Freeport terus mempekerjakan ribuan putera bangsa termasuk ribuan putera Papua di tambang tersebut siang dan malam, dalam cuaca dan kondisi alam yang sangat ekstreem dan penuh tantangan. Mereka terus berjuang demi kemajuan bangsanya dan kesejahteraan keluarganya.
Freeport memang sebuah perusahaan “berbaju Amerika” tetapi isinya adalah “putera-putera bangsa Indonesia” yang terus bekerja menguasai teknologi pertambangan yang paling maju di dunia untuk kemudian diabdikan bagi kepentingan bangsanya di masa depan. Di perusahaan inilah sedang dipersiapkan para ahli tambang mineral berpengalaman dan menguasai teknologi pertambangan moderen, disiplin kerja yang tinggi, serta sistem management yang sangat maju dan teruji dalam menjalankan suatu tambang raksasa tingkat dunia. Dengan demikian maka apabila di kemudian hari akan ditemukan tambang-tambang lainnya seperti PTFI, sudah ada ahli-ahli tambang yang siap pakai. Jangan sampai ada kebijakan yang tidak memperhitungkan hal-hal seperti ini dan menyebabkan aset bangsa yang bernilai tinggi ini diabaikan begitu saja.
Semoga dalam merayakan ulang tahun emasnya, pemerintah dan PTFI segera menyelesaikan perbedaan-perbedaan pandangan yang ada demi menemukan suatu win-win solution agar tidak terjadi polemik yang berkepanjangan dan melelahkan.
Sekali lagi, Freeport adalah suatu maha karya putera bangsa yang sejak memulainya limapuluh tahun yang lalu dianggap impossible dan hanya “orang gila” saja yang mau melakukannya di sebuah wilayah “Terra incognita.”
Selamat merayakan 50 tahun PT Freeport Indonesia.
Penulis,
Simon Patrice Morin,
mantan anggota DPR-RI
Tinggal di Papua/Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H