Saya banyak menerima keluhan dan pengaduan dari adik-adik dan teman-teman residen tentang kekerasan yang mereka terima dalam pendidikan. Banyak yang tidak saya pedulikan karena toleransi dan ambang batas kesensitifan saya masih terlalu tinggi untuk hal itu. Pribadi saya pernah berada pada posisi yang sama, mulai dari residen junior sampai "chief" residen, melihat langsung pembullian oleh senior kepada junior. Saya sebetulnya ingin perbaikan didalam program pendidikan residen , tetapi sejauh itu tidak berakibat fatal saya lebih senang melalui perbaikan internal. Tetapi ambang batas tersebut menurun karena tangisan seorang peserta didik.
Ada yang salah dengan pendidikan dokter spesialis kita dalam konteks hubungan senior dan junior, penderitaan dan kesengsaraan dianggap hal yang wajar. Kekasaran dan kebengisan senior dianggap bagian cara mendidik junior sehingga lebih tahan menghadapi tekanan didunia nyata. Hal itu sering dimanfaatkan oleh residen senior sehingga pembullian yang mereka lakukan selalu ada pembenaran dan selalu ada alasan.
Hari ini saya menerima "screen capture" dari WA antara residen dalam salah satu bidang ilmu dan potongannya saya tuliskan, bukan dari FKUI/RSCM . Saya akhirnya terpaksa menyampaikan hal ini dalam bentuk tulisan di medsos. Basah mata saya membacanya. Generasi muda dokter calon spesialis memiliki bahasa yang sangat kasar dan memalukan. Kita seolah berada didalam kebun binatang. Mohon maaf" screen shoot" nya tidak akan saya lampirkan dan tidak akan saya sebarkan. Karena juga ikut memalukan saya sebagai pendidik. Ini hanya potongan kecil dari sebuah potongan besar ditangan saya.
“Anjxxx”
“Lo tugas jaga sampai hari minggu” “isi kamar jaga”
“Gw ga butuh dijilat, moxxxx”
“Xxxx, Anxxxx loe”
“Anjxxx anjxxx, balik kalian semua”
Sudah saatnya kita mengoreksi diri bersama-sama. Saya juga staf pengajar mulai dari S1, Profesi Dokter, Spesialis dan Subspesialis.
Selama proses pendidikan, saya belajar untuk menggunakan bahasa yang santun, karena saya ingin mereka juga menggunakan bahasa yang santun. Sesekali memang keluar ucapan yang sedikit keras, tetapi menggunakan kalimat Anjxxx, Moxxxx, Bxxx tidak pernah sama sekali.
Saya pribadi pernah dibully, bukan hanya oleh senior saja, tetapi oleh orang yang sebetulnya adalah pendidik saya. Hanya seorang, tetapi sangat mempengaruhi waktu, dan lama pendidikan saya. Bahkan mengancam kelangsungan pendidikan saya. Dan secara psikologis sangat mempengaruhi mental saya selama pendidikan, bukan hanya saya tetapi juga keluarga.
Selama pendidikan spesialisasi dahulu saya juga mengalami jaga tiap hari selama sebulan dan seorang teman saya yang menanyakan sampai kapan jaga tiap hari malahan ditambah jaganya selama 15 hari. itu diluar pengetahuan staf pengajar, atau pura-pura tidak tahu saya juga tidak tahu. Dibagian lain seorang peserta didik bisa menghabiskan uang banyak untuk membiayai makan makan seniornya selama 6 bulan pertama pendidikan.
Boleh saja kita berbantah-bantahan, tetapi ini adalah fakta yang harus kita akui, sehingga seorang sejawat saya berhenti pendidikan ( bukan dari spesialisasi saya) karena kehabisan uang.
Batas antara bully dengan disiplin memang susah. Yang melakukan akan berlindung dibalik pernyataan bahwa itu dilakukan untuk meningkatkan disiplin. Menyuruh junior untuk melakukan “push up” dilapangan bola karena terlambat bukanlah suatu pembullian tetapi lebih tepat memang penegakan disiplin. Tetapi menyuruh junior jaga terus menerus adalah aksi bullying, menyuruh junior membayarkan tiket pesawat adalah aksi bullying, menyuruh junior membawa mobil dan mengantarkan istri ke pasar adalah aksi bullying. Memaksa junior mengisi kulkas dan kamar jaga dengan makanan, adalah suatu bentu aksi bullying. memaksa junior membiayai makan senior jaga adalah aksi bullying.
Saatnya kita harus introspeksi sistem pendidikan kita, saatnya kita melihat kedalam. Saatnya kita bercermin, melihat muka sendiri, melihat bopeng sendiri, melihat borok sendiri.
Saya tahu hal ini kontroversial, tetapi kalau tidak kita buka, akan terus berjatuhan korban korban bullying bagi junior kita. Saatnya kita menghargai dokter-dokter yang ingin bersekolah dengan wajah ramah dan tangan terbuka. Kita hargai mereka sebagai sejawat yang ingin melanjutkan pendidikan.
Beban mereka yang melanjutkan pendidikan sudah sangat susah, sebagian besar mereka sudah berkeluarga, mereka tidak lagi bisa berpraktek diluar, mereka tidak lagi menerima gaji. Bayangkan kesusahan keluarga dan anak-anak mereka yang masih membutuhkan asupan makanan yang bergizi sementara tulang punggung keluarga tidak lagi produktif.
Jika kita tidak bisa membantu, janganlah menambah penderitaan mereka.
Jika kita tidak bisa memberi mereka uang, janganlah bertindak sebaliknya memaksa mereka membayar tiket pesawat, foto kopian buku.
Jika kita tidak bisa memberi mereka uang janganlah mengambil bekal dari dompet mereka yang tipis dan kumal.
Jika kita tidak bisa memberi suasana ruangan yang nyaman bagi mereka, janganlah memindahkan kebun binatang keruangan residen atau ruangan jaga.
Jika kita tidak bisa mengajak makan mereka di restoran mahal janganlah berlaku sebaliknya menyuruh mereka mengisi ruangan jaga dengan segala macam makanan.
Karena tidak mungkin pendidikan tanpa jaga atau dinas emergensi janganlah sebaliknya memaksa mereka jaga berturut turut selama seminggu bahkan sampai sebulan.
Jakarta, 4 Agustus 2016
Patrianef
Staf Pengajar di Program Pendidikan Dokter Umum, Spesialis dan Subspesialis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H