Mohon tunggu...
Patrianef Patrianef
Patrianef Patrianef Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Bedah di RS Pemerintah

Patrianef, seorang dokter spesialis bagi pasienku. Guru bagi murid muridku. Suami bagi istriku dan sangat berbahagia mendapat panggilan papa dari anak anaknya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Yang Terjadi Ketika Sarana & Prasarana Kesehatan di Pelosok Tidak Terpenuhi

8 Juni 2016   08:09 Diperbarui: 8 Juni 2016   19:24 2249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah Puskesmas yang terendam banjir di Kalimantan Timur. Sumber: kaltim.tribunnews.com

Dokter yang bertugas di pelayanan primer saat ini adalah merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan di republik ini. Masalah yang selalu muncul adalah pertanyaan tentang kualitas pelayanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)/Puskesmas, karena akan memengaruhi indikator pelayanan secara keseluruhan (nasional).

Banyak sebetulnya yang mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan di FKTP, mulai dari prasarana, sarana, peralatan kesehatan, kualitas SDM, pembiayaan kesehatan, pembiayaan dan kesejahteraan tenaga kesehatan.

Prasarana yang sangat memengaruhi kualitas pelayanan kesehatan adalah aksesibilitas lokasi pelayanan kesehatan. Pemerintah telah berbuat banyak dengan mendekatkan tempat pelayanan kesehatan sehingga berada langsung di tengah masyarakat. Di satu sisi ini ini jelas akan mempengaruhi pelayanan masyarakat yang berada langsung dekat Puskesmas. Tetapi republik ini dihukum oleh bentuk geografisnya yang tidak mengumpul, tetapi sangat menyebar dan terdistribusi. Bagi yang pernah bertugas di daerah sangat terpencil maupun terpencil akan paham kondisi ini.

Ada desa yang hanya memilki penduduk 500-an, tetapi dengan dusun-dusun yang sangat tersebar dan hanya dapat dijangkau dengan jalan kaki atau speed boat dan satu dusun hanya dihuni oleh sekitar 50-an penduduk. Kondisi-kondisi seperti ini sangat susah untuk diatasi dan tidak ada upaya yang dapat dilakukan oleh Puskesmas. Satu satunya usaha yang dapat dilakukan Puskesmas adalah mengatur jadwal kunjungan ke sana mungkin sekali 15 hari dan jika daerah seperti ini banyak, mungkin hanya sekali 1 bulan. Kenapa tidak dilakukan kunjungan sesering mungkin? Tidak bisa karena masing-masing petugas sudah mempunyai pekerjaan di Puskesmas masing-masing yang merupakan tugas rutin yang harus mereka lakukan.

Masalah lain pada prasarana adalah listrik. Banyak daerah terpencil yang masih belum memiliki listrik. Kalaupun ada listrik sering hanya mulai dari pukul 18.00 sore sampai 24.00 malam. Di luar itu masyarakat harus menggunakan cara lain. PLN tentu saja memikirkan efektivitas dan efisiensi dipandang dari sisi ekonomi. Tidak mungkin PLN mengadakan listrik hanya untuk sarana kesehatan. Persoalannya Puskesmas memerlukan listrik terus menerus untuk pelayanan kesehatan. Hal yang sederhana misalnya untuk mempertahankan vaksin tetap dingin sehingga tetap efektif, karena vaksin harus dipertahankan dalam suhu tertentu.

Dahulu sewaktu saya masih di Puskesmas disediakan kulkas yang menggunakan kompor sebagai sumber energinya. Persoalannya dalam jam dinas sumber apinya tetap dapat dikontrol, tetapi di luar jam dinas sumber apinya tidak dapat dikontrol. Jalan keluarnya tidak ada. Jika diketahui pada pagi harinya sumber apinya mati, maka petugas hanya menghidupkan lagi api dan disertai dengan doa mudah mudahan vaksin-vaksin dan obat obatan yang dalam kulkas masih tetap berfungsi. Ya hanya berdoa yang dapat dilakukan.

Persoalannya akan semakin berat jika apinya justru tidak mati, tetapi membesar, maka bisa bisa satu ruangan terbakar dan kulkasnya habis semua. Akan semakin berat jika api tidak cepat diketahui sehingga membesar cepat sekali dan bisa membakar RS. Dan itulah yang terjadi pada Puskesmas tempat penulis bertugas dahulu. Satu Puskesmas habis terbakar dalam waktu singkat dan hanya menyisakan puing-puing tanpa ada yang bisa diselamatkan.

Ada dahulu penelitian tentang penilaian efektivitas penyimpanan vaksin dalam batang pisang. Penelitian yang aneh dengan ide yang aneh. Tetapi ide yang aneh dan nyeleneh itu muncul akibat keterbatasan prasarana dan peralatan di Puskesmas. Hal yang membuat penelitian itu menjadi masuk akal. Tetapi tetap menjadi tidak masuk akal jika hal itu kita bawa ke ranah internasional, misalnya publikasi internasional. Karena mempertontonkan wajah dan potret kemiskinan kita.

Penambahan sarana kesehatan kita yakin sudah dilakukan oleh pihak Kementerian dan Pemerintah Daerah dengan mendirikan sarana kesehatan di tempat-tempat yang sulit dijangkau. Persoalannya memang tidak sederhana, karena mendirikan Puskesmas di daerah sulit pasti membutuhkan biaya yang besar. Kadang memang kalau dihitung nilai keekonomisannya tidak masuk akal. Sebuah Puskesmas didirikan hanya untuk melayani 1000-an masyarakat di suatu daerah sangat terpencil. Dan jika dihitung dan dibandingkan kontribusi yang akan diberikan dengan indikator keseluruhan jumlah penduduk di kabupaten tersebut katakanlah sekitar 200.000-an, maka kontribusi satu Puskesmas tersebut hanya 0,5 %. Jika diajukan oleh Dinkes ke Pemda, akan ada selalu yang memandang dari sisi makro sehingga akan susah mencari alasan untuk pembangunan sarana. Persoalannya ada banyak blank spot seperti ini, dan jika dijumlahi kumulatif maka pengaruhnya akan sangat signifikan.

Jika sarana diadakan, maka persoalannya tidak selesai. Kenapa? Karena sarana hanya satu titik. Sarana harus diisi dengan peralatan, SDM dan dibiayai. Penambahan satu sarana kesehatan akan diikuti oleh penambahan penambahan berikutnya. Pengadaan peralatan kadang justru jauh lebih besar dari pada pembiayaan pendirian sarana kesehatan. Investasi pada peralatan kesehatan adalah investasi yang berbiaya mahal.

Jika peralatan yang disediakan oleh Pemda dan Kementerian minimal maka dapat kita bayangkan apa yang bisa dilakukan oleh dokter Puskesmas. Mereka hanya bisa merujuk kasus kasus yang sebetulnya dapat dilakukan penanganan di puskesmas. Problem sebetulnya lebih banyak pada ketersediaan peralatan. Memang hal ini masih bisa diperdebatkan

Sumber Daya Manusia adalah bagian yang terberat dari pemanfaatan sarana kesehatan. Untuk level setingkat paramedis masalahnya sering dapat diatasi, adanya putra daerah yang sering bersedia mengabdi di sana. Tetapi pada level dokter sering bermasalah karena sering dokter yang bertugas memikirkan masa depannya, mereka pada saat bertugas sudah memikirkan akan kemana selesai bertugas. Begitu selesai masa tugas mereka, mereka berpikir akan pindah ke daerah yang lebih baik. Hal yang manusiawi dan wajar. Banyak mungkin yang tidak menyadari bahwa salah satu cara dan alasan bagi mereka untuk meninggalkan tempat tugas adalah mengajukan rencana melanjutkan pendidikan. Walaupun mereka tahu bahwa menjadi residen banyak susahnya dan menghabiskan uang yang susah payah mereka kumpulkan, tetapi minimal mereka kembali berada di kota dan setelah selesai pendidikan mempunyai daya tawar yang lebih bagus untuk penempatannya. Minimal di ibu kota kabupaten.

Tidak sederhana memang masalahnya. Saya yakin bahwa peningkatan ekonomi negara dan masyarakat akan membawa dampak kepada peningkatan kesehatan. Masalah yang seperti ini obatnya hanyalah peningkatan kemampuan negara membiayai pelayanan kesehatan. Tetapi peningkatan tersebut tentu harus disertai dengan peningkatan komitmen untuk pembiayaan kesehatan. Peningkatan anggaran kesehatan dari 5% APBN menjadi 20% APBN saya pikir adalah jalan keluar yang masuk akal dan akan sangat membantu. Di satu sisi sumber pendapatan negara yang diperoleh dengan merusak kesehatan masyarakat misalnya rokok dengan cara menarik cukai tembakau selayaknya dikembalikan ke sektor pembiayaan pelayanan kesehatan.

Kami hanya ingin menyampaikan bahwa banyak masalah di hilir dari sistem kesehatan yaitu di Puskesmas dan masalah itu bukan hanya masalah masalah kemampuan dan kompetensi sumber daya manusianya. Saya yakin bahwa peningkatan kemampuan SDM pasti akan mempunyai daya ungkit, tetapi daya ungkit tersebut tidak akan signifikan tanpa memperbaiki sisi lain dari masalah di hilir. Saya yakin kita semua mempunyai niat baik untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, tetapi memahami masalah masalah di hulu yang bukan hanya masalah sektor kesehatan juga diperlukan. Masalah ini bukan hanya soal kerjasama lintas sektoral, tetapi lebih kepada komitmen negara untuk memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan.

Kita tunggu niat baik dari DPR dan Pemerintah menaikkan pagu sektor kesehatan bukan hanya 5% dari APBN tetapi menjadi 15% dari APBN dan pengembalian cukai tembakau ke sektor Pelayanan Kesehatan. Sekedar informasi bahwa pembiayaan pelayanan kesehatan di sektor pengobatan sebagian besar dihabiskan untuk masalah jantung dan pembuluh darah dan salah satu faktor penyebabnya adalah rokok.

Jakarta, 8 Mei 2016.

Patrianef

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun