Mohon tunggu...
Patrianef Patrianef
Patrianef Patrianef Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Bedah di RS Pemerintah

Patrianef, seorang dokter spesialis bagi pasienku. Guru bagi murid muridku. Suami bagi istriku dan sangat berbahagia mendapat panggilan papa dari anak anaknya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Beginilah Nasib Dokter Residen

21 Mei 2016   13:25 Diperbarui: 25 Mei 2016   13:48 5515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di media sosial sedang banyak beredar berita tentang seorang dokter residen yang sedang koma saat bertugas di Bajawa NTT. Penulis ingin sedikit berbagi cerita tentang seorang dokter khususnya seorang residen.

Dalam pikiran banyak orang, dokter itu adalah orang yang mempunyai banyak kelebihan uang sehingga memiliki apa yang bagi sebagian besar orang merupakan keinginan yang harus dipendam jauh dalam-dalam. Ada benarnya, tetapi lebih banyak itu merupakan asumsi dan dugaan saja.

Dokter sebagaimana profesi lain juga mempunyai stratifikasi yang bagi sebagian besar orang tidak dipahami. Bagi sebagian besar orang, jika seseorang menggunakan jas putih, dia adalah seorang dokter. Persepsi seperti ini sering dimanfaatkan oleh toko toko dan apotik yang menjual produk-produk yang berhubungan dengan kesehatan dan kecantikan. Ada di antaranya yang menggunakan blazer bewarna putih sehingga sepintas orang mengira mereka adalah dokter. Persepsi yang tidak keliru karena menyangkutkan profesi dengan pakaian. Tetapi kadang-kadang disalahmanfaatkan

Pada kesempatan ini penulis membahas dokter residen. Dokter residen adalah seorang dokter yang sedang menjalani pendidikan untuk menjadi seorang dokter spesialis. Bahasa resminya kalau di Indonesia adalah Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis dan disingkat menjadi PPDS. Kalau di luar negeri dikenal dengan nama Resident atau Registrar, dua istilah yang agak sedikit berbeda tetapi konsepnya sama sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis.

Dalam pikiran orang-orang bahwa seorang residen tentu saja lebih tinggi dari seorang dokter umum. Tidak salah memang persepsi tersebut. Seorang dokter umum biasanya bekerja di Puskesmas, klinik, dan di rumah sakit yang relatif lebih rendah. Sementara seorang residen bekerja (menjalani pendidikan) di rumah sakit yang besar atau sangat besar. 

Dari sisi tempat saja jelas berbeda. Keluarga senang karena si dokter sudah pindah ke kota besar dari awalnya berada di pelosok desa bahkan ada yang sampai jalan kaki untuk mencapai puskesmas tempat tugasnya. Asumsi keluarga bahwa anaknya, menantunya, suaminya mulai lebih baik kondisinya dibandingkan pada waktu tugas didesa. Tentu saja disertai asumsi lain bahwa akan ada peningkatan rezeki bagi si dokter.

Inilah awal kekeliruan tersebut. Dari sisi tempat tugas si dokter jelas akan bertugas di rumah sakit besar, karena Pusat Pendidikan hanya ada di RS besar dan kota besar, sering sekali hanya ada di ibu kota provinsi . Tetapi dari sisi lain persepsi tersebut jelas salah.

Di Luar negeri, seorang residen dianggap bekerja di RS tempat dia bertugas dan akan digaji sesuai layaknya pendapatan seorang dokter. Mereka digaji oleh RS tempat mereka bertugas. Karena pada faktanya mereka memang bertugas di RS tersebut. Bekerja sambil belajar melebihi beban bagi mereka yang hanya bertugas. Di Malaysia seorang residen digaji sekitar Rp 20.000.000,-.

Di Indonesia seorang residen tidak dibayar (walaupun sudah ada UU 20 tahun 2013 yang menyatakan mereka mendapatkan insentif), mereka tidak mendapatkan jasa dari apa yang mereka kerjakan. Mereka bekerja dan dibayar hanya dengan “harapan”. Harapan akan menjadi spesialis sehingga bisa lebih memperbaiki kehidupan dirinya dan keluarga. Mereka merupakan tenaga kerja murah dan sangat menguntungkan bagi RS. Jika di RS tersebut ada residen, dokter spesialis di sana akan sangat terbantu dalam bekerja sehingga bisa lebih mempunyai waktu luang dibandingkan RS di mana tidak ada residen.

Sangat berat menjadi seorang residen karena mereka harus belajar sambil bekerja. Mereka tidak mempunyai waktu luang sehingga istri/suami dan anak-anak sering terabaikan. Di sinilah ujian pertama berawal, bagaimana meyakinkan pasangan hidup bahwa dia bekerja keras, belajar keras sehingga waktu dengan keluarga berkurang drastis sementara pendapatan merosot dibandingkan pada saat masih bertugas di puskesmas. 

Berangkat pagi dari rumah, dilanjutkan dengan tugas jaga sampai pagi, dilanjutkan dengan kegiatan rutin, dilanjutkan dengan membereskan pasien-pasien jaga yang masih belum beres. Dua hari berturut-turut di RS tanpa istirahat adalah hal yang biasa. Pulang dengan mata merah dan begitu sampai di rumah langsung mencari tempat tidur. Anak-anak yang masih kecil-kecil sudah menunggu orang tua dengan harapan dapat bermain dan bercengkerama bersama. Tetapi yang mereka temui hanyalah seorang ayah/ibu yang berwajah letih, kusut, dan langsung mencari tempat tidur.

Residen juga rentan untuk di-bully baik oleh seniornya maupun oleh petugas sekelilingnya. Bahkan mereka takut menghadapi seorang petugas yang mempunyai kedekatan dengan seorang konsulen. Takut yang tidak berdasar, tetapi harus mereka lakukan untuk berjaga jaga agar tidak timbul masalah dengan konsulennya. Dalam bekerja, ketakutan mereka sering mengalahkan rasionalitas karena memang mereka berada dalam lingkungan yang kadang kala irrasional. Bagi seorang residen selama bekerja, pemetaan situasi sekeliling adalah hal yang harus dan wajib mereka lakukan. Karena masalah sering muncul selama menjalani pendidikan dari faktor sekelilingnya yang tak bisa mereka duga.

Mereka bekerja keras dan dibayar dengan harapan. Harapan selesai menjalani pendidikan mereka kembali bertugas didaerah dan dapat membahagiakan keluarganya dengan memiliki sebuah rumah tempat berteduh dan berkumpul. Dapat memiliki sebuah mobil sederhana sehingga tidak kehujanan di jalan. Dapat memilki sedikit uang sehingga dapat membawa keluarganya berwisata. Harapan yang sangat manusiawi dan tidak aneh-aneh sebetulnya. 

Kembali kepada keluarga, mereka sering tidak mengetahui, apalagi jika berasal dari dunia yang sangat jauh berbeda, bukan dunia kesehatan maksudnya. Mereka heran kenapa menantu mereka justru tidak punya uang setelah kembali ke kota besar. Saudara-saudara yang tadi terbantu mulai terhenti bantuannya. Keluarga jauh yang terbantu heran kenapa sekarang tak ada bantuan sama sekali. Mertua heran, kenapa sekarang menantu bergantung semuanya kepada mereka. Bisa saja timbul kecurigaan dari istri. Jangan jangan suamiku kawin lagi, jangan-jangan dia membelikan rumah baru untuk istrinya yang baru, jangan-jangan dia kecapean karena baru pulang dari tempat istri mudanya. Hal yang sering terjadi seorang suami yang menjadi residen sering dipantau oleh istrinya di tempat tugas barunya. Agak berlebihan memang, tetapi itulah yang terjadi.

Banyak rumah sakit di daerah yang belum mempunyai spesialis sehingga salah satu jalan pintas bagi mereka adalah bekerja sama dengan Pusat Pendidikan Spesialisasi. Mereka mengadakan kerja sama sehingga Pusat Pendidikan terbantu karena peserta didik mereka dapat mempunyai pengalaman nyata bertugas di dunia yang bakal mereka hadapi nantinya. RS terbantu karena mempunyai “spesialis” yang mereka perlukan. Tetapi yang paling beruntung adalah residennya. Kenapa dia beruntung? 

RS yang memerlukan mereka akan memperlakukan mereka sebagai seorang spesialis walaupun tidak penuh. Mereka mendapatkan imbalan walaupun tidak penuh, karena sebagian imbalan jasa mengalir juga ke pusat pendidikan. Tetapi bagi residen inilah kesempatan yang mereka tunggu-tunggu karena mereka akan mendapatkan segelas air di tengah dahaga yang sangat dan berkepanjangan. Sedikit apa pun uang sangatlah berharga bagi mereka, karena di RS pendidikan mereka sering tidak mendapatkannya.

Sangat lama penderitaan seorang residen, sekitar 4 sampai lima tahun. Sering pada saat mereka selesai. Anak-anak mereka sudah selesai masa kanak-kanaknya. Anak-anak mereka sudah memiliki dunia sendiri dengan teman-teman mereka. Sambutan yang mereka jumpai pada waktu residen dengan berlari-lari mengejar orang tua yang sedang kecapean sudah menghilang. Justru pada saat mereka punya kesempatan bermain dengan anak-anaknya dan mengharapkan anak-anaknya berlari dan mengajak sang ayah atau ibu jala- jalan, pada saat itu anak-anaknya justru sudah tidak peduli.

Pada saat diajak, maka akan keluar pertanyaan anaknya, ”Memangnya kita mau ke mana." Anak-anak sibuk dengan dunia mereka sendiri. Gadget dan Wifi yang sekarang sudah dimiliki anak karena orang tuanya sudah mampu membelinya memperjauh jarak mereka dengan keluarganya.

Begitulah duka seorang residen. Fakta yang berbeda jauh dari persepsi. Lebih mudah melihat penderitaan seorang dokter residen dengan mata hati ketimbang mata ragawi. 

Lihatlah kerut wajah yang menggambarkan pederitaan di balik senyuman mereka. 

Lihat kelopak mata mereka yang berat di balik cahaya mata mereka yang berbinar melihat pasien mereka sembuh. Berat karena kekurangan tidur.

Perhatikanlah kegembiraan di wajah mereka saat bertemu pasien anak-anak, sedikit mengobati kerinduan dengan anak-anak mereka yang jarang mereka temui di rumah.

Perhatikanlah kegetiran di balik keceriaan wajahnya saat menghadiri pesta pernikahan temannya. Getir karena kesibukan menjadi residen belum sempat mencari pasangan hidup.

Lihatlah warna baju jas mereka yang kusam di balik kegagahan mereka memakai jas putih, jas snelly yang dicuci dengan menggunakan laundry kiloan dan murahan. 

Lihatlah sepatu mereka yang sudah habis telapak kakinya karena kecapean dibawa berlari-lari sepanjang koridor rumah sakit. Lihatlah warna sepatu mereka yang tak sempat disepuh dengan menggunakan semir karena buru-buru mengejar panggilan gawat darurat. 

Lihatlah kosmetik murahan dan asal asalan di wajah mereka karena tidak mampu membeli yang mahal.

Agak berlebihan kesannya, tetapi itulah faktanya. Itulah cerita tentang seorang dokter yang hanya dibayar dan digaji dengan harapan. Suatu fakta yang terjadi bumi Indonesia yang katanya kaya-raya. 

Tulisan ini didedikasikan untuk sejawat kami Residen Anestesi Peserta PPDS Anestesi FK UGM yang mengalami kecekaan lalu lintas saat bersepeda di “tempat tugas”-nya RS Bajawa NTT dan saat ini mengalami koma. Mudah-mudahan beliau dipulihkan kembali dan dapat memenuhi keinginan dirinya dan keluarga menjadi seorang dokter anestesiologi. Amin 

 

Jakarta, 21 May 2016.

 

Dr. Patrianef Patrianef

Staf Pengajar Program Pendidikan Spesialis 1 Ilmu Bedah

Ketua Program Studi Program Pendidikan Spesialis Bedah  peminatan Subspesialis Bedah Vaskular dan endovascular.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun