musik barat, merujuk pada musik yang mendapat pengaruh dari budaya barat terkhusus Amerika dan Inggris. Pada sekitar tahun 1950, musik barat memenangkan pasar industri musik di Indonesia karena banyak peminatnya. Namun hal tersebut memberikan dampak yang membuaat Presiden Soekarno meradang, yaitu pengaruh budaya barat ternyata juga merubah gaya, tingkah laku, dan kebiasaan masyarakat Indonesia menjadi lebih kebarat-baratan. Musik Barat dinilai membuat degradasi moral dan penghilang nasionalisme karena Presiden Soekarno melihat musik Barat dan budaya Barat membuat para generasi muda melupakan kepribadian sebagai bangsa Indonesia. Sehingga melawan dan melarang keberadaan musik barat menjadi bagian dari revolusi yang digagas oleh Presiden Soekarno.
IstilahPresiden Soekarno menyebut musik barat sebagai musik ngak-ngik-ngok dan dianggap sebagai perusak kepribadian bangsa. Musik yang sebenarnya disebut ngak-ngik-ngok oleh Presiden Soekarno secara spesifik adalah musi genre Rock’ n Roll. Pengaruh buruk musik ini dianggap sebagai hal yang kontra-revolusioner. Termasuk lagu pop yang dianggap sebagai lagu nina bobo bagi para pemuda-pemudi karena syair yang dipenuhi romansa percintaan dikhawatirkan melemahkan sikap nasionalisme. Keprihatinan tersebutlah yang mendorong Presiden Soekarno untuk melarang musik barat di Indonesia melalui sebuah Manifesto Politik Republik Indonesia dalam sidang MPRS pada tanggal 10 November – 7 Desember 1960. Manifesto tersebut merupakan bentuk realisasi pidatonya pada 17 Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita. Manifesto tersebut lebih dikenal secara populer sebagai Manipol-USDEK. Manifestasi ini menjadi alat perjuangan bagi pemerintah untuk mendongkrak nasionalisme. Terdapat tiga program dalam manifestasi ini, yaitu:
- Memperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu sesingkat-singkatnya.
- Menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara
- Melanjutkan perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan imperialisme politik
Salah satu tujuan dari Manifesto ini adalah perlawanan terhadap imerpialisme dan kolonialisme. Musik barat dianggap sebagai bagian dari imperialisme kebudayaan. Pada akhir 1950-an hingga awal 1960-an, grup musik seperti The Beatles digandrungi oleh anak-anak muda di berbagai kota besar Indonesia, bahkan mereka membeli alat-alat musik dan membentuk sebuah grup musik sendiri. Selain Rock’ n Roll ada pula musik Jazz yang mulai berkembang pada tahun ini dengan lahirnya para musisi-musisi jazz yang diterima di luar negeri maupun Indonesia.
Selama pelarangan ini, banyak acara festival musik barat dibubarkan, piringan hitam lagu barat disita dan dihancurkan, pelarangan untuk memainkan lagu barat, dan segala aksi yang mencekal lainnya, termasuk mengamankan orang-orang yang berambut gondrong, bercelana ketat, bahkan polisi pun tidak segan untuk menangkap dan memenjarakan para pelaku industri musik dan musisi musik barat. Salah satu grup band kenamaan Koes Bersaudara pernah merasakan tinggal di dalam penjara Glodok selama delapan bulan karena sering membawakan lagu-lagu The Beatles, The Bee Gees dan The Everly Brothers. Beberapa grup band yang memiliki nama khas kebarat-baratan juga terpaksa mengganti Namanya seperti El Dolores Combo menjadu Dasa Ria, dan Gerly Sitompul menjadi Mawar Sitompul.
Dalam upayanya melarang musik barat di Indonesia, pemerintah didukung oleh berbagai media masa yang ikut mengecam The Beatles sebagai sumber masalah kenakalan remaja di Indonesia bahkan di dunia. Kehadiran band ini sendiri menimbulkan kontroversial. Namun masih ada media yang mencoba mengkritisi kebijakan pelarangan ini dengan kaitannya musik dianggap merusak moral. Hadir dari sebuah majalah bernama Star Weekly tanggal 2 Januari 1960, yang mempertanyakan “adakah musik yang merusak moral?”. Dalam kesimpulannya Star Weekly menyebut bahwa tidak ada “sesuatu wudjud musik jang merusak atau jang tjabul.” Majalah itu juga kembali mengkritisi tentang bagaimana mengisi kekosongan yang timbul karena larangan-larangan itu, yaitu dengan memberikan penganti musik barat yaitu musik-musik Indonesia sendiri.
Dalam pidatonya pada Hari Sumpah Pemuda tahun 1961 di kota Surabaya, Presiden Soekarno mengatakan dihadapan para pemuda bahwa: “Musik Ngak-Ngik-Ngok harus dihapuskan. Pemuda-pemudalah yang bertanggungjawab terhadap hapusnya pengaruh kebudayaan Barat yang berlebih-lebihan itu”. Pidato ini rupanya mendorong para pemuda untuk memberantas musik Barat ini, hal itu didukung oleh para seniman Indonesia terkhusus Lekra. Mulai diadakan Konferensi Nasional Lembaga Musik Indonesia untuk membahas situasi dan kondisi musik di Indonesia, dan salah satu agendanya adalah mencari solusi untuk menekan kepopuleran musik Barat di Indonesia yaitu dengan cara menciptakan bermacam lagu khas Indonesia yang tentunya memiliki unsur nilai nasionalisme. Hal itu senada dengan yang ditulis dalam Star Weekly setahun sebelumnya bahwa perlu sesuatu untuk mengisi kekosongan akibat pelarangan musik barat di sepanjang masa represi itu, dengan menciptakan musik-musik Indonesia sebagai pengganti musik barat.
Industri Musik Indonesia justru menggeliat untuk terus menciptakan lagu-lagu Indonesia, bila di awal pelarangan industri musik Indonesia mengalami shock, namun perlahan sebuah tuntutan revolusioner membuat mereka beralih untuk mengembangkan budaya sendiri sebagai bentuk nasionalisme.Larangan terhadap musik dan budaya barat, memberi angin segar bagi masuknya budaya timur yang dianggap lebih beradab, seperti budaya Melayu dan India. Hal itu melahirkan berkembangnya lagu Dangdut di Indonesia yang sampai saat ini masih menjadi genre musik yang digandrungi oleh masyarakat Indonesua. Salah satu lagu yang populer pada masa itu seperti Boneka dari India yang dinyanyikan oleh Ellya Khadam.Rupanya pelarangan musik barat ini juga memberi pengaruh pada larangan dansa “gila-gilaan” atau yang disebut Soekarno sebagai dansa chachacha, hingga akhirnya Soekarno menggagas tari Lenso yang berasal dari Maluku untuk dipergunakan dansa di klub malam. Terkait Lenso ini, Soekarno bersama para seniman Indonesia berhasil menciptakan lagu berirama Lenso, para seniman itu diantaranya adalah Titik Puspa, Rita Zaharah, Bing Slamet dan Nita Lesmana dalam album yang berjudul “Mari Bersuka Ria”.
Musik-musik populer yang berunsur daerah tertentu juga mulai muncul dan memenangkan hati para penikmat musik. Kebijakan pelarangan ini melahirkan kreativitas para seniman, musisi dan pelaku industri musik untuk mengubah bermacam lagu daerah yang ada menjadi musik populer atau musik populer yang menggunakan bahasa daerah dan memperkenalkan daera masing-masing.
Berkembanglaj lagu populer dari beragam unsur kebudayaan seperti Betawi, Minang, Padang, Maluku, dan lain-lain. Para musisi musik populer itu diantaranya seperti: Ely Kasim sang legenda yang membawakan lagu populer dari Minang yang hingga saat ini telah menciptakan lebih dari 100 album solo. Hadir pula dari tanah Sunda yang turut meramaikan industri musik populer seperti Upit Sarimanah dan kemudian diteruskan oleh Lilies Suryani. Lagu populer dari Upit Sarimanah yang tidak asing di telinga kita adalah “Bajing Luncat”, Lilies Suryani sendiri telah terjun di dunia musik sejak berusia 12 tahun, lagunya yang populer adalah “Gang Kelinci” ciptaan Titiek Puspa, Lilies Suryani juga sempat mempopulerkan lagu Genjer-genjer yang sarat dengan PKI, kemudian lagu ini dilarang untuk diperdengarkan dan dinyanyikan lagi semasa pemerintahan Orde Baru.
Benyamin Sueb menjadi pelaku industri musik yang cemerlang dari Betawi, tidak hanya sebagai penyanyi namun juga aktor, pelawak dan sutradara. Sejak usia muda telah tertarik dengan dunia seni, beberapa lagunya berhasil menyita perhatian publik apalagi setelah duetnya dengan Ida Royani yang sukses menyaingi Lilies Suryani yang sangat terkenal pada saat itu. Kreativitas Benyamin Sueb juga melahirkan sebuah Orkes Gambang Kromong yang berhasil mengalihkan perhatian publik dari musik-musik barat. Dari Maluku juga muncul duet musisi populer bernama Pattie Bersaudara. Lagu duet populer mereka yang juga berhasil menarik perhatian publik adalah "Dondong Apa Salak". Kepiawaiannya dalam teknik bermusik, aransemen dan vokalnya menjadi nilai tersendiri yang membuatnya menggeser popularitas musik barat.
Musik bertema perjuangan dan nasionalisme juga turut mewarnai industri musik di Indonesia pasca pelarangan ini. Hal itu turut dipengaruhi situasi Indonesia yang tengah berjuang merebut Irian Barat dari Belanda dan konfrontasi dengan Malaysia. Musik-musik perjuangan itu diharapkan dapat meningkatkan semangat, nasionalisme dan moral para pemuda-pemudi untuk berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Pada tahun 1960-an Lilies Suryani membuat sebuah lagu khusus untuk Presiden Soekarno yang berjudul “Oentok Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno.” Pada tahun 1963, Balai Pustaka menerbitkan tujuh lagu perjuangan yang ditetapkan sebagai lagu wajib nasional, yaitu:
- Indonesia Raya (W.R. Supratman)
- Maju Tak Gentar (Cornel Simanjuntak)
- Halo-halo Bandung (Ismail Marzuki)
- Rayuan Pulau Kelapa (Ismail Marzuki)
- Bagimu Negeri (Kusbini)
- Satu Nusa Satu Bangsa (Libery Manik)
- Berkibarlah Benderaku (Ibu Sud)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H