Mohon tunggu...
Patra Mokoginta
Patra Mokoginta Mohon Tunggu... Lainnya - Warga kotamobagu

Penulis Buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Raja Raja Manado abad XVII (bagian 3)

29 September 2021   10:41 Diperbarui: 2 Oktober 2021   21:31 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 1620 Manado benar-benar lepas dari kekuasaan Kaicil Tulo. Informasi tentang Raja Manado paska Kaicil Tulo terkonfirmasi dalam Documenta Malucensia pada bagian report on Manado (Ternate, Second Half Of 1620) oleh para rabi yakni FR. Manuel De Avevedo, visitor Maluku, untuk FR. Andre Palmeiro, visitor India. Diperoleh keterangan dari para rabi bahwa, orang-orang (Manado) sangat tidak mampu menerima iman. Hanya ada 50 orang yang dibaptis, tetapi mereka adalah orang Kristen dalam nama saja. Selanjutnya disebutkan pula bahwa Raja telah menikahi wanita Moor/ Islam (rey se tornou a cazar comhuma moura). Satu-satunya harapan adalah penaklukan itary, tetapi orang-orang Spanyol tidak tertarik dengan itu. Gubernur berencana untuk menarik tentara dari Manado. Semua Jesuit dan anak laki-laki jatuh sakit, dan Pdt. Scalamonti meninggal. Jika Gubernur memanggil kembali tentara, maka para rabi (frater) harus kembali juga. Posisi berisiko orang Spanyol tidak mengizinkan tindakan orisinil.

Keterangan soal Raja Manado telah menikahi wanita Moor/Islam diberi catatan kaki oleh Hubert Jacob bahwa Raja Manado memiliki beberapa Isteri, salah satunya perempuan Islam yang dinikahi raja. Perempuan ini bukan Istri satu-satunya dan masih diberi tanda tanya apakah perempuan ini yang menjadi Ratu? Dokumen pada tahun 1638 dan tahun sesudahnya telah nyata bahwa Isteri raja ini adalah seorang ratu, Queen of Manado atau sebutan lainnya Reyna de Bolan.

Dari laporan ini di peroleh informasi tentang kondisi keimanan Kristen di Manado dimana masih banyak orang orang Manado yang kekristenannya hanya dalam nama saja tapi perilakunya jauh dari Kristen. Selain telah beralih ke Islam, pengamal budaya pagan juga masih kental. Selain itu laporan ini menggambarkan kesulitan yang dialami oleh misi Jesuit asal Portugis, selain menderita penyakit (sakit) perhatian Spanyol terhadap misi ini mulai berkurang terlebih Raja Manado tidak membantu sepenuh hati.

Informasi penting lainnya nama Kaicil Tulo sudah tidak disebutkan lagi sebagai Raja. Andaikata Kaicil Tulo saat kunjungan ini masih hidup maka kakak dari Sultan Baabullah ini sudah pada usia Uzur yakni 94 tahun. Ratu yang menolak di Baptis oleh Fr Pinto adalah orang berbeda dengan Istri Raja dari kalangan Moor (Islam) yang baru dinikahi Raja Manado. Artinya raja yang dibahas dalam report on Manado 1620 (Documenta Molucensia) bukan lagi Kaicil Tulo.

Buktinya saat di kunjungi Fr Pinto tahun 1619, Isteri Kaicil Tulo sudah disebut sebagai Ratu, berarti perkawinan Raja sudah terjadi sebelum Tahun 1619, sementara itu Raja Manado yang dibahas dalam Report on Manado (Documenta Molucensia) baru menikahi seorang perempuan Muslim saat itu yakni tahun 1620 sehingga anaknya yang disebut Putra Mahkota oleh Aritonang dan disebut Moco dalam Documenta Malucensia, saat dikirim ke Ternate 17 tahun kemudian  (pada Tahun 1637-1638 ) dikabarkan berusia 16  dan 17 tahun.

Ada hal yang menarik terkait pasang surutnya keimanan keluarga raja yakni sang raja memeluk Kristen dan Isterinya adalah pemeluk Muslim dari Tahun 1620 hingga tahun 1630-an hidup dalam kebudayaan tradisional yang cenderung paganism sebagaimana laporan Jesuit tahun 1620.

Tradisi lisan dari Mongondow mengungkapkan bahwa awalnya Tadohe menolak ritual Monibi, ritual pengobatan dengan mengundang arwah-arwah leluhur. Suatu waktu anak Tadohe yang masih kecil jatuh sakit dan diobati oleh 'dokter istana' namun tidak sembuh. Setelah diobati melalui upacara ritual Monibi, sang anak lantas sembuh. Akhirnya Tadohe yang Kristen ini menganjurkan di seluruh wilayah kerajaan agar mendirikan kuil untuk arwah para leluhur.

Ritual yang awalnya kurang dikenal Tadohe yang lahir di Siau dan dibesarkan di Manado. Tapi Tadohe memang seorang yang cerdas dan tahu menegaskan dirinya sekalipun dalam budaya pagan. Perilaku pagan yang bertentangan dengan iman Kristiani ini juga di catat oleh Dunnebier berdasarkan tutur dari para bangsawan dan tetua adat di zamannya.

Tadohe ini adalah orang yang sangat berpengaruh, seseorang yang tahu bagaimana menegaskan dirinya sendiri. Pengaruh tersebut juga menjadi saksi dari fakta bahwa dengan upacara pengorbanan tingkat desa lewat ritual Monibi, di halaman kepala desa didirikan 2 kuil yang dibuat terpisah satu sama lain. Di salah satunya dua patung ditempatkan, yang harus mewakili Tadohe dan Istrinya.

Ini yang dikeluhkan para Jesuit dalam report on Manado [Ternate, Second Half Of 1620] Documenta Molucensia : 'Mereka adalah orang Kristen dalam nama saja'. Kalimat ini merujuk ke perilaku paganism dalam masyarakat, dan Raja Tadohe yang Kristen inipun terlibat dalam praktek pagan bersama Isterinya yang muslim dengan menyisipkan syarat tambahan patung Tadohe dan Isterinya (Kijaba) dalam rumah / kuil pemujaan atau pengurbanan.

Setelah menguasai dan menjadi Raja Manado, Tadohe memusatkan perhatiannya untuk menundukkan kubu oposisi terutama faksi Batasina (Halmahera) di sekitaran perairan Manado hingga Belang. Kelompok yang paling terkenal dari faksi batasina ini adalah Loloda. Menguasai Manado dan mengabaikan kekuatan kelompok Loloda akan berbahaya bagi eksistensi kerajaan Manado. Loloda salah satu pengembara laut yang paling disegani di perairan Sulawesi Utara hingga Teluk Tomini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun