Inilah yang kemudian menyebabkan para pendatang dari Eropa cukup kebingungan. Belanda misalnya. Pada akhirnya dalam laporannya di abad ke-17, orang (raja) yang sama disebut sebagai Raja Manado, Raja Amurang dan Raja Bolaang, karena kerap berpindah-pindah. Disinilah diperoleh keterangan kuat bahwa otoritas kerajaan melekat pada pribadi raja, bukan pada teritorial. DArtinya, dimana raja berada, disitu otoritas kekuasaannya berlaku. Raja ini, menurut Henley, berperan penting pada bagian cerita yang dijelaskannya dalam desertasi di atas. Henley mencontohkan, raja yang dimaksud mempertahankan tempat tinggal dan istri atau selir di tiga wilayah )(Manado, Amuranhg, Bolaang). Kebijakan kerajaan tidak mengenal batas atau teritorial, sehinga dalam konsep toponim sebagaimana didaftar raja, ketika diminta untuk mendefinisikannya wewenang itu lebih bersifat etnis ketimbang geografis.
Raja Mokodompit (Mokodompis)
Silsilah Raja Mokodompit
N.P. Wilken dan J.A.T Schwarz menyalin kembali silsilah kerajaan dari Jogugu Damopolii sebagaimana termuat dalam Geslachts In De Taal Van Bolaang-Mongondou pada bagian “Buk Ouman Sinomongondou” (Buku berbahasa Mongondow) terbit tahun 1871. Saya kutip sedikit; Mokodoludut yang adalah Punu (Raja) Gumolung menikah dengan Bounia yang terlahir dari Patung Bulawan (Bambu Kuning). Mereka berdua mendapatkan lima orang anak masing-masing: Golonggom, Ginupit, Pondadat, Ginsapondo, Jajubangkai (Raja). Jajubangkai menikahi Silagondo bangsawan dari Buntalo memperoleh anak masing-masing: Kinalang yang adalah Damopolii dan Mokoapa. Si Kinalang yang adalah Damopolii menikahi Tendeduwayo bangsawan dari Sinumolantaan memperoleh anak : Busisi (Raja) dan Ponamon. Busisi lantas menikahi Limbatondo bangswan dari Ginolantungan memperoleh anak: Dunu, Takadumakul, Makalunsenge dan Makalalo (Raja). Selanjutnya Makalalo menikahi Gantiganting putri dari Mandolang memperoleh anak Mokodompit. Dari garis pihak laki laki (Ayah) lurus ke atas : Mokodompit Putra dari Raja Makalalo, Raja Makalalo putra dari Raja Busisi, Raja Busisi putra dari Raja Damopolii, Raja Damopolii putra dari Raja Jajubangkai, Jajubangkai adalah putra dari Raja Mokodoludut.
Raja Mokodompit Meninggalkan Bolaang Mongondow
Sejarah Mokodompit yang saya kutip dari buku Over de Vorsten van Bolaang Mongondow karya W.Dunnebier langsung pada poin pentingnya yakni : 'Daar deze Gogoene' een vrouw uit het volk was, maakten velen heel wat minder vriendelijke opmerkingen over dit huwelijk. wege al dat gebabbel verliet Mokodompit zijn land en ging naar het eiland Sangir, waar Gogoene' het leven schonk aan een zoon, die Tadohe' werd genoemd'. Terjemahan bebasnya : ‘Karena Gogune (Isteri Mokodompit) dari kalangan rakyat (bukan bangsawan Bolaang) telah melahirkan banyak pergunjingan yang tak enak dari pernikahan ini. Semua pergunjingan ini membuat Mokodompit tak enak hingga memilih meninggalkan kerajaannya dan pergi ke Pulau Sangir tempat Gogune (Isterinya) melahirkan seorang Putra yang di beri nama Tadohe.
Dalam buku Inilah Pintu Gerbang Pengetahuwan Itu Apatah Dibukakan Guna Orang Orang Pandudokh Tanah Minahasa karya J.G.F. Riedel, mengulas jalur perjalanan Raja Mokodompit (Mokodompis) saat meninggalkan negerinya. Pada bagian Tou Babontehuh - Lumentut, Mokodompis, Riedel menulis; Kemudian deri pada itu maka datanglah bangsa orang asing deri fihakh salatan menurut jang ampunya tjerita sawatu Datu baserta anakh-anakhnja apatah bertjidera satara istrijnja sebabnja perkara gondikh sehingga meninggalkanlah ija tanah pandudokannja tjharaij tampat perdijaman lajin itulah,-Maka pergilah Datu ini mula mulanja singgah di Molibagoh pula berikot-ikot di pasoloh, baleng-baleng, lembeh tetapi diusirlah pada tampat tampat ini lalu berpindahlah ija pada achrinaka pulow Bangka sakarang itu - Maka datanglah pada masa perdijamannja di situ orang orang Batjan namanja apatah mengharukan kahidopannja orang bala bala djuga sehingga berpindahlah Datu itu kembali pergi ka Pulow Nain dan pulow Babontehuh atawa pulow Manaroh sakarang. pada tandjong Buaroh, lalu perusahlah disitu bentengnja batukarang. serta mati ija tinggij usija umornja pada tempat itu.
Jika Dunnebier hanya memberi informasi sekilas tentang Mokodompit yang meninggalkan negerinya karena akibat gunjing terkait status Isteri keduanya bernama Gogune, maka Ridel sedikit merinci jalur perjalanan Mokodompit (Mokodompis) yang dimulai dari Molibagu (Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan sekarang ini ) termasuk nama-nama tempat yang disinggahi sang Datu, hingga menjadi Raja di Manado hingga wafatnya Mokodompit dalam umur yang usur di Pulau Manado.
Mokodompit Raja Manado
Datu itu kembali pergi ka Pulow Nain dan pulow Babontehuh atawa pulow Manaroh sakarang. pada tandjong Buaroh, lalu perusahlah disitu bentengnja batu karang. serta mati ija tinggij usija umornja pada tempat itu'. Demikian kutipan Riedel menegaskan bahwa Datu Mokodompit menjadi Raja di Manado dalam waktu yang lama, karena Mokodompit berumur panjang.
Riedel tidak menyebutkan apakah Gogune (salah satu Istri Mokodompit asal Siau) melahirkan anaknya (Tadohe) di Manado atau di Sangier sebagaimana disampaikan oleh para tetua Bolaang Mongondow kepada Dunnibier. Namun dari kedua referensi ini ada informasi yang sama persis diberikan kepada kita yakni, Raja Mokodompit meninggalkan negerinya (Bolaang Mongondow) disebabkan masalah internal keluarga.
Sebagaimana menurut David Henley bahwa pada masa prakolonial kekuasaan raja bukan didasarkan pada teritorial melainkan pribadi raja dan penguasaannya (raja) terhadap orang-orang/rakyat dimana ia berada, maka sudah barang tentu baik secara spasial maupun temporal, pendapat Henley memiliki kesesuaian dengan eksistensi Mokodoludut dimana ketika itu konsep (politik) teritorial belum digunakan sebelum Belanda (VOC) datang (soal tapal batas, pembagian tanah /wilayah).
Demikian juga berlaku pada Raja Mokodompit. Ketika Raja meninggalkan tempat kediamannya di Bolaang Mongondow, melewati jalur Molibagu (Bolaang Mongondow Selatan sekarang ini) bukan berarti kerajaan Bolaang Mongondow bubar, tapi dalam pribadi raja yang berpindah-pindah tempat ini melekat “otoritas negara” Bolaang Mongondow pada pribadi raja. Sang raja biasanya akan disapa oleh rakyat yang mendaulatnya sesuai tempat kediaman Raja. Maka lazim Mokodompit disebut sebagai Raja Manado, Raja Bobentehu, Raja Bolaang atau Raja Mongondow. Ini juga jauh maknanya dimana seorang raja menduduki atau menaklukan banyak kerajaan.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa Mokodompit sebenarnya mewarisi juga tahta kerajaan di Manado dari buyutnya Mokodoludut, pendiri Kerajaan Babountehu atau Kerajaan Manado. Pada saat Mokodompit berada di Manado sekaligus menjadi raja, sudah terbangun kerjasama dengan pihak Kesultanan Ternate. Ridel mencatat ini walau agak samar : Adapon maka berfakatlah Lumentut dan Mokodompis itu fakatan bersudara baserta kolanoh Tarnatej — Tobeloh. pada berparang-paranga melawan bangsa-bangsa ini. tetapi tijada dialahkannja marika iiu, sebah terlalu amat baranijnja, melajinkaa dibudjokhnja marika itu djuga pulang kombali,bewat perdijamannja senderij diatas Pulau bobentehu tersebut itu. Catatan Riedel ini, menjelaskan pada kita relasi yang dijalin Raja Mokodompit yang menegaskan Ibukota Kerajaan Manado di masa Raja Mokodompit berada di Manado (Sekarang dikenal Pulau manado Tua)
Kondisi Politik Sulawesi Utara dan Maluku era akhir Mokodompit
Kejadian di Sulawesi Utara ada korelasi dengan kejadian di Maluku Utara. Ini erat kaitan dengan jalur perdagangan rempah yang sentralnya di Maluku. Jalur perdagangan rempah ini terkait erat dengan berbagai kekuatan dan pengaruh baik lokal maupun bangsa asing. Di Maluku Utara selain Ternate dan Tidore terdapat kelompok Halmahera. M.Adnan Amal dalam Kepulauan Rempah - Rempah Sejarah Maluku Utara 1250-1950, mengutip pendapat A.B Lapian: “Nama Halmahera menurut sumber-sumber Portugis adalah Batucina de Moro, atau Batu cina yang merujuk pada kerajaan tua di Halmahera Utara yang masih eksis hingga abad ke-17, di mana Portugis berhasil mengkonversi agama sebagian penduduknya ke Kristen. Namun Batucina tidak punya hubungan samasekali dengan orang-orang Cina, sebagai bangsa asing pertama yang menemukan Maluku, dan memperoleh keuntungan besar dari perdagangan rempah-rempah. Batucina dalam pengucapan orang-orang Portugis menjadi Bat (a) Chin (a) yang dalam teks-teks lama ditulis sebagai Batchian. Menurut Lapian, adalah sebuah salah ucap dari kata Bacan, kekuatan tertua di Maluku yang punya pengaruh jauh hingga Seram dan pulau-pulau di Sulawesi Utara. Oleh karena itu menurut Lapian, kerajaan tertua di Maluku Utara adalah Bacan, yang berkedudukan di Jailolo”.