Mohon tunggu...
SRI PATMI
SRI PATMI Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Program Studi Strategi Pertahanan - Dari Bumi ke Langit

Membumikan Aksara Dari Bahasa Jiwa. Takkan disebut hidup, jika tak pernah menghidupi.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Cerpen Ramadan : Karma Bicara Karma

18 April 2022   10:00 Diperbarui: 30 April 2022   21:43 1284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hai namaku Karma. Usiaku 54 tahun. Ahhh... usia segitu masih muda bagiku. Jika orang menyebut namaku, lebur sudah jasadku. Apalagi jelajahku masih luas dalam kehidupanmu. Lalu siapa namamu?"


"Sederhana, kau bisa menyebutku Karma. Namaku dan namamu memang sama, tapi apakah kau tahu apa yang membuat kita berbeda?"


"Mustahil rasanya banyak nama Karma di dunia ini. Persetan dengan omonganmu yang mengada-ada!"


"Tak usah membawa setan atau malaikat disini. Disini hanya ada 2 nama Karma yang berbeda disini"


"Kemarilah! Kutunjukkan kartu identitas dan tanda pengenalku!"


Untuk apa? Tidak perlu lagi karena memang kamu hanya bergurau saja tentang Karma.


"Tak sempat waktuku untuk bergurau apalagi bercanda dengan makhluk sepertimu"

Berjalan kedua Karma beriringan. Karma satu menjaga jarak dari Karma kedua. Saling berpandangan penuh dengan kebencian dan kemurkaan. Tatapannya mengisyaratkan "rasakan saja karmaku".

Kedua Karma terjatuh karena meleng. Karma saling menimpa dan cedera tapi tak berdarah. Menangis keduanya ketika Karma tertimpa Karma.

"Ah sudah sinting kau! Bisa-bisanya jalanan seluas ini jatuh!" Karma satu menggugat jatuhnya Karma pada dirinya

"Siapa yang tahu kalau aku akan jatuh? Kau kan yang memulai sedari tadi berjalan tanpa memandang?"

"Memang dimana kau taruh matamu? Sampai-sampai jalan terang dan lancar tanpa hambatan seperti ini jatuh?"

"Apa katamu? Tunggu tunggu tunggu!" sambil memandang dan menerawang kearah kejauhan.

"Sedari tadi kedua bola mataku hanya memandang gelap!"

"Ah masa iya? Berapa usiamu?"

"54 tahun memang kenapa?"

"Seharusnya usiamu belum begitu rabun untuk melihat jalan terang"

"Memang berapa sekarang usiamu?"

"Aku sudah lebih dari 1000 tahun"

"Ahh yang benar? Jangan mengada-ada dan bercanda?" senyum nyinyir

"Kau seperti anak kecil ya? Semakin diberitahu semakin bersikap kekanak-kanakan"

"1000 tahun itu Sudah bukan masaku untuk bercanda dan mengada-ada"

***

Kedua Karma melanjutkan perjalanan lagi. Tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk singgah di kursi hakim dan jaksa. Karma satu memegangi janggutnya dan yang satu lagi menopang dagunya terlihat bosan.

"Rasakan saja ya? Orang seperti akan merasakan Karma!" teriak seorang ibu dengan lantang dan penuh amarah.

"aduh! Tolong...tolong... tolong.... Tolong aku Karma!" ujar Karma satu. Badannya mulai tersedot kedalam ucapan dan masuk kedalam mulut ibu yang penuh kemarahan.

"Maaf.. aku tak bisa menolong! Leburlah jasadmu menjadi lemah Kembali ke tanah!"


"Bagaimana bisa sesama Karma, kita tak bersaudara?"


"Apa katamu? Kau sudah gila ya? Karma tak mengenal istilah saudara! Bukannya kau yang mengajarkanku sebuah sistem tak mengenal empati apalagi peduli?"


"Jika sudah waktunya Kembali, kembalilah kedalam bumi" imbuhnya dengan bersungut-sungut.


"Keterlaluan ya? Sudah hampir habis badanku digerogoti kemarahan dan emosi yang menjadi-jadi. Tak sedikitpun perasaanmu bergeming menolongku agar tak Kembali ke bumi? Memang kau lupa selama ini aku sudah berbuat banyak hal padamu. Dari kau masih melihat gelap hingga melihat jalan terang. Dari seonggok makhluk tak menarik dan hanya disebut saat amarah, aku tinggikan derajatmu lebih dari sekedar itu. Mungkin sudah saatnya kau juga harus terkena Karma!"


"Jangan! Tolong... tolong... tolong... jangan lakukan itu padaku" Karma memohon pada Karma

"Karmaku pasti berlaku!" kemarahannya semakin meledak.

Akhirnya kedua Karma melebur dari ucapan ibu 54 tahun yang penuh amarah. Karma terkena Karma. Binasa keduanya menghilang bersama rasa yang tak mampu dibendung. Api kemarahan yang tak pernah padam pada meja hijau penghakiman diri dan sesama manusia. Keduanya tak dapat bersimpuh, lumpuh sudah dihabisi gelombang api yang telah runtuh. Dilumat habis badan Karma yang rapuh. Disebut namanya saja sudah meluluhlantahkan keduanya. Rapuh tubuh si ibu 54 tahun jatuh tersungkur, melepuh dan ripuh karena Karma kuadrat menyerang tubuhnya yang mulai membiru dan membatu.

***

Bogor Barat, 17 April 2022

Salam,

Sri Patmi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun