Mohon tunggu...
SRI PATMI
SRI PATMI Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Program Studi Strategi Pertahanan - Dari Bumi ke Langit

Membumikan Aksara Dari Bahasa Jiwa. Takkan disebut hidup, jika tak pernah menghidupi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Lobi-Lobi Cantik Rusia dan AS Dalam Pengadaan Sukhoi SU-35, F-16 Viper AS, Rafale Prancis

28 Maret 2022   02:54 Diperbarui: 1 April 2022   23:05 27675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hubungan Bilateral Rusia dan AS terhadap Indonesia 

Konflik masih menegang antara Rusia dan Ukraina saat ini. Meski secara tidak langsung terlibat dalam perang konvensional dan perang hybrid yang terjadi disana, nyatanya seluruh dunia merasakan dampaknya. Seperti efek kupu-kupu, ibarat kentut di kutub utara, badai di kutub selatan. 

Dalam hal ini Indonesia memiliki posisi yang strategis tapi serba salah. Rusia dan AS tetap menjalin kerja sama dibidang pertahanan, penguatan alutsista, latihan militer bersama hingga membuat proyek patungan industri alutsista.

Dalam literatur sejarah, Indonesia memiliki hubungan diplomatik yang baik dengan Rusia. Utamanya saat operasi Trikora dalam pembebasan Papua yang terjadi tanggal 19 Desember 1961 -- 15 Agustus 1962. 

Tepat satu tahun sebelumnya, Desember 1960, Jendral A.H. Nasution menandatangani perjanjian jual beli senjata senilai US$ 450 juta dengan mekanisme kredit berjangka 20 tahun dengan bunga 2,5%.

Dalam penandatanganan kontrak tersebut Presiden Soekarno bertemu dengan Perdana Menteri Uni Sovyet Nikita Khrushchev. Hingga tanggal 6 Januari 1961, A.H Nasution berhasil membawa alutsista dari Moskow ke Jakarta. 

Belanja alutsista yang dibeli saat itu adalah 12 kapal selam, tank, kapal roket cepat, pesawat tempur, helikopter, peralatan amfibi, dan berbagai persenjataan berat asal Uni Soviet lainnya. 

Berpangkal dari titik sejarah ini, Rusia dan Indonesia sebenarnya memiliki hubungan diplomatik yang sangat baik. Apalagi Indonesia menganut sistem politik luar negeri yang bebas aktif.

Begitu pula hubungan diplomatik antara AS dan Indonesia yang memiliki sejarah panjang. 

Saat Operasi Seroja tanggal 7 Desember 1975 di Timor Timur,  sejarah mencatatkan AS turut andil dalam upaya memprovokasi Indonesia masuk dalam wilayah perbatasan Timor Timur melalui LINUD, Brigade 2, Batalyon 743 dan Batalyon 744 untuk menyelamatkan Raja Ainaro dan raja kecil lainnya. Setelah kekalahannya di Vietnam tahun 1975 dalam operasi Cedar Falls, AS merasa pengaruh komunis akan semakin kuat di Timor Timur.

Baca Juga Operasi Cedar Falls : 

https://www.kompasiana.com/patmisri/623ec7da274a7a2250704b03/terowongan-chu-chi-jejak-kekalahan-amerika-di-vietnam

Kekhawatiran tersebut akhirnya memicu AS dengan dalih "apakah Indonesia akan membiarkan Indonesia dan Asia dikuasai pengaruh komunis?". Presiden AS Gerald Ford menemui Presiden Soeharto dengan narasi dan lobi-lobi cantiknya agar tergiur melakukan operasi melawan kekerasan Fretilin di Dili. 

Saat itu, Indonesia masih bisa berdalih bahwa Australia lebih memiliki kekuatan besar untuk membendung pemberontakan disana. Australia beralasan harus menyeberangi laut dan banyak kendala yang akan dialami. Berbeda dengan Indonesia yang berbatasan langsung wilayah daratannya.

Multirole Fighter 

Salah satu alutsista yang sangat berperan adalah pesawat tempur serbaguna atau multirole fighter yaitu pesawat terbang yang dapat digunakan sebagai pesawat tempur murni atau "pesawat pemukul", serang darat, serang antigerilya, intai taktis, pengebom, superioritas udara, atau (pada prinsipnya) pesawat pencegat yang mampu menjalani misi pemukulan. Atas segala kemampuannya, pesawat jenis ini disebut "Pesawat Siluman".

1. Multirole Fighter Sukhoi SU-35

Sumber : minews.id
Sumber : minews.id

Prototipe pertama Su-35 dibangun di Komsomolsk-na-Amure Aviation Production Association pada tahun 2007. Penerbangan perdananya terjadi pada bulan Februari 2008. 

Su-35 mampu menyebarkan rudal udara-keudara jarak pendek dan jarak jauh, amunisi udara-ke-darat terarah dan presisi yaitu rudal, bom dan roket. 

Dilansir dari Aircrafts Compare, Harga US$ 85 juta atau setara Rp 1,2 triliun rupiah per unit. Dengan biaya operasional US$ 30000 atau setara dengan Rp 420 juta.

2. Multirole Fighter F-16 Viper USA

Sumber : tekno.kompas.com
Sumber : tekno.kompas.com

F-16 menggunakan mesin tunggal berbeda dengan dengan Sukhoi SU-35 dan Rafale Pracis yang menggunakan mesin ganda. Awalnya masterpiece ini dirancang oleh Transformasi Dalam Performa Pesawat General Dynamics AS untuk digunakan dalam misi superioritas udara bagi Angkatan Udara AS.

Seiring perjalanan waktu, pesawat tempur yang memiliki tingkat kesuksesan tinggi di 26 negara yang memilikinya, setidaknya sudah 4.500 unit yang dibuat dan ada 54 unit pesanan untuk 15 negara pemesan.

Pesawat tempur ini menjalankan aksinya saat Operasi Badai Gurun di Irak tahun 1991, selanjutnya Perang Irak II, Afghanistan dan libya. Versi F-16 terbaru yaitu, Blok 50/52 dan Blok 60 menggunakan teknologi modern dan upgrade berdasarkan pengalaman tempur selama ini, antara lain avionik, kokpit dan instrumen pilot friendly, sensor dan paket senjata terbaik. 

Dibandrol dengan harga US$ 1,4 miliar atau setara Rp20 triliun, tetapi memilikii biaya operasional yang lebih efisien 25% dibanding pesawat bermesin ganda.

3. Multirole Fighter Rafale Prancis

Sumber : cnnindonesia.com
Sumber : cnnindonesia.com

Pesawat ini dioperasikan oleh Angkatan Udara dan Angkatan Laut Perancis. Pesawat ini dilengkapi dengan avionik terbaru dan sistem sensor cerdas. 

Mampu menembakkan kanon 30 mm, rudal udara-ke-udara dan rudal udara-kepermukaan, rudal anti-kapal, serta berbagai bom laser-guided dan amunisi untuk serangan darat. 

Aksi pertama Rafale terjadi pada tahun 2002 saat Operasi Enduring Freedom (Afghanistan), lalu Libya dan baru-baru ini dalam Operasi Serval (Mali). 

Harga jenis pesawat Rafale ini adalah US$ 160 juta atau setara Rp 2 triliun. Dengan biaya operasional sebesar US$ 16500 atau setara dengan Rp 231 juta.

Analisa 

Memang dari segi kecanggihan teknologi, pesawat ini memiliki keunggulannya masing-masing. Ditinjau dari sudut pandang biaya, alternatif pertama yang bisa menjadi referensi belanja alutsista adalah Sukhoi SU-35 karena harganya yang relatif lebih rendah dibanding F-16 maupun Rafale Prancis.

Dua alternatif yang dapat dijadikan bahan rekomendasi adalah Sukhoi SU-35 dan F-16 Viper USA. Beberapa pertimbangan untung dan ruginya adalah :

Sukhoi SU-35

Sumber : beritatagar.id
Sumber : beritatagar.id

Beberapa keuntungan yang bisa diperoleh Indonesia adalah adanya skema imbal dagang dengan komoditas Indonesia. Seperti yang pernah terjadi pada tahun 2017 dimana kelompok kerja yang anggotanya berasal dari Rostec dan PT PPI setuju melakukan mekanisme imbal beli. 

Dalam nota kesepahaman itu, Rostec menjamin akan membeli lebih dari satu komoditas ekspor Indonesia, dengan pilihan di antaranya karet olahan dan turunannya, CPO dan turunannya, mesin, kopi dan turunannya, kakao dan turunannya, tekstil, teh, alas kaki, ikan olahan, furnitur, kopra, plastik dan turunannya, resin, kertas, rempah-rempah, dan produk industri pertahanan. 

Keuntungan lainnya adalah kemungkinan Rusia mengembargo militer Indonesia sangat kecil, adanya transfer technology, dan pesawat tempur yang djual oleh Rusia memiliki kualitas yang sama seperti yang ia gunakan untuk militer dalam negeri Rusia.

 Sementara dari sudut pandang kerugiannya, jenis SU-35 hanya bisa menggunakan simulator dan biaya operasional yang lebih tinggi dibanding F-16.

Pesawat F-16 Viper AS

Sumber : nusantaranews.co
Sumber : nusantaranews.co

Jenis pesawat ini memiliki versi pesawat untuk Latihan dan biaya operasionalnya yang efisien 25%. Beberapa kerugian yang jika membeli pesawat ini adalah meski sudah dibeli, aturan penggunaan pesawat tetap berasal dari AS, kemungkinan besar AS akan mengembargo militer, menurut penuturan para TNI, AS sangat pelit dalam hal transfer of technology, dan pesawat tempur yang dijual AS merupakan versi downgrade dari apa yang mereka miliki.

Syarat Pembelian Alutsista

Syarat dalam pembelian alutsista yang berasal dari luar negeri telah diatur dalam UU Nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan pasal 43 ayat 5 E yang menyatakan bahwa harus disertakannya imbal dagang, kandungan lokal dan/atau ofset minimal 85% dimana kandungan lokal dan/atau ofset paling rendah 35%. 

Karena pihak Rusia hanya sanggup memberikan kandungan lokal dan ofset sebesar 35% berupa alih teknologi, maka Indonesia menawarkan agar 50% dari nilai kontrak dilakukan dengan sistem imbal dagang dan hal tersebut telah disepakati kedua belah pihak dalam kontrak yang telah ditandatangani bersama.

Dalam hal jual beli senjata, Rusia memang fleksibel tentang harga dan pembayaran yang bisa dilakukan melalui imbal dagang. Pada akhirnya sistem pembelian alutsista ini dapat mengurangi beban devisa negara dan peningkatan industri pertahanan di Indonesia.

Dari perspektif Transfer of Technology dimana akan dibangun fasilitas Maintenance, Repair, and Overhaul (MRO) sehingga pesawat tidak perlu lagi dibawa ke Rusia untuk pemeliharaan. 

Selain itu, Indonesia juga diuntungkan karena akan adanya alih teknologi melalui pendidikan dan pelatihan dari pihak Sukhoi dan bisa saja tercipta kemandirian industri tersebut di masa depan sesuai dengan tujuan kebijakan MEF.

Tidak seperti negara-negara barat, Rusia tidak pernah memberlakukan embargo ketika konflik terjadi di negara pengguna alutsistanya. Dari rekam jejak sangat jelas bahwa negara-negara barat sering memberlakukan embargo suku cadang dan persenjataan pesawat tempur misalnya embargo oleh AS terhadap Pesawat tempur A4 Skyhawk pada peristiwa Gerakan Aceh Merdeka dan pesawat tempur F-16 selama krisis Timor Timur.

Ancaman yang Dihadapi

Ancaman dari perspektif ekonomi pertahanan adalah Amerika Serikat (AS) kerap melayangkan ancaman pada negara-negara yang melakukan transaksi pembelian peralatan perang, seperti pesawat tempur maupun senjata buatan Rusia. 

Kasus yang pernah menimpa China pada 2018, AS menerapkan sejumlah sanksi pada China, termasuk memblokir agen China dari mengajukan permohonan izin ekspor dan berpartisipasi dalam sistem keuangan AS. 

Selain itu, AS juga membuat daftar "black list" Departemen Keuangan, di mana individu-individu yang dianggap terlibat pelanggaran akan dilarang melakukan bisnis dengan AS.

Jadi, dari 3 negara tersebut, negara mana yang memiliki lobi-lobi cantik untuk memikat hati Indonesia?

Tangerang, 28 Maret 2022

Salam,

Sri Patmi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun