Mohon tunggu...
SRI PATMI
SRI PATMI Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Program Studi Strategi Pertahanan - Dari Bumi ke Langit

Membumikan Aksara Dari Bahasa Jiwa. Takkan disebut hidup, jika tak pernah menghidupi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hukum Prancis Abad 13 : Ketika Martabat Perempuan Menjadi Harga Diri Pria

15 Februari 2022   17:28 Diperbarui: 4 Maret 2022   18:16 1463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Duel dilaksanakan disaksikan oleh kaum bangsawan, raja, ksatria dan masyarakat. Segala senjata digunakan dan Jean berhasil memenangkan duel terakhir.

Secara hukum, Legris dianggap bersalah karena Tuhan telah menghukumnya dengan kekalahan dan kematian. Selang beberapa tahun kemudian Jean meninggal dalam perang salib. Dan Marguirite De Courages menikmati hidup dengan bahagia bersama anaknya. Hingga akhir hayatnya, ia tidak pernah menikah lagi dengan pria lain.

***


Perspektif Rape Culture, Budaya Patriarki dan Dalil Negasi Di Masyarakat 

Tiga sudut pandang ini merepresentasikan isu harta, tahta dan wanita. Martabat perempuan, harga diri laki-laki. Hukum di Prancis pada abad 13 ini menggambarkan keadaan yang related pada masa kini. Kasus perkosaan adalah bentuk intimidasi yang membuat perempuan memiliki rasa takut akan diserang dan hal ini membatasi perempuan dalam berperilaku.

Dimana Rape Culture memiliki perspektif :

Ilustrasi Gambar : linimasa.com
Ilustrasi Gambar : linimasa.com

Piramida di atas menjelaskan hal-hal sederhana secara umum berdasarkan bagaimana kasus perkosaan dapat terjadi di masyarakat. Kasus perkosaan berawal dari lapisan paling bawah yang paling mudah diidentifikasi dan terjadi seperti lelucon perkosaan dan lelucon-lelucon seksis yang kebanyakan dilontarkan oleh laki-laki, lapisan paling bawah ini disebut normalisasi. 

Meskipun tidak semua lelucon-lelucon ini mengakibatkan terjadinya kekerasan secara langsung, lelucon-lelucon tersebut menggiring opini dan perspektif masyarakat. Pembentukan pandangan akan posisi perempuan yang selalu inferior dibandingkan dengan laki-laki yang adalah superior. Selain itu, ada beberapa perilaku yang berhubungan dengan kasus perkosaan yakni: menyalahkan korban, objektifikasi seksual, slut shaming, membenarkan dan membiarkan perkosaan.

Dalil negasi terhadap korban seperti menyalahkan korban dan menempatkan perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan seksual yang dialaminya, masih terus berlangsung hingga sekarang. Perempuan menjadi sasaran yang disalahkan, dibully termasuk dalam konteks perselingkuhan, poligami dan kejahatan perkawinan lainnya. Sementara pelaku utama justru lolos dari penghakiman sosial.

Skenario dimana korban disalahkan dan diberikan tanggung jawab atas viktimisasi dirinya sendiri sudah umum dan merupakan hal yang normal bagi masyarakat kita dalam menghadapi kasus perkosaan. Jika seorang perempuan diam tidak memberikan perlawanan saat diperkosa maka ia adalah salah. Namun demikian, jika seorang perempuan melakukan perlawanan dan mendapatkan perlakuan lebih buruk karenanya maka ia adalah salah.

Dalam kajian psikologis dan biologis tonic immobility (imobilitas tonik) yakni keadaan penghambatan motorik sementara yang tidak disengaja. Imobilitastonik merupakan reaksi defensif biologis yang muncul ketika seseorang berada dalam keadaan terancam seperti korban perkosaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun