Mohon tunggu...
SRI PATMI
SRI PATMI Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Program Studi Strategi Pertahanan - Dari Bumi ke Langit

Membumikan Aksara Dari Bahasa Jiwa. Takkan disebut hidup, jika tak pernah menghidupi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengapa Harus Terjadi Perang?

23 Desember 2021   14:09 Diperbarui: 23 Desember 2021   14:39 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adagium klasik latin menyebutkan "si vis pacem, para bellum" yang berarti siapa pun yang mendambakan perdamaian harus bersiap untuk menghadapi perang.

Perdamaian merupakan wujud aspek multidimensional pertarungan mengubah kekerasan menjadi bentuk positif tanpa ada peperangan. Secara negatif akan menghasilkan aspek masyarakat yang memperjuangkan hak universal, nilai pokok dan kesejahteraan ekonomi. Secara garis besar, perdamaian mengacu pada harmonis, aman dan tentram.

Secara filosofis, perang merupakan turunan sifat dasar manusia yang hingga sampai saat ini tetap memelihara dominasi dan persaingan sebagai wadah untuk memperkuat eksistensi diri. Kecenderungan sifat ini dilakukan dengan cara menundukkan kehendak pihak yang dimusuhi. Perang dimulai secara psikologis maupun fisik. Perang melibatkan diri sendiri dan orang lain, baik secara kelompok maupun bukan. Perang selalu menghasilkan kesedihan dan kemiskinan yang berkelanjutan. Contohnya, Perang Dunia II yang berdampak pada hilangnya puluhan ribu nyawa di Jepang tentunya menimbulkan kepedihan yang mendalam bagi rakyat Jepang. 

Para filsuf mengindentifikasikan perang terjadi karena tiga hal yaitu berkaitan dengan kebutuhan biologis (biological), perbedaan budaya (culture), serta adanya alasan tertentu lainnya (reason). Beberapa faktor yang menyebabkan pecahnya perang adalah :

  • Tidak Adanya Lembaga Pemerintahan yang Efektif
  • Sebagai Ajang Unjuk Kekuatan
  • Perang Adalah Gejala Antropologi
  • Perang Sebagai Fenomena Sosial
  • Manusia dan Kecanduan Perang

Moral Sebelum Beperang (Jus Ad Bellum) menjadi suatu pembenar negara melakukan perang. Kondisi yang diperbolehkan perang adalah Alasan untuk pergi berperang harus benar ("Just Cause atau the Cause must be Just"); Keputusan berperang dibuat oleh sebuah otoritas yang sah ("A right authority must make the decision to go to war");  Tujuan Perang yang Benar ("Right Intention");  Perang hanya dilaksanakan sebagai upaya terakhir ("War must be undertaken only as a last resort");  Tujuan perang haruslah dapat menciptakan kedamaian ("The goal of the war must be a likely emergent peace"); dan terakhir  Perang harus dilaksanakan secara proporsional ("the war must be proportionate"), yaitu total kejahatan perang tidak bisa lebih besar daripada yang ingin dicapai oleh perang.

Pedoman Moral Berperilaku Dalam Perang (Jus In Bello) menjadi rangkaian hukum atau pedoman yang mulai berlaku ketika peperangan dimulai.

  1. Diskriminasi (Discrimination) dan Kekebalan atau Imunitas Non-Kombatan (Non-Combatant Immunity)

Asal-usul gagasan ini adalah adanya kepekaan moral dalam kode etik ksatria (code of chivalry) dari abad pertengahan. Prajurit ksatria profesional dengan kemuliaannya dalam mengangkat senjata adalah ketika melawan musuh yang bersenjata dan mereka tidak dianggap mulia jika menyerang dan membunuh masyarakat atau orang biasa yang bukan ksatria (non-knights). Dalam setiap perang, bahkan hingga saat ini, menyerang atau membunuh anakanak, wanita, orang tua, dan membuat yang lemah menjadi sasaran atau target serangan yang mematikan tidak pantas dilakukan oleh militer mana pun yang mengatasnamakan negara, baik dari sisi moral dan kemanusiaan.

  1. Efek Ganda (double effect)

Dorongan dasar dari gagasan efek ganda adalah bahwa membuat orang-orang yang tidak berdosa terluka atau mati merupakan tindakan perang yang "salah" yang sebenarnya bisa dimaafkan jika itu bukan tindakan yang diinginkan dalam perang. Artinya, efek ganda atau akibat ganda merupakan tindakan perang yang memiliki lebih dari satu akibat. Akibat yang pertama adalah yang diinginkan atau yang menjadi tujuan dan/atau sasaran dalam melakukan perang untuk menghancurkan sasaran militer yang sah seperti anggota militer dan objek militer; sedangkan akibat yang kedua adalah dalam perang selalu terdapat orang-orang yang tidak bersalah dan tidak berdosa serta properti sipil yang tidak ada sangkut pautnya dengan perang yang juga menjadi sasaran perang dan mengalami luka atau bahkan kematian.

  1. Proporsionalitas (Proporsionality)

Asas proporsionalitas adalah penggunaan kekuatan secara proporsional, yaitu bahwa seluruh kekuatan yang digunakan dalam perang harus digunakan secara proporsional tanpa perlu mengerahkan kekuatan secara berlebihan untuk memenangkan perang. Dalam perang juga dilarang melakukan penyerangan, pembunuhan, dan perusakan secara keji; harus berusaha mengurangi atau menghindari korban masyarakat sipil akibat serangan yang dilakukan. Pelaksanaan perang harus dipandu oleh prinsip proporsionalitas, seperti dalam prinsip Jus ad Bellum di atas sebagai salah satu dari beratnya kejahatan perang sehingga menjauhkan keinginan baik (right intent) yang sebenarnya ingin dihasilkan dari berperang.

Mengakhiri Perang

Filsuf Kanada Brian Orend berpendapat bahwa teori perang yang adil tidak lengkap dalam menangani hanya moralitas penggunaan kekuatan (Jus ad Bellum) dan moralitas perilaku selama perang (Jus in Bello).

Menghentikan Perang (Just Cause)

Just Cause adalah asas tentang bagaimana perang harus diakhiri atau bagaimana menghentikan perang. Suatu negara harus menghentikan perang apabila telah dilakukan pemulihan hak-hak yang dilanggar selama perang. Pemulihan hak tersebut juga diikuti dengan agresor yang menginginkan adanya negosiasi dengan persyaratan menyerah (the terms of surrender), termasuk permintaan maaf secara formal (a formal apology), kompensasi (compensations), dan pengadilan terhadap kejahatan perang (war crimes trials), serta pemulihan (rehabilitation).

Deklarasi Publik dan Otoritas (Public Declaration and Authority)

Syarat-syarat perdamaian harus disampaikan kepada publik dan dilaksanakan dengan cara terbuka untuk masyarakat luas oleh otoritas yang sah (a legitimate authority) dan otoritas tersebut harus menerima persyaratan perdamaian dan kondisi menyerah. Sama seperti pada Jus ad Bellum, persyaratan niat baik juga diterapkan pada Jus post Bellum, yaitu pembalasan terhadap yang kalah tidak boleh dilakukan, dan yang kalah harus diperlakukan manusiawi, termasuk terhadap tawanan perang (TWP atau Prisons of War/PoW). TWP adalah sebutan bagi tentara yang dipenjara oleh musuh karena telah menyerah sehingga tidak lagi memberikan ancaman  Perlindungan terhadap TWP diatur dalam Konvensi Jenewa III tahun 1949. Pengaturan ini berkaitan dengan perlakuan terhadap TWP yang menjamin perlindungan terhadap TWP sejak mereka menjadi tawanan hingga dibebaskan dan dipulangkan ke tanah airnya atau kampung halaman.

Sumber : 

Buku Ajar Filsafat Ilmu Pertahanan 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun