Pernah menonton pertandingan sepak bola? Pernah kenal dengan Valentino Jebret atau Bung Jebret? Jebret... jebret...jebret... Ciri khas presenter Sepak Bola sejak tahun 2006.Â
Pria berusia 39 tahun lulusan UNPAD ini tidak diragukan kiprahnya sebagai presenter sepeka bola. Keunikan dan kepiawaiannya menjadi komentator sepak bola tak usah diragukan lagi. Bahkan kata "jebret" yang selalu ia bawakan menggaung ke seluruh penjuru negeri.Â
Dalam pertandingan Piala Menpora 2021 antara PSS Sleman dan Bali United, seperti biasa Bung Jebret menjadi komentator. Tapi sayang, warganet justru merasa terganggu dan menciptakan tagar #GerakanMuteMassal di jagad maya. Bahkan netizen menganggap komentator tersebut lebay dan hiperbola. Apa yang terjadi jika komentator ternyata dikomentari? Komentator kuadrat ya?
Bagaimana jika hal itu terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari? Sudah memainkan strategi kesana kemari, bermain lincah, koordinasi, kerja sama tim, oper sana, oper sini.Â
Ternyata masih saja sementara orang lain yang menonton sepak terjang selama dilapangan dengan mudahnya berkomentar seperti Bung Jebret? Itulah realita kehidupan yang terus bergerak secara dinamis.Â
Terkadang seorang komentator pun perlu dikomentari agar tidak berisik dan jangan hanya sebatas berkomentar. Kehadiran seorang komentator menghidupkan suasana, tetapi jika terus menerus berkomentar, terasa bising ditelinga.
Kehidupan ini adalah bagian dari proses yang terus berjalan. Seorang pemain pun membutuhkan proses untuk berlaga agar terlihat sempurna.Â
Dimulai dari titik 0 dan kembali lagi ke titik 0. Berada dalam realitas yang berubah, sudah selayaknya menentukan bargaining position. Menjadi seorang pemain atau komentator? Kondisi dilapangan dan dibalik layar adalah realitas yang berbeda. Komentator itu penonton dan pengamat, bukan orang yang mengalami.Â
Sementara pemain yang berlaga, berdarah-darah, berkeringat menjalani. Jika pembuktian fakta terbalik terjadi, seorang komentator harus dihadapkan pada fakta pemain lainnya? Belum tentu seorang komentator akan bisa menggiring bola dengan baik, begitupun sebaliknya.
Timbul rasa geram? Sudah pasti, itulah bentuk rangsangan indrawi yang menandakan kita masih hidup. Siapa yang senang jika pekerjaannya selalu dikomentari terus menerus?Â
Apalagi sang komentator pun ternyata tidak paham dengan apa yang kita lakukan? Bangkitkan lagi bargaining position ketika bertemu dengan komentator kehidupan kita. Setiap manusia memiliki zona hidupnya masing-masing, cara pandang, cara bersikap, motivasi dan tujuan yang akan dicapai.Â
Berkomentar saja sangat mudah, tapi bagaimana jika kita sama-sama menjalani? Satu permasalahan yang sama, dilakukan 2 atau lebih orang, maka hasilnya pun akan berbeda.
Didalamnya terdapat proses yang dilakukan secara berulang untuk menghasilkan kesempurnaan. Bukan serta merta kita memaksakan kehendak harus sama hasilnya, sementara proses yang dijalani berbeda, cara pandang pun berbeda. Sebelum berkomentar sebaiknya kita memahami dimana posisi kita saat ini? Apakah penikmat hasil atau penikmat proses?
Jaksel, 24 November 2021
Salam,Â
Sri PatmiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H