Mohon tunggu...
SRI PATMI
SRI PATMI Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Program Studi Strategi Pertahanan - Dari Bumi ke Langit

Membumikan Aksara Dari Bahasa Jiwa. Takkan disebut hidup, jika tak pernah menghidupi.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Artikel Sri Patmi: 5 Alasan Karyawan Resign

8 November 2021   22:21 Diperbarui: 8 November 2021   22:27 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orientasi bekerja bukan hanya untuk mencari penghasilan untuk mencukupi kebutuhan. Bekerja adalah bagian dari wujud untuk berkarya menciptakan mahakarya yang berguna untuk diri sendiri, perusahaan, rekan kerja, relasi dan stakeholders lainnya. Bagaimana jika bekerja malah menjadi beban? 

Salah satu cara untuk mengurangi beban tersebut adalah melepas atau bertahan dengan alasan yang menguatkan. Pelepasan beban tersebut biasanya dalam bentuk pengunduran diri, demotivasi dan kurangnya rasa tanggung jawab. Beberapa alasan karyawan mengundurkan diri :

1. Atasan yang tidak menghargai

Salah satu kebutuhan manusia secara umum adalah penghargaan terhadap diri. Abraham Maslow dengan Piramida kebutuhan manusia telah menempatkan penghargaan terhadap diri dalam salah satu kedudukan dalam Piramida tersebut. 

Sekecil apapun tindakan, jika dihargai dan mendapat apresiasi maka motivasi untuk melakukannya akan semakin besar. Minimal dari dalam diri sendiri ada sisi humanis yang telah disentuh dengan cara yang berbeda. Dimanapun tempat kerjanya, ada kemungkinan atasan yang kurang humanis akan ditemui. 

Terjadinya hal ini karena banyak faktor : standar baku belum ada didalam perusahaan, minimnya kepercayaan, terjadinya kesenjangan atribusi antara karyawan dan atasan, prasangka, stereotip bos selalu benar, etnosentris dan egosentris. 

Untuk kali pertama yang dapat kita lakukan adalah menjembatani kesenjangan tersebut. Apa yang diharapkan atasan dan tindakan yang harus dilakukan. 

Jangan mengambil kesimpulan sendiri, beda kepala, beda pemikiran. Jika semua sudah dilakukan, tetapi masih terus disalahkan, maka Anda berhak untuk memutuskan take it or leave it.

2. Rekan kerja yang tidak sportif

New beginner bukanlah hal yang mudah. Satu sisi, ketika kita diterima ditempat kerja adalah hal yang menyenangkan. Selain mendapat penghasilan, menambah hubungan relasional, mengembangkan karir. Seperti bystander effect, semua karyawan memiliki cara berpikir yang sama dan cara setiap orang untuk mewujudkan itu semua berbeda-beda. Ada yang bersikap sportif, tak jarang pula cara tidak sportif dilakukan yang penting posisinya tidak digantikan dengan karyawan baru.

Si Machiavelli di tempat kerja akan berusaha menghalalkan segala cara, apalagi jika kedudukan orang baru dapat mengambil perhatian bos besar dan mengancam kelangsungan hidup mereka di tempat kerja. 

Si Machiavelli akan bertindak atas nama pribadi dan kelompok dengan dalih Argumen ad hominem yang berarti saat seseorang menyerang karakter seorang penyaji argumen alih-alih klaim yang dibuatnya. 

Sedikit saja celah terbuka, ia akan menghasut dan menjadikan celah ini sebagai senjata untuk melancarkan aksinya. Keadaan seperti ini akan menciptakan kondisi insecure dan budaya kerja yang tidak sehat.

3. Gegar Budaya (Cultural Shock)

Berpindah dari satu tempat ke tempat lain tentunya membawa perubahan yang signifikan. Positif dan negatif diri dan perusahaan butuh waktu untuk saling menerima dan saling menghargai. 

Namun, hal ini tidak semudah yang dibayangkan, secara personal manusia membawa kebudayaannya masing-masing. Biasanya tidak menemui lingkungan seperti ini, ternyata ditempat kerja ia tidak mendapatkan harapannya.

4. Tidak Berkembang Dan Minim Jenjang Karir

Motivasi karyawan bekerja seiring berjalannya waktu akan ada fase penurunan. Terlebih dengan banyaknya gesekan tetapi minim pengembangan karir. 

Setiap hari, setiap waktu hanya mengerjakan pekerjaan monoton. Atau multitasking tapi tidak seimbang dengan penghasilan yang diterima. Pengajuan untuk membina potensi diri sulit dan birokrasi berbelit.

5. Toxic Workplace

Bekerja bukan lagi berkarya apalagi menghasilkan sesuatu yang berharga jika lingkungannya toksik. Apapun yang diperbuat, seakan sia-sia. Minimal mahakarya yang dihasilkan hanya berguna untuk diri sendiri. Karena lingkungan yang toksik apalagi sudah menjadi budaya yang mendarah daging akan berusaha memunculkan mental illness dengan dalih penguatan mental. 

Telaah lagi, itu pendidikan mental atau dekandensi/kemerosotan moral di tempat kerja tersebut. Hati-hati untuk Anda yang selalu berpikir positif seakan tidak ada masalah, karena sebenarnya lingkungan tersebut dapat meracuni Anda.

Dari survey yang dilakukan oleh Glint kepada 1500 karyawan berusia 23-33 tahun beberapa alasan resign adalah :

1. Tidak berkembang 20%

2. Gaji 26,7%

3. Toxic Workplace 20%

4. Tidak ada jenjang karir 7,3%

5. Ingin beralih karir 6%

6. Arah perusahaan yang tidak jelas 5,3%

7. Lokasi 4,7%

Hubungan kerja sebaiknya bersinergi antara satu dengan yang lainnya. Dalam lingkungan kerja, tidak ada istilah superman tapi yang ada hanyalah superteam.

Jaksel, 8 November 2021

Salam,

Sri Patmi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun