"Keanekaragaman hayati merupakan pemberian yang terindah untuk umat manusia. Namun merupakan tugas yang paling menantang untuk melindunginya." -Br. Henk van Mastrigt
Sepintas, tak ada yang menarik dari ruangan yang disebut laboratorium Henk van Mastrigt milik Universitas Cenderawasih Papua itu. Tak ada peralatan canggih untuk eksperimen, sebagaimana bayangan akan sebuah laboratorium. Hanya ada sebuah meja dilengkapi beberapa kursi, dan empat buah lemari polos yang memanjang. Berbahan kayu keras, tiap lemari ini memiliki ratusan laci-laci tipis dengan lebar sekitar setengah meter.
Ini bukanlah laci biasa. Sangat istimewa bahkan. Laci-laci itu lebih tepat disebut bingkai yang disimpan menyerupai laci. Layaknya bingkai foto, dilapisi kaca transparan, berisi kupu-kupu yang telah diawetkan. Jumlah setiap kupu- kupu dalam setiap laci bermacam-macam, tergantung ukuran kupu-kupu. Yang besar lebih sedikit dari yang kecil.
Setiap laci diberi kode tertentu. “Label itu menandakan lokasi, koordinat, dan siapa yang nangkap,” tutur Evie Lilly Warikar, penanggung jawab laboratorium sekaligus staf pengajar di Fakultas MIPA Uncen.
Sejatinya, Bruder Henk bukanlah ahli serangga. Keilmuannya adalah bidang ekonomi. Ia mulai serius mengoleksi serangga sejak 1974, terutama kupu-kupu genus delias. Tercatat, pada Agustus 2009 koleksi Henk telah mencapai 60 ribu lebih spesimen serangga, di mana sebagian besar adalah serangga bersayap (lepidoptera).
Selama hidup di Papua, ia memanfaatkan waktu luang untuk menjelajah ke berbagai tempat, mulai dari wilayah kepala burung, Papua tengah, selatan, dan teluk Cenderawasih. Pernah pula melakukan ekspedisi di pegunungan Arfak, Cyclops. Di pegunungan Foja, Mamberamo, ia dan tim sukses mengidentifikasi 11 spesies baru kupu-kupu.
Dari setiap lokasi, maksimal dibawa empat hingga lima ekor sebagai sampel. Hasil tangkapan tak diberi bahan kimia, hanya dikeringkan dengan cara direntangkan, lalu badan dan kedua sayapnya ditindik dengan jarum di atas spons. Seminggu kemudian baru disimpan dalam laci tadi.
Dalam laboratorium ini, kupu-kupu dibedakan atas dua bahagian besar; kupu-kupu malam dan siang. Lemari penyimpanannya pun terpisah. Tapi pembedaan itu tak mengacu pada waktu keluarnya.
Hingga kini, laboratorium ini diklaim menyimpan 70 ribu spesimen kupu-kupu, dan 2.000 serangga lain seperti kumbang, capung, belalang dan lainnya. Konon, ini adalah yang terbesar di Indonesia dan dunia. Mengalahkan koleksi universitas Leiden Belanda dan British Museum di Inggris.
Beberapa di antara koleksinya seperti ornithoptera paradisea staudinger (kupu-kupu sayap burung surga) yang berasal dari pegunungan Arfak. Ada pula kupu-kupu yang beracun bagi burung yang disebut atrophaneura polydorus,kupu-kupu yang terbang lambat (acraea meyeri), kupu-kupu berukuran sayap terkecil (zizula hylax) berukuran 7-10 milimeter (mm) hingga yang terbesar ornithoptera goliath dengan ukuran sayap 80-120 mm.
Syarat lainnya, ruangan ini harus kedap cahaya matahari, juga tak boleh ada yang membawa makanan ke dalam ruangan. “Akan mengundang serangga lain seperti semut yang bisa merusak koleksi.”
Sementara ini, laboratorium ini dijaga oleh Evie dan Daawia Suhartawan sebagai kepala laboratorium, dosen MIPA lainnya yang sementara mengambil program doktoralnya di Jerman. “Kami belum punya staf khusus untuk mengelola lab ini, padahal tak sedikit peneliti yang datang ke sini, termasuk dari luar negeri,” tambah Evie.
Laboratorium ini juga dilengkapi dengan perpustakaan kecil. Isinya, apalagi kalau bukan buku-buku pengetahuan tentang serangga. Beberapa di antaranya adalah karya Bruder Henk sendiri.
Sebelum dihibahkan ke Uncen, koleksi serangga ini berada di Biara St. Fransiscus Asisi, APO Kota Jayapura. Menurut Evie, dalam perjanjian antara Bruder Henk dengan pihak Uncen, salah satu poinnya disebutkan jika pihak Uncen tidak sanggup mengelola laboratorium ini, maka pihak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berhak mengambilnya.
Ironisnya, akibat komplikasi berbagai penyakit, Bruder Henk telah mengembuskan napas terakhirnya pada 6 Agustus 2015, lima bulan sebelum laboratorium ini diresmikan penggunaannya pada Januari 2016.
Henk van Mastrigt memang sudah tiada, namun ia sudah meninggalkan sebuah warisan tak ternilai bagi sains di Papua, Indonesia, bahkan dunia.
***
Di samping dikagumi karena keindahannya dengan ragam corak, kupu-kupu boleh menjadi kontrol terhadap keadaan suatu lingkungan. Keberadaan serangga ini menunjukkan tingkat kealamian suatu lingkungan, jika tidak, maka pertanda sebaliknya. Lebih daripada itu, kupu-kupu sangat membantu dalam proses penyerbukan pada tumbuh-tumbuhan.
Indonesia dipercaya memiliki sedikitnya 1.600 jenis kupu-kupu, terbesar di dunia (35 persen). Dari angka itu, 50 persennya ada di Papua. Keberadaan kupu-kupu mulai terancam akibat perdagangan di pasar internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H