Syarat lainnya, ruangan ini harus kedap cahaya matahari, juga tak boleh ada yang membawa makanan ke dalam ruangan. “Akan mengundang serangga lain seperti semut yang bisa merusak koleksi.”
Sementara ini, laboratorium ini dijaga oleh Evie dan Daawia Suhartawan sebagai kepala laboratorium, dosen MIPA lainnya yang sementara mengambil program doktoralnya di Jerman. “Kami belum punya staf khusus untuk mengelola lab ini, padahal tak sedikit peneliti yang datang ke sini, termasuk dari luar negeri,” tambah Evie.
Laboratorium ini juga dilengkapi dengan perpustakaan kecil. Isinya, apalagi kalau bukan buku-buku pengetahuan tentang serangga. Beberapa di antaranya adalah karya Bruder Henk sendiri.
Sebelum dihibahkan ke Uncen, koleksi serangga ini berada di Biara St. Fransiscus Asisi, APO Kota Jayapura. Menurut Evie, dalam perjanjian antara Bruder Henk dengan pihak Uncen, salah satu poinnya disebutkan jika pihak Uncen tidak sanggup mengelola laboratorium ini, maka pihak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berhak mengambilnya.
Ironisnya, akibat komplikasi berbagai penyakit, Bruder Henk telah mengembuskan napas terakhirnya pada 6 Agustus 2015, lima bulan sebelum laboratorium ini diresmikan penggunaannya pada Januari 2016.
Henk van Mastrigt memang sudah tiada, namun ia sudah meninggalkan sebuah warisan tak ternilai bagi sains di Papua, Indonesia, bahkan dunia.
***
Di samping dikagumi karena keindahannya dengan ragam corak, kupu-kupu boleh menjadi kontrol terhadap keadaan suatu lingkungan. Keberadaan serangga ini menunjukkan tingkat kealamian suatu lingkungan, jika tidak, maka pertanda sebaliknya. Lebih daripada itu, kupu-kupu sangat membantu dalam proses penyerbukan pada tumbuh-tumbuhan.
Indonesia dipercaya memiliki sedikitnya 1.600 jenis kupu-kupu, terbesar di dunia (35 persen). Dari angka itu, 50 persennya ada di Papua. Keberadaan kupu-kupu mulai terancam akibat perdagangan di pasar internasional.