Kadang juga harus dirawat khusus agar tak termakan rayap. “Cukup pake minyak tanah dengan kapur barus,” ungkap Enrico. Selain itu, suhu yang baik dalam museum ini antara 30 hingga 32 derajat celcius. Jadi kalau Anda datang ke sini, Anda harus rela sedikit gerah. Air condition tak dibolehkan, karena suhu dingin bisa mempercepat proses pelapukan kayu.
Salah satu kesamaan dari hampir keseluruhan koleksi museum ini, adalah pada warna. Tak ada warna lain selain merah, hitam dan putih. Tentu saja dari bahan alami; merah dari tanah liat, putih dari kapur sedangkan hitam dari arang. Rupanya penggunaan bahan pewarna alami ini sekaligus sebagai bahan pengawet.
Enrico membagi benda-benda dalam lima corak budaya Melanesia. Terdiri atas benda-benda di luar Papua dan lima wilayah di Papua yakni Dafonsoro Sepik, Saireri, Pantai Selatan, Pegunungan Tengah, dan wilayah Kepala Burung. Sementara menurut fungsinya dibagi atas tiga yakni; peralatan hidup (life tools), religi, dan alat musik.
Keberadaan museum ini tak bisa dilepaskan dari jasa gubernur New York (AS), Nelson Rockefeller. Bermula, ketika September tahun 1961, anak Nelson bernama Michael Clark Rockefeller yang melakukan ekspedisi dan penelitian di Asmat, dinyatakan hilang dan tak pernah ditemukan. Sebelum hilang, ia telah mengumpulkan cukup banyak benda budaya. Pertengahan tahun di mana ia hilang, ia telah mengirim sebagian benda-benda itu ke negerinya, untuk melengkapi koleksi Museum of Primitive Art di New York.
Untuk mengenang anaknya yang hilang, Nelson Rockefeller lewat Rockefeller Foundation menghibahkan sejumlah dana untuk mendirikan museum ini. Tidak hanya itu, benda-benda hasil buruan Michael yang tak sempat dikirim, disumbangkan di museum ini. “Butuh waktu sekitar dua bulan untuk mengangkutnya ke sini (dari Asmat) dengan kapal perang,” cerita Enrico.
Totem berusia sekitar 300 tahun dalam ruangan Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih itu jadi pusat perhatian bagi siapa saja yang berkunjung tempat ini. Entah karena bentuknya yang menjulang tinggi atau aura magis yang menaunginya. Benda budaya asal Asmat ini merupakan master piece atau ikon di satu-satunya museum yang dimiliki sebuah perguruan tinggi di Indonesia ini.
Letaknya pun sengaja ditempatkan di tengah. Soal ini, Enrico Kondologit sang kurator museum, mengaku atas permintaan roh penghuni totem tersebut. “Sebelumnya menempel di dinding, tapi saat revitalisasi gedung, dia mendatangi saya dalam mimpi, minta dipindahkan sejauh empat meter ke tengah,” ungkap Enrico.
Totem ini dikenal dengan patung mbis. “Mbis” berasal dari bahasa Asmat “mbiu” yang artinya nenek moyang. Patung dari kayu mangrove (bakau) ini, dalam kebudayaan asalnya, berfungsi sebagai penolak bala di kampung, juga lambang kesuburan. Biasanya dipasang di tengah kampung. Setelah digunakan, disimpan di hutan sagu. Dalam budaya setempat, sagu dianggap sebagai ibu, jadi harus dilindungi.
Museum ini juga memiliki patung mbis lain dengan ukuran lebih pendek, kurang dari enam meter, dengan fungsi berbeda. Orang di kampung menaruhnya di depan rumah laki-laki (jeuw).
Tak hanya patung mbis yang memiliki aura magis. Ada beberapa koleksi lama seperti patung nikumari dari kampung Wereagar, kabupaten Bintuni, Papua Barat. Nikumari disimpan dalam lemari kaca bersama koleksi benda lain sedaerahnya. Sepintas, patung pendek berbentuk manusia ini, tak menyeramkan. Namun beberapa kejadian menunjukkan patung berwarna gelap ini tak biasa. “Pernah ada tiga mahasiswi datang berfoto di depan patung tanpa minta ijin pada kami, dan tiba-tiba di belakang mereka telah duduk seseorang dalam kaca,” cerita Enrico. Masih menurut Enrico, di malam hari, jika semua lampu padam, tampak mata patung ini menyala.