Mohon tunggu...
Junaedy Patading
Junaedy Patading Mohon Tunggu... Swasta -

Menulis untuk mengabadikan...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Museum Loka Budaya Uncen: Merangkum Peradaban Papua

25 November 2015   10:17 Diperbarui: 26 November 2015   10:23 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi satu-satunya museum yang dimiliki sebuah perguruan tinggi di Nusantara. Dijaga oleh seorang kurator muda, dan satu-satunya di Papua.

Apakah Anda pernah ke sebuah museum, dan bertemu dengan seorang kurator, di luar Papua? Jika pernah, pastinya Anda bertemu dengan seseorang berumur cukup tua, dengan sederet gelar akademik.

Kenyataan berbeda akan Anda temui jika berkunjung ke museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih. Satu-satunya museum yang dimiliki sebuah universitas di Indonesia ini, justru punya kurator dengan usia relatif muda, 34 tahun. Namanya Enrico Kondologit. Hebatnya, dia satu-satunya orang di Papua sekarang yang punya profesi sebagai kurator. Dengan kemampuan itu, dia mengabdikan diri di dua museum sekaligus; Museum Loka Budaya Uncen Abepura dan Museum Budaya Papua di Waena.

Walaupun punya keahlian khusus seperti demikian, tanpa sungkan, kerap ia menyingsingkan lengan, merangkap jadi tukang kebersihan di areal museum. Dia punya kisah lucu tentang itu.

Suatu kali, dengan mengenakan celana pendek, dia sedang membabat rumput di halaman museum. Tak disangka serombongan wisatawan mancanegara datang berkunjung. “Jadi Anda kurator, guide, sekaligus cleaning service di sini?” tanya Si Bule heran.

Walaupun bukan jenis pekerjaan primadona bagi orang muda seusianya, ia mengaku bahagia dengan profesinya itu. “Dengan benda-benda ini, saya sudah seperti menyatu, malah sering bicara lewat mimpi atau berbisik di telinga,” katanya. Dia juga betah berlama-lama di sini hingga larut malam, saat semua rekannya sudah pulang.

Enrico tak melulu tinggal dalam museum ini. Ia juga aktif sebagai peneliti, sembari berburu benda kuno untuk koleksi museum. “Tak gampang mendapatkannya, banyak yang tak mau dilepaskan sama pemiliknya, karena dianggap pusaka keluarga atau berharga; seperti benda untuk keperluan mas kawin,” cerita Enrico.

***

Museum ini diresmikan pada Oktober tahun 1973 oleh Profesor DR. Ida Bagus Mantra, yang menjabat Dirjen Pendidikan dan Kebudayaan Republik waktu itu. Hingga kini, museum ini telah memiliki koleksi sebanyak 2.500 benda budaya.

Tak semua bisa dipamerkan; sebagian disimpan karena ruangan terbatas. Aturan rolingnya antara lima sampai tujuh tahun.  

Kadang juga harus dirawat khusus agar tak termakan rayap. “Cukup pake minyak tanah dengan kapur barus,” ungkap Enrico. Selain itu, suhu yang baik dalam museum ini antara 30 hingga 32 derajat celcius. Jadi kalau Anda datang ke sini, Anda harus rela sedikit gerah. Air condition tak dibolehkan, karena suhu dingin bisa mempercepat proses pelapukan kayu.

Salah satu kesamaan dari hampir keseluruhan koleksi museum ini, adalah pada warna. Tak ada warna lain selain merah, hitam dan putih. Tentu saja dari bahan alami; merah dari tanah liat, putih dari kapur sedangkan hitam dari arang. Rupanya penggunaan bahan pewarna alami ini sekaligus sebagai bahan pengawet.

Enrico membagi benda-benda dalam lima corak budaya Melanesia. Terdiri atas benda-benda di luar Papua dan lima wilayah di Papua yakni Dafonsoro Sepik, Saireri, Pantai Selatan, Pegunungan Tengah, dan wilayah Kepala Burung. Sementara menurut fungsinya dibagi atas tiga yakni; peralatan hidup (life tools), religi, dan alat musik.

Keberadaan museum ini tak bisa dilepaskan dari jasa gubernur New York (AS), Nelson Rockefeller. Bermula, ketika September tahun 1961, anak Nelson bernama Michael Clark Rockefeller yang melakukan ekspedisi dan penelitian di Asmat, dinyatakan hilang dan tak pernah ditemukan. Sebelum hilang, ia telah mengumpulkan cukup banyak benda budaya. Pertengahan tahun di mana ia hilang, ia telah mengirim sebagian benda-benda itu ke negerinya, untuk melengkapi koleksi Museum of Primitive Art di New York.

Untuk mengenang anaknya yang hilang, Nelson Rockefeller lewat Rockefeller Foundation menghibahkan sejumlah dana untuk mendirikan museum ini. Tidak hanya itu, benda-benda hasil buruan Michael yang tak sempat dikirim, disumbangkan di museum ini. “Butuh waktu sekitar dua bulan untuk mengangkutnya ke sini (dari Asmat) dengan kapal perang,” cerita Enrico.

***

Totem berusia sekitar 300 tahun dalam ruangan Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih itu jadi pusat perhatian bagi siapa saja yang berkunjung tempat ini. Entah karena bentuknya yang menjulang tinggi atau aura magis yang menaunginya. Benda budaya asal Asmat ini merupakan master piece atau ikon di satu-satunya museum yang dimiliki sebuah perguruan tinggi di Indonesia ini.

Letaknya pun sengaja ditempatkan di tengah. Soal ini, Enrico Kondologit sang kurator museum, mengaku atas permintaan roh penghuni totem tersebut. “Sebelumnya menempel di dinding, tapi saat revitalisasi gedung, dia mendatangi saya dalam mimpi, minta dipindahkan sejauh empat meter ke tengah,” ungkap Enrico.

Totem ini dikenal dengan patung mbis. “Mbis” berasal dari bahasa Asmat “mbiu” yang artinya nenek moyang. Patung dari kayu mangrove (bakau) ini, dalam kebudayaan asalnya, berfungsi sebagai penolak bala di kampung, juga lambang kesuburan. Biasanya dipasang di tengah kampung. Setelah digunakan, disimpan di hutan sagu. Dalam budaya setempat, sagu dianggap sebagai ibu, jadi harus dilindungi.

Museum ini juga memiliki patung mbis lain dengan ukuran lebih pendek, kurang dari enam meter, dengan fungsi berbeda. Orang di kampung menaruhnya di depan rumah laki-laki (jeuw).

Tak hanya patung mbis yang memiliki aura magis. Ada beberapa koleksi lama seperti patung nikumari dari kampung Wereagar, kabupaten Bintuni, Papua Barat. Nikumari disimpan dalam lemari kaca bersama koleksi benda lain sedaerahnya. Sepintas, patung pendek berbentuk manusia ini,  tak menyeramkan. Namun beberapa kejadian menunjukkan patung berwarna gelap ini tak biasa. “Pernah ada tiga mahasiswi datang berfoto di depan patung tanpa minta ijin pada kami, dan tiba-tiba di belakang mereka telah duduk seseorang dalam kaca,” cerita Enrico. Masih menurut Enrico, di malam hari, jika semua lampu padam, tampak mata patung ini menyala.

Di tempat asalnya, patung nikumari memang dianggap sakral, dan keramat. Nikumari disembah, diyakini bisa dimintai apapun. Usianya kira-kira 200 tahun.

Begitu juga dengan peti mati dari Biak bernama aibe. Setahu Enrico, selama bekerja di museum ini, peti berusia 200 tahun itu hampa. Suatu ketika, ia bermimpi didatangi pemilik peti dan memintanya dikembalikan dalam peti itu. Keesokan harinya, ia menemukan dua buah tengkorak manusia. Belakangan diketahui dua tengkorak ini telah lama hilang dari peti tersebut.

“Yang dihuni roh jahat itu seperti patung pakis dari Skouw. Usianya sudah tua 200 ratus tahun. Ada dua, yang laki-laki di bawa orang Belanda, yang perempuan disumbang ke sini,” katanya.

Walaupun sering mengalami hal-hal aneh di tempatnya bekerja, namun Enrico tak merasa takut. Kerap ia betah bekerja sendirian hingga larut malam.

Tapi tak semua benda menyeramkan. Ada juga yang unik, semisal meriam portugis dari Raja Ampat. Fungsinya sebagai mas kawin, atau hiasan pada perempuan di wilayah pegunungan, terbuat dari ekor kuskus. “Ini dipakai untuk menari, sudah tidak dipakai lagi oleh wanita sekarang.”

Untuk benda-benda langka seperti ini, Enrico menaruhnya dalam kaca, agar tak hilang. Menurut Enrico, aturan permuseuman mengharuskan semua benda koleksi ada dalam lemari kaca. Tapi dari pengalamannya, kebanyakan pengunjung ingin melihat secara detail benda-benda tersebut. “Mereka akan puas kalau bisa mengamati lebih dekat. Lagian patung sebesar itu siapa yang mau curi,” tambahnya. 

Satu koleksi lainnya yang menarik yakni sebuah peti, berisi anggota keluarga muslim dari raja Ampat. Konon ditemukan di sebuah gua. Keberadaan peti ini menjadi tidak lazim sebab seorang muslim yang meninggal biasanya dikubur dalam tanah. 

So, jika Anda seorang pecinta benda kuno dan kebetulan berkunjung ke Jayapura, jangan lewatkan bersambang ke museum ini, tak dipungut biaya. Salama'

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun