WhatsApp, salah satu platform pesan instan paling populer di dunia, yang menyediakan sarana mudah bagi pengguna untuk berbagi informasi. Namun, sayangnya, platform ini juga telah menjadi sarana bagi penyebaran berita palsu atau yang lebih dikenal sebagai Hoax. Seperti melakukan forward pesan sampai lima kali, untuk menjawabnya, Kementrian Komuniksasi dan Informatika (Kominfo) membeberkan faktanya.
Berbagai kasus hoax di WhatsApp telah muncul dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya, ada kasus yang menyebutkan bahwa mengonsumsi minuman tertentu dapat mencegah COVID-19, atau klaim bahwa vaksinasi menyebabkan efek samping yang berbahaya. Hoax semacam ini menimbulkan kebingungan di antara masyarakat seperti penolakan akan vaksinasi atau pengobatan yang tidak terbukti keampuhannya.
Data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa penyebaran hoax di WhatsApp semakin meningkat. Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Pew, sekitar 39% pengguna WhatsApp di Amerika Serikat mengaku pernah menerima pesan palsu dalam setahun terakhir. Jumlah ini sangat mengkhawatirkan, karena pesan-pesan hoax dapat dengan mudah menyebar ke ribuan orang hanya dalam hitungan detik.
Mekanisme Penyebaran dan Penyebar Hoax di WhatsApp
Untuk memahami mengapa hoax di WhatsApp menjadi begitu meresahkan, penting untuk melihat mekanisme penyebaran dan siapa yang bertanggung jawab atas penyebaran tersebut. WhatsApp memungkinkan pengguna untuk membuat grup dengan anggota yang banyak, sehingga pesan hoax dapat dengan cepat menyebar ke banyak orang sekaligus.
Seringkali, penyebar hoax di WhatsApp menggunakan teknik-teknik manipulatif untuk membuat pesan mereka terlihat lebih menarik. Mereka mungkin menggunakan gambaran yang terkait dengan lembaga terpercaya. Dalam beberapa kasus, penyebar hoax juga menggunakan teknik "pesan berantai", di mana pengguna diminta untuk meneruskan pesan tersebut kepada orang lain.
Penyebar hoax di WhatsApp beberapa kali mengambil keuntungan dari ketidaktahuan atau ketakutan orang-orang terhadap topik tertentu. Misalnya, dalam masa pandemi COVID-19, orang menjadi sangat sensitif terhadap informasi terkait kesehatan. Hal ini menjadikan mereka ragu terhadap pesan-pesan palsu yang menjanjikan cara-cara mudah untuk melawan virus atau menghindari vaksinasi.
Perlunya Edukasi dan Penegakan Hukum untuk Mengatasi Masalah Hoax di WhatsApp
Mengatasi masalah hoax di WhatsApp memerlukan pendekatan yang komprehensif. Pertama, diper
Lakukan upaya edukasi yang intensif untuk meningkatkan literasi digital dan kritis di kalangan pengguna WhatsApp. Orang-orang perlu dilatih untuk mengidentifikasi berita palsu dan memverifikasi informasi sebelum membagikannya kepada orang lain. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat harus bekerja sama dalam menyediakan sumber daya dan program pelatihan yang efektif.
Selain itu, penegakan hukum juga perlu ditingkatkan untuk melawan penyebar hoax di WhatsApp. Para penyebar hoax harus diproses secara hukum sebagai bentuk tanggung jawab atas dampak negatif yang ditimbulkan. Pemerintah perlu bekerja sama dengan platform media sosial untuk mengidentifikasi dan menghapus konten palsu dengan lebih efisien.
Namun, penegakan hukum saja tidak cukup. Perusahaan seperti WhatsApp juga harus bertanggung jawab secara aktif dalam mengatasi masalah ini. Mereka perlu mengembangkan dan menerapkan algoritma yang mampu mendeteksi dan memblokir penyebaran hoax secara otomatis. Selain itu, kebijakan dan mekanisme pelaporan yang lebih mudah digunakan harus diterapkan untuk melibatkan pengguna dalam melaporkan konten yang mencurigakan.
Berdasarkan rekapitulasi tahunan, Kominfo menerima aduan konten hoax sebanyak 733 laporan sepanjang tahun 2018 di aplikasi pesan instan tersebut. Sementara bila dilihat dari Agustus 2018 sampai 21 Januari 2019, Kominfo menerima laporan hoax yang disebarkan melalui WhatsApp sebanyak 43 konten.Â
Hasil pemantauan Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, laporan terbanyak terjadi pada bulan Oktober 2018. Ada sebanyak 16 konten hoax yang disebarkan melalui platform WhatsApp. Â
Pada bulan Agustus 2018 terdapat laporan dua konten hoax, September 2018 ada lima konten hoax, November 2018 sebanyak delapan laporan konten dan Desember 2018 sebanyak 10 laporan konten hoax. Sementara, sampai pada 21 Januari 2019 terdapat dua laporan konten misinformasi yang beredar aplikasi milik Facebook itu.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menegaskan pemerintah sangat memperhatikan dalam menekan angka penyebaran hoax. Meskipun, tidak bisa menjamin 100% hoax tidak akan tersebar. Â
"Modus penyebaran hoaks menggunakan media sosial, posting dulu di FB, kemudian diviralkan melalui WA. Kemudian akun FB yang posting tadi dihapus. Ini yang kita perhatikan number of virality," papar Rudiantara.Â
Oleh karena itu, Menteri Kominfo mengapresiasi kebijakan pembatasan meneruskan (forward) pesan hanya sampai lima kali dalam chat secara personal maupun komunikasi grup WhatsApp.Â
"Pembatasan itu membantu meminimalisir konten negatif dan hoax. Batasan jumlah forward bertujuan amat baik untuk mengurangi potensi viralnya hoaks," pungkas Rudiantara.
Sumber berita:
www.detik.com (24/01/2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H