Mohon tunggu...
pasti.golput
pasti.golput Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Argumentum La Nyalla Ed De Goey: Pendapat Prof Romli vs Pendapat Nararya Tentang Pra-peradilan dalam Kaitan Special Pleading yang Tidak Bleeding

21 Februari 2015   01:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:48 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14244273861735127140

[caption id="attachment_352094" align="aligncenter" width="199" caption="Ed De Goey mantan penjaga gawang Chelsea 1997-2003 (source Isfa.com)"][/caption]

Brader Nararya dalam artikelnya disini, menyebutkan putusan hakim Sarpin adalah sesat dan harus ditolak supaya tidak menyesatkan logika-logika kita yang tidak dan belum sesat.

Apa itu pra-peradilan? UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP dalam pasal 1 (10) menyebutkan bahwa: Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Dalam UU pasal 77 KUHAP: Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Memang dalam kedua pasal tersebut baik pasal 10 maupun pasal 77 KUHAP tidak terdapat kalimat penetapan tersangka.  Berdasarkan argumen tersebut maka para pihak yang kontra terhadap validitas pra-peradilan memiliki kerangka dasar berpijak yang kuat dan teguh untuk menolak pra-peradilan BG.

Salah satu yang menjadi ahli yang diajukan oleh pihak BG adalah Profesor Romli Atmasasmita. Beliau adalah salah seorang pakar hukum pidana dari Universitas Padjajaran yang ikut menyusun UU KPK. Profesor Romli pernah dihukum oleh kesewenang-wenangan penegak hukum karena disangkakan melawan hukum dalam kasus sisminbakum di kementrian hukum dan hak asasi manusia, namun akhirnya dibebaskan oleh MA setelah banding bertahun-tahun. Sementara saya hanya seorang awam yang bukan melek hukum dan malah kadang tidak patuh pada hukum tetapi alhamdulilah belum pernah dihukum oleh penegak hukum. Mari kita simak penjelasan bapak Profesor Romli Atmasasmita dalam acara ILC tanggal 17 Februari 2015 berikut (saya mengutip hampir 100% opini yang dikemukakan beliau dapat disaksikan dalam klik disini ):

----------######----------

Masalah pra-peradilan, masalah pelatikan kapolri itu hak prerogatif presiden. Ketika saya hadir sebagai saksi ahli di sidang pra-peradilan, saya membaca pasal 77 seperti itu adanya, tapi saya juga melihat perkembangan, UU yang kita buat itu tahun 1981, belum ada ratifikasi  HAM, International on Civil and Politcal Rights belum ada, baru kita ratifikasi dengan UU 12 tahun 2005, berarti UU KUHAP tertinggal jauh dari perkembangan ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights-Red), walaupun semangatnya adalah melindungi tersangka atau terdakwa, nah setelah kita ratifikasi tidak ada lagi perubahan-perubahan KUHAP, sehingga apa yang ditulis pada pasal 77 itu memang tidak termasuk penetapan tersangka.

Yurisprudensi tadi sudah disebut, sudah ada perubahan-perubahan, yurisprudensi walaupun bukan sumber perundang-undangan, tapi dia sumber hukum, karena pandangan saya sumber hukum itu tertulis dan tidak tertulis, kalau bicara sumber hukum. Jadi yuriprudensi termasuk sumber hukum yang tidak tertulis tentunya, jadi bisa dirujuk.

Yang kedua Belanda Remeling, coba dibuka saja, buku tentang komentar hukum pidana halaman 3 dan 4, dia mengatakan di Belanda itu, setelah meratifikasi konvensi uni eropa tentang HAM yang disebut Strafvordering itu dipersoalkan tentang apakah bukti-bukti yang diperoleh oleh seorang penyidik sah atau tidak sah, jadi bukan persoalan penetapannya,bukti-bukti yang dibawa diperoleh penyidik itu sah dan tidak sah, illegal evidence jadi persoalan, oleh karena itulah maka dikatakan oleh Remeling, strafvordering itu yang selalu mengatakan hukum acara yang berlaku adalah hukum acara yang ditentukan dalam undang-undang ini tidak lagi bersifat mutlak, ini, ini bukan penafsiran, artinya ada perkembangan HAM, hak ekonomi, hak sosial, hak politik, hak hukum, hak memperoleh informasi, hak untuk pembangunan itu HAM, oleh karena itu dalam ICCPR pasal 6, setiap tersangka itu harus diberitahukan secepatnya, should inform promptly, dan diberi tahu alasan-alasannya, should inform promptly itu, 1 x 24 jam, paling lama 3 x 24 jam, lewat dari itu batal demi hukum, kira-kira melanggar HAM kalo gitu, saya katakan seperti itu sehingga membaca undang-undang KUHP pasal 77 tidak harus dibaca seperti itu adanya, ada perkembangan nilai-nilai HAM  yang telah kita ratifikasi sejak tahun 2005 telah dideklarasi secara universal sejak tahun 1946-1948, itu yang harus dilihat, putusan hakim kemarin saya nilai baik.

Saya sebagai ahli baru merasakan 3 jam lebih sendiri, diberi kesempatan pemohon dan termohon begitu bebas untuk bertanya kepada saya, bahkan jam 12 saya harus istirahat, saya tanya yang mulia, apakah saya masih harus disini, tunggu ahli karena pihak termohon (pihak KPK) belum menyampaikan pertanyaan, lengkap, jadi saya juga mau bertanya katanya, jadi saya tunggu, jadi begitu objektifnya ,begitu baiknya dia memimpin sidang, saya mengatakan inilah sidang yang serius, bukan main-main, dan saya puas sekali karena saya telah menyampaikan apa-apa yang saya ketahui tentang UU KPK, mengapa saya berani menjadi ahli, karena saya merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menjelaskan bagaimana UU KPK itu harus dibaca dan harus dilaksanakan.

Itu yang saya maksud, sehingga dalam pemahaman saya, pra peradilan adalah satu-satunya yang dapat menjadi clearing house bagi setiap hak asasi setiap warga negara Indonesia yang dilanggar, apakah dalam bentuk pernyataan sebagai tersangka, penyidikan, penahanan dan sebagainya upanya pemaksaan lainnya, saya berpendapat penetapan tersangka itu pelanggar HAM kalau tidak dilakukan dengan dasar-dasar hukum yang sah, mungkin yang berbicara lain dari saya, belum pernah berpengalaman jadi tersangka, jadi terdakwa, jadi merasa hepi-hepi saja mengatakan seperti itu, mengkritik hakim Sarpin Rizaldi, coba rasakan nanti sesekali kali dijadikan tersangka, baru merasakan bahwa hak asasi anda dirampas, apalagi tidak pernah diperiksa, itu harus dipahami, jadi anda-anda itu kadang-kadang mengkritik tetapi tidak pernah mengalami, ini sulit menyakinkan anda.

Secara hukum BG sudah bukan tersangka, secara politik dia punya legitimasi politik dan hukum untuk dilantik, adapun kemudian nanti KPK mau memulai, silahkan saja, kalau memang ada bukti yang lebih dari cukup, dan tidak ditangani oleh 2 orang, 5 orang harus, tidak boleh kurang dari 5 orang, silahkan, tapi hak dia sebagai warga negara harus kita hormati, tidak boleh kita diamputasi dengan pandangan-pandangan yang tidak jelas. Ini putusan peradilan, semua orang mengatakan pada waktu proses, semua harus menghormati putusan peradilan, sudah ada putusan peradilan masih tidak dihormati, HERAN SAYA. Ini masyarakat yang tidak konsisten. Skip---------.

Saya mengapresiasi hakim itu lepas dari setiap pandangan orang, dia sudah berdiri tegak diatas kebenaran, dia membuka pintu setiap warga negara Indonesia sejak putusan ini, boleh mengajukan pra-peradilan jika diperlakukan tidak layak secara hukum, sewenang-wenang misalnya. Jika saudara lihat UU 30 2014 tentang administrasi pemerintahan pasal 17 larangan penyalahgunaan wewenang, 1. Melampaui batas wewenang 2. Mencampur-adukkan wewenang 3. Sewenang-wenang.

Bulan Oktober 2014 terbit, BG dijadikan tersangka 2015, hakim tunggal pra-peradilan sudah tepat, menurut saya, terserah bagi yang mengatakan tidak tepat, saya lihat sendiri begitu objektifnya, begitu sabarnya dia mendengarkan semua pertanyaan dan mendengarkan jawaban para ahli, bahkan dia memperbaiki pertanyaan para pemohon dan termohon. Skip-----------. Kita ini sudah global, antara negara dan warga negara sudah setara. Tidak ada lagi negara lebih tinggi daripada warga negara, satu-satunya saluran kita adalah memperbaiki lembaga pra-peradilan dan komnas HAM. Skip--------. KPK itu kekuasaan negara, lembaga negara yang memiliki kekuasaan, kita ini warga negara,  Kepolisian dan Kejaksaan adalah lembaga negara yang memiliki kekuasaan, kalau kita tidak memulai untuk mengatakan tidak terhadap kesewenang-wenangan, 3 bentuk larangan penyalahgunaan wewenang, tentu kita ini bangsa yang dalam tanda petik kembali kepada bangsa jajahan.

----------######----------

Opini saya, jika KPK yakin BG bersalah, mengapa tidak "menampar" muka presiden, DPR, dan para oposan KPK dengan cara memaparkan bukti-bukti permulaan yang cukup yang dimiliki KPK sebagai dasar penetapan BG sebagai tersangka. Ada beberapa ahli hukum disini menyebutkan penelitian bukti-bukti itu seharusnya di pengadilan sela (CMIIW), bukan di pra-peradilan. Namun menurut saya, jika hakim pra-peradilannya sudah menanyakan kepada saksi KPK apa dasar KPK menetapkan BG sebagai tersangka, toh bisa saja diperlihatkan kepada hakimnya.

Jika pun KPK merasa kuatir jika nantinya bukti tersebut  akan bisa di-counter dalam pengadilan resminya, bukankah dapat ditunjukkan hanya pada hakim Sarpin dibelakang meja tanpa perlu disiarkan dan dipublikasikan? Jika KPK hanya meng-counter dengan kalimat pamungkas mereka bahwa KPK belum pernah gagal dalam men-tersangkakan orang, adagium bumi itu horizontal dan gravitasi bumi pun pernah patah setelah diterima jadi fakta selama bertahun-tahun, bahkan baru-baru ini kita heran, mengapa kok planet ternyata bukan hanya 9 tetapi ribuan? Coba anda renungkan? Harusnya forum pra-peradilan itulah yang bisa memperkuat opini publik bahwa KPK tidak sedang mengkriminalisasikan BG, namun apa daya KPK hanya mampu menyangkal dengan opini bukan dengan bukti.

Setelah putusan diambil, kemudian tiba-tiba kita semua jadi lebih pintar dari si hakim. Ada yang bilang putusannya bodohlah, argumentasi putusannya dangkal tanpa argumentum rectumlah, ada yang bilang cek harta si hakimlah, keluarkan si hakim dari almamaternya, macem-macem sudah opini buruk yang dilayangkan kepada hakim, bahkan sekarang ada beberapa LSM yang mengadukan hakim Sarpin ke MA dan KY juga sudah menyiapkan investigasi pada beliau.

Wadoh ada apa ini? Bukankah hakim memiliki independensi terhadap putusan suatu kasus? Hakim telah memutuskan secara independen menurut hati nuraninya, jika kita tidak puas, tidak perlulah menghujami putusan hakim dengan opini-opini kita. Jika kita merasa putusan itu dangkal dan dapat kita patahkan dengan argumentum de rectum kita, tolong hargai kewibawaan peradilan dengan membawa sesuai prosedur, banding atau upaya hukum lainnya.

Jika hal ini terus menerus kita lakukan, suatu saat nanti tidak ada lagi yang ingin jadi hakim, dan semua hakim akan memutuskan bukan dengan independensi kehakimannya tetapi melihat opini liar yang harus dipuaskannya di publik. Bukankah opini publik bisa digiring oleh si pemilik media itu sendiri sesuai dengan kebutuhannya? Jika anda mengatakan tidak bisa, karena suara rakyat adalah suara tuhan, wadoh....saya tidak bisa berkata apa-apa lagi, perdebatan kita selesai sampai disini.

Anda bisa kaya akan pengetahuan tentang argumentum devide et impera juncto van der sar, tidak ada yang salah disana, jujur kita bangga dengan kekayaan ilmu tersebut, karena bisa mencerahkan kita-kita semua di forum ini. Namun jika kekayaan ilmu tersebut sudah menjelma menjadi kebenaran mutlak, ya case closed, anda paling benar, oposan anda pasti salah.

Dalam kasus sah atau tidaknya pra-peradilan ditinjau dari tidak adanya klausa proses penetapan tersangka dalam UU pasal 77 KUHAP, yang menimbulkan pertanyaan penting bagi saya adalah apa pentingnya putusan hakim Sarpin bagi kita sebagai rakyat? Apakah karena kita cinta BG? Atau karena kita cinta KPK? Cita Citata? Atau tidak kedua-duanya?

Putusan hakim Sarpin tersebut sangat saya syukuri, bisa jadi yurisprudensi bagi saya ke depan, sebagai rakyat yang rentan untuk dikriminalkan oleh aparat penegak hukum, kini saya bisa mempra-peradilankan jika aparat negara sewenang-wenang dengan saya, loh kan ga ada di KUHAP, masa bodoh, emang kalian lebih cinta KUHAP daripada cinta hak asasi kalian masing-masing?

Dari beberapa artikel dan komentar yang saya baca di forum ini, bonus dari hakim Sarpin ini sepertinya tidak disukuri, malah pada berdebat pada tataran tidak tercantumnya aturan penetapan tersangka dalam KUHAP. Aya-aya wae….sudah difasilitasi hakim Sarpin sebagai kemenangan bagi rakyat yang rentan untuk ditersangkakan, tetapi para ahli-ahli filsafat, para Sanhedrin modern, para pengamat kelas internasional di forum ini masih saja merasa bahwa pra-peradilan tidak sah dan tidak memiliki legal standing hukum dalam kasus penetapan tersangka. Semoga kalian menjadi tersangka karena kriminalisasi segera, karena saya ingin sekali mendengar keluh kesah kalian di kemudian hari. Cheersss.......

Catatan:


  • Yang saya skip bukan tidak penting, tapi saya rasa kurang relevan mengingat durasi artikel.
  • Membandingkan opini Prof Romli sebagai salah satu arsitek UU KPK, saya akui lebih faktual dan aktual dibandingkan dengan opini saya, apalagi opini kamu, iya kamu, kamu yang dipojok sana....loh kok noleh, kamu lohhhhhh. [apa kabarnya Dodit Mulyanto? Sudah sehatkah?]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun